warn: 🔞 explicit content, dubious consensual sex, alpha/beta/omega dynamics, dirty talk, vulgar words, blow job, degradation, knotting, belly bulge, belly inflation, gang bang, marking, threesome, fivesome, tits fucking, anal sex, fingering, praise kink, double penetration, mind break, profanities
p.s you’ve been warned.
“You won’t go anywhere.”
Isagi dapat merasakan bulu romanya meremang. Tubuhnya berkeringat dan dia merasa seolah dunia berputar lebih cepat dari biasanya dan itu membuat Isagi kelimpungan. Atau, itu hanyalah karena aroma feromon yang menguar memenuhi ruangan─membasuh presensinya dengan kepalang protektif dan posesif; seolah dia ada untuk dimiliki, seolah dia di sana untuk ditandai.
Genggaman pada pergelangan tangannya terasa begitu panas; rangsangannya menjalar ke setiap pori-pori dalam tubuh dan Isagi hanya bisa bergidik dan merintih. Bahkan ketika tubuhnya ditarik paksa, ketika figurnya yang lebih kecil membentur tubuh yang lebih besar, lebih keras, dan lebih kuat, Isagi tidak bisa melakukan apa-apa kecuali terkesiap. Hidungnya lantas menangkap aroma patchouli yang semakin menusuk penghidu, membuat sesuatu dalam dirinya bersenandung dengan penuh afeksi.
Kini dia terpaksa terduduk di atas pangkuan superiornya, merasakan bagaimana kedua manik sewarna toska dengan semburat kehijauan mematainya dalam-dalam. Dia bergerak untuk kembali beranjak dari sana, tetapi tangan besar sudah lebih dulu menahan pahanya dengan kuat. Hal itu membuat Isagi merintih dan dia tidak bisa melakukan apapun selain memposisikan diri kembali di atas paha lelaki bersurai sehitam malam─di saat yang sama, bersusah payah mengabaikan bagaimana bagian selatannya semakin gatal dan dia membutuhkan friksi lebih pada daerah itu sesegera mungkin.
Sisa kesadarannya berteriak untuk dia segera sadar dan pergi secepatnya dari sana, tetapi pikiran mendominasi di dalam otak Isagi tidak lebih dari bagaimana dia menginginkan untuk menikmati segala hal yang diberikan padanya, bagaimana dia menginginkan untuk membuat alpha-alphanya balik menikmati kehangatan yang dia coba berikan pada mereka.
Isagi merasakan bagaimana sesuatu yang besar bersinggungan dengan pantatnya, dan dia tidak bisa mengeratkan genggaman pada ujung baju superiornya oleh rasa malu. Dia dapat merasakan telapak tangan lebar mengusap pada punggungnya dengan gestur memutar, perlahan-lahan bergerak ke pinggang, dan menarik kemejanya dengan kasar untuk keluar dari celana yang melingkari pinggangnya dengan erat.
“Ngh!” Isagi tidak dapat membendung pekikannya ketika akhirnya kulit hipertermi itu bersentuhan secara langsung dengan kulit punggungnya yang dingin.
“Sst, it’s okay,” bisik figur yang lebih tinggi, suaranya mendayu lembut di telinga, tetapi setiap gesturnya berbanding terbalik dengan itu. Telapak tangannya mengusap lamat-lamat pada kulit yang sensitif, bergerak mengeksplorasi tanpa ampun pada permukaan yang meremang penuh antisipasi. Isagi menggigit erangan ketika pinggangnya dicengkeram dengan kuat, terlampau posesif, cukup untuk membuat perut bagian bawahnya memanas. “Do you know my name, love?”
“No─ uh,” sahut Isagi lemah, pasalnya laki-laki bersurai gelap itu kini menyusuri abdomennya kemudian bergerak ke atas untuk mengusap pada areolanya pelan─terlalu pelan. Jemarinya seolah malu-malu untuk bersua pada puting memerah yang menegak erotis, di saat yang sama bersikap tanpa ampun karena dia enggan untuk memberi intrusi lebih.
“Itoshi Rin,” sosok itu berkata, “call me Rin.”
Detik kemudian, Isagi dapat merasakan bagaimana telunjuk dan ibu jari Rin mencubit kasar pada putingnya, memilin dengan tanpa empati.
“Ah, Rin!” Isagi menjerit, dan kendati suaranya terlampau keras sampai menggema di seluruh penjuru ruangan, dia sudah tidak peduli lagi dengan itu. Yang ada di pikirannya sekarang adalah bagaimana semua sentuhan yang diberikan oleh Itoshi Rin dapat membuatnya melihat bintang-bintang. Setiap jejak jemari yang ditinggalkan laki-laki itu pada kulitnya membuat mulut Isagi berair dan dia tidak bisa pikirkan apapun selain kenyataan bahwa dia menginginkan hal yang lebih, dan lebih, dan lebih.
“Such a lovely sound,” Rin berkata, tepat di telinga figur yang lebih rendah. Dia menggigit cuping telinga Isagi dan yang bersangkutan lantas mengalungkan lengan di lehernya. Dia kemudian membenamkan wajah pada tuksedo hitam Rin dalam-dalam, mencoba untuk menyembunyikan serautnya yang merona kemerahan.
Rin tertawa kecil. Dengan itu, tangannya bergerak dengan cepat untuk membuka satu persatu kancing kemeja Isagi. Laki-laki itu tidak menunjukkan perlawanan apapun, maka Rin menghadiahinya dengan mencium pada ceruk lehernya dan menghirup aroma gourmand yang menguar kuat dari sana. Sebersit campuran antara praline, sandalwood, serta amber membuat kepala Rin semakin ringan dengan cara yang menyenangkan.
Isagi merintih, terdengar seolah penuh gairah yang mendalam. Matanya berkabut, kesadarannya memburam. Ketika Rin menjauhkan wajah, dia dapat melihat bagaimana kedua mata laki-laki itu mengerjap sayu, mulutnya terbuka sedikit dan dia tampak seperti sedang dalam kondisi delirium─mungkin oleh feromon alpha yang menguasai penghidunya untuk kali pertama, atau barangkali oleh bagaimana cairan lubrikasinya kini yang sudah membasahi bagian bawah dari celananya sendiri.
“Cantik.” Rin membelaikan telapak tangan pada pipi Isagi, membuat yang bersangkutan langsung balik mengusapkan diri pada kulit yang menghangat. Kali ini, tubuh Isagi lebih terasa panas, sehingga permukaan tangan Rin justru terasa seperti surga ketika bersinggungan dengannya sekarang.
Detik kemudian, secara involunter, Isagi mulai menggerakkan pinggul.
Rin tersenyum miring. “Udah nggak sabar, hm?”
Dia mengusap pada paha Isagi pelan, sedikit kesal bagaimana kulit bagian bawah laki-laki itu masih terbungkus rapat dengan celana kain yang mengganggu pandangan. Dia berpikir untuk merobek artikel pakaian itu andaikata Isagi tidak membuatnya kembali terpreokupasi pada gerakan malu-malu tapi pasti dari gesekan berulang kali yang dilakukan lelaki itu, terasa begitu berantakan dengan temponya yang tidak beraturan.
Isagi menggigit bibir, kedua tangannya menutup mulutnya sendiri untuk menyembunyikan erangan yang susah payah dia tahan di balik tenggorokan. Di mata Rin, itu terlihat sangat polos. Tapi di saat yang sama, bagaimana kancing kemeja Isagi sudah terbuka semua sekarang, menampilkan kulit seputih susu yang basah oleh keringat dan kedua puting memerah yang mengeras tampak membusung dengan begitu memikat, membuat kepolosan itu tampak semakin erotis di mata setiap orang di dalam ruangan. Ditambah dengan pergerakannya yang sangat kontradiktif─seolah Isagi memohon dengan sangat untuk siapapun dan apapun memanjakan lubangnya detik itu juga─membuat masing-masing alpha di sana mulai kehilangan kewarasan.
“Use your words.” Rin berkata, suaranya turun beberapa oktaf, penuh dengan gairah. Dia menikmati bagaimana Isagi masih terus mencumbukan kelamin mereka berdua dengan susah payah. Spasi yang sempit membuat dia tidak leluasa menggerakkan pinggul, dan itu dapat membuat Isagi kelimpungan dan nyaris menangis oleh rasa gatal yang tak terbendung; yang butuh semua orang untuk menyentuhnya dengan berbagai cara. “Bilang, lo mau apa?”
“Mau─” Isagi memejamkan mata, kedua pipinya semakin merona, akalnya semakin terkikis tak bersisa. Dia dapat merasakan cairan lubrikasi menetes terlalu banyak dari lubangnya hingga merembes ke celana, kemudian mulai membasahi celana kain mahal milik superiornya. Sang alpha dominan jelas tahu apa yang dia inginkan, tetapi laki-laki itu tidak ingin melakukan apapun dan Isagi merasa omega dalam dirinya semakin meraung penuh derita. “Isa mau dimasukin.”
“Gue nggak denger jelas,” kata Rin, apatis. Meskipun kini penisnya sudah semakin membesar dan menyesakkan celana. Tinggal tunggu waktu sampai dia tidak dapat membendung gelombang libido yang menggelora dan mulai meledak tak bersisa. “Ngomong lebih keras, atau gue nggak bakalan tau.”
“Isa mau,” Isagi merasa tenggorokannya tercekat, “Isa mau dimasukin Rin─”
Rin mengerutkan dahi. Kedua manik mata Isagi yang berkaca-kaca semakin membuat kewarasannya dipertanyakan. Dengan kasar, dia meremas pantat sintal sosok di pangkuannya, membuat yang bersangkutan menjerit keenakan. “Kurang keras,” desis Rin tanpa ampun.
Isagi tak kuasa menahan rasa gatal baik di kedua putingnya yang mengeras maupun di lubangnya yang kini tak henti berkedut kelaparan. Maka, dengan bersusah payah, dia memekik, “Mau dimasukin sama punya Rin! Isa mau penis Rin!” Dia terisak. Air matanya yang menetes membuat libido Rin semakin memuncak. “Please, I need you. Rin, please…”
“I know.” Rin berbisik pelan, penuh afeksi. Tangannya bergerak melucuti kemeja putih Isagi dan membuangnya ke sembarang arah dengan tidak sabar. Kini, kulit putih susunya tercumbu dengan angin secara merata. Hal demikian membuat Isagi semakin bergidik oleh rasa sensitif yang kian menjadi.
“Mau ini, hm?” tanya Rin kemudian, salah satu tangannya menarik telapak Isagi untuk menyentuh pada bukit prominen yang menonjol dari balik celana. Isagi melenguh dan mengangguk cepat. “Mau,” rintihnya putus asa.
Rin menjilat bibir bawahnya lamat-lamat. “Then, strip yourself naked and kneel.”
Dan itulah yang dilakukan Isagi.
Dia segera beranjak dari pangkuan sang superior, dan dengan satu gerakan cepat dan pasti, dia sudah melepaskan baik celana kain maupun celana dalamnya di saat yang sama. Isagi dapat merasakan bagaimana lubang hangatnya tidak berhenti memproduksi cairan, semakin lama hal itu semakin membuat kepalanya menggila. Ketika tubuhnya benar-benar sudah tidak lagi tertutup oleh sehelai benangpun, Isagi dapat merasakan tatapan setiap alpha di ruangan itu membakar punggungnya.
Dalam diam, Isagi dapat merasakan cairannya semakin menetes membasahi paha dalam antusiasme.
Omeganya melompat dalam sukacita tiada tara.
“Hisap.” Itu adalah ultimatum absolut yang dikeluarkan oleh Itoshi Rin tatkala dia sudah mengeluarkan kejantanannya yang begitu masif, panjang, dan berurat dari balik celana. Organ itu menampar pipi Isagi keras, membuatnya terkesiap sesaat oleh ukurannya yang jauh di luar nalar. Andaikata wangi feromon di dalam ruangan tidak membuat kepalanya berantakan, dia pasti sudah berusaha kabur sekarang karena tidak mungkin ukuran sebesar itu tidak membelahnya menjadi dua nantinya.
“What are you waiting for?” Rin berkomentar, tidak sabar. “Suck.”
Isagi tidak pernah melakukan hal seperti ini sebelumnya. Untuk itu, dia hanya mengikuti insting natural dari omega dalam dirinya untuk memberi kenikmatan sebanyak mungkin pada alphanya. Dengan malu-malu, dia menjilatkan lidah pada kepala penis Rin, seolah sedang mengecap permen untuk kali pertama. Isagi menjilat lamat-lamat pada batang penis Rin yang berurat, merasakan bagaimana permukaannya terasa panas dan begitu menggiurkan. Tetapi di luar itu, dia tidak mengerti harus lakukan apa lagi selain menjilat setiap permukaan penis sang keturunan Itoshi.
“Masukkan ke mulut lo, Isagi.” Rin berucap dengan berat. Jilatan Isagi tidak cukup untuk membuatnya mencapai pelepasan. Untuk itu, dia menarik dagu Isagi sampai terbuka dan mendorongkan kepala penisnya ke dalam. “Gue bilang hisap bukan jilat.”
Perkara pertama, Isagi tidak punya pengalaman melakukan seks oral. Perkara kedua, kejantanan Rin terlalu besar. Ketika mengulumnya di antara labium, Isagi dapat merasakan rahangnya mulai kesakitan dan air mata mulai mengisi pelupuknya.
“Yes, like that.” Rin mendesah puas. Satu tangannya menuntun kepala Isagi untuk bergerak naik turun, sejauh mungkin membiarkan penis lelaki bermanik toska melesak menuju ke tenggorokannya. Sementara itu, satu tangan Rin yang lain tampak mengeluarkan ponsel untuk menelepon seseorang. Itu hanya butuh beberapa detik sampai suara di seberang telepon menyapu pendengaran.
“Empty the third floor as soon as possible,” ucap Rin kemudian. Dia mengerutkan dahi dan dengan tanpa ampun, laki-laki itu menarik kepala Isagi sampai semua penisnya masuk ke lubang atas laki-laki itu yang hangat dalam satu kali hentakan. Isagi merasa matanya berkunang-kunang dan tenggorokannya terasa panas oleh dorongan yang keras dan tiba-tiba.
“Unghh, mmff─” Erangan itu tertahan di kerongkongan, getarannya membuai permukaan kulit Rin dan dia menghela napas panjang selagi tangannya tidak berhenti menarik kepala Isagi untuk bersinggungan dengan selangkangannya berkali-kali.
Melihat itu, Rin menyeringai puas. “No, do it now. Dan jangan ada yang boleh masuk ke ruang rapat di lantai tiga sampai besok.” Dia menambahkan, “You hear me?” Setelah mendengar jawaban dari seberang telepon, Rin lantas memutuskan sambungan. Dia melemparkan ponselnya ke atas meja, kali ini memfokuskan diri pada satu hal yaitu pada bagaimana mulut Isagi terisi penuh dengan penisnya dan bagaimana kedua manik biru laut laki-laki itu berputar ke atas seolah sedang mengonsumsi ekstasi.
“You’re so fucking adorable,” tukas Rin di antara helaan napas berat. Tidak lama kemudian, ketika dia sudah merasakan orgasmenya tiba, laki-laki itu menahan rahang Isagi di tempat dan berbisik, “Swallow all of my come. You can do it, right?”
Isagi, dengan insting omega yang memenuhi kepala, tidak ingin lakukan apapun kecuali memuaskan alphanya. Jadi, dia mengangguk dengan patuh dan antusias. Tatkala cairan kental dan banyak mulai memenuhi tenggorokannya, kendati sedikit tersedak, laki-laki itu langsung meneguknya seperti dia semata-mata memang ditakdirkan untuk meneguk cairan pelepasan milik alphanya. Setelah melepaskan kuluman pada kejantanan Rin, Isagi langsung mengusap sudut bibir dan mulai terbatuk-batuk, merasa sedikit mual, kendati tubuhnya kini terasa semakin panas.
Sperma alpha tidak hanya dapat membuat omeganya semakin tenang, tapi juga dapat membuat serigala itu semakin kegirangan.
“Good boy.” Rin mengusap pipi sang omega pelan, sebelum membawa laki-laki itu untuk dibaringkan di atas meja besar ruang rapat mereka. Kali ini, Isagi dapat merasakan dengan jelas bagaimana keenam alpha lainnya di ruangan itu kini menatapnya lapar─seolah dia tidak lebih dari sebuah hidangan melimpah yang bisa dicoba secara cuma-cuma.
Meski sekarang setiap spasi di tubuh Isagi merona merah muda dan semakin memanas, tapi tidak dapat dipungkiri bahwa tatapan liar itu membuat putingnya semakin mengeras, penisnya menegak, dan lubangnya berkedut dengan bersemangat.
“Fokus ke gue.”
Ucapan Rin membuat Isagi berjengit. Aura dominan laki-laki itu membuat omeganya tidak berhenti merengek untuk meminta lebih, sehingga yang bisa dilakukan Isagi hanyalah menurut dan menunduk patuh. Dia mendesah pelan ketika Rin mulai membenamkan hidung di perpotongan leher, menghisap kulitnya dengan kasar dan Isagi yakin itu akan meninggalkan tanda. Di saat yang sama, tangan laki-laki itu tidak berhenti di sana. Jemarinya mengusap pada cairan lubrikasi Isagi yang berceceran, menggunakannya sebagai pelumas untuk ujung jarinya mulai melakukan intrusi ke dalam lubang anal yang hangat dan sempit.
“Lo basah banget,” komentar Rin. Lidahnya menyusuri tulang klavikula yang menonjol. “You like it this much, huh?”
“Mnhh, Rin─” Isagi mengalungkan lengan pada pundak Rin, meremas pada helaian rambut gelapnya ketika yang bersangkutan mulai menjilat areola dan menggigit putingnya keras. “Ah, ah! Rin! Ngh…”
Sebelah tangan Rin yang lain bergerak untuk memainkan puting Isagi yang tidak sedang dimainkan oleh lidahnya; memilin, memijat, dan meremas dalam gestur berantakan dan tanpa ampun. Isagi merasa sakit dan nikmat di saat yang sama. Dia tidak bisa berhenti mendesah terutama ketika ketiga jemari panjang Rin sudah masuk ke dalam liang hangat dan menusuk tepat menyentuh prostatnya, membuat otaknya semakin menggila dan yang dia ingat hanyalah nama Rin dan bagaimana rasa nikmat dapat membuat tubuhnya menggelinjang hebat.
“Rin, Rin, Rin!” Isagi merapalkan nama Rin seperti doa. “Please, please─ mau lebih, Rin, alpha please…”
Rin merasakan penisnya semakin membengkak ketika omega itu─omeganya─berteriak dengan putus asa. Tidak ada hal yang lebih erotis daripada melihat bagaimana Isagi menangis oleh karena keinginannya yang berlebih untuk digempur dengan penis alphanya sampai kehilangan akal.
“Mau apa, manis?” Rin bertanya sambil mengecup berkali-kali pada bibir ranum Isagi yang tidak berhenti mengeluarkan desahan inkoheren.
“Mau penis Rin.” Isagi tersedak oleh tangisannya sendiri. “Isa mau penis alpha, please, please, please fill me up with your come.”
“Then what?” Rin memijat batang penisnya sebelum memposisikan diri tepat di lubang Isagi yang berkedut lapar. Ah, betapa visi itu sendiri cukup untuk membuat akal Rin jatuh sepenuhnya ke dalam jurang kegilaan. “What do you want to do with my come?”
“I want to carry your pups.” Pada titik ini, Isagi sudah tidak lagi memiliki rasa malu. Karena selanjutnya, dengan insting yang merangsek masuk dan membunuh setiap jengkal akal sehatnya, laki-laki itu menarik pahanya sendiri kemudian melebarkan kaki─mempersiapkan posisi seolah dia sudah sangat siap untuk disetubuhi. Dia mempertontonkan lubangnya yang berkedip seduktif, menanti untuk alphanya cabuli tanpa permisi. “Lubang Isa mau diisi penuh sama sperma Rin,” kedua mata biru Isagi yang polos mengerjap lemah, “pretty please?”
Rin merasakan rahangnya mengeras. “Fuck.”
Dengan itu, tanpa pikir panjang, dia langsung membiarkan penisnya merangsek masuk ke kedalaman yang hangat dan sensual yang ditawarkan oleh sang omega. Isagi merasakan bagaimana setiap senti kejantanan milik superiornya seolah membelah organnya menjadi dua, membuat dia tidak dapat lagi berucap apa-apa selain desahan tak terbendung yang ikut menetes beriringan dengan air liurnya yang membasahi pipi oleh intromisi tiada tara.
“Ah, ah, ungh─” Isagi merasakan pikirannya berantakan. Kedua tangannya mencengkeram pada udara kosong dan ketika melihatnya, Rin lantas menggenggam kedua tangan Isagi untuk dia letakkan di atas kepala laki-laki itu. Detik kemudian, dia meneguk semua desahan Isagi dengan mengunci mulutnya dengan bibirnya sendiri. Isagi mengerang oleh hentakan terus menerus pada lubang bawahnya, dan Rin meneguk semua itu dengan permainan lidah yang berserakan dan penuh nafsu.
“Rin, ungh! Ah!” Sang omega tidak dapat mengikuti pergerakan lidahnya yang terlalu cepat dan menuntut. Laki-laki itu tidak berhenti terisak; baik oleh stimulasi berlebih maupun rasa nikmat yang tiada dua.
“How is it?” Rin berbisik di antara regulasi pernapasannya yang tidak beraturan. “Enak?”
“Ah, ah, ah, enak banget─” ucap Isagi. Kedua matanya bergulir ke atas, merasakan bintang-bintang bermunculan di balik kelopak mata. “Terus, terus, alpha─ mau lagi yang lebih, please.”
Rin kembali menempelkan bibir Isagi dengan miliknya, membawa laki-laki itu ke ciuman panjang yang memabukkan. Dia menggigit bibir Isagi dan lelaki di bawahnya itu membuka mulut, membiarkan lidah mereka kembali beradu dengan tempo yang lebih menuntut dari sebelumnya. Rin menarik salah satu tangan Isagi dan membawa telapak tangannya untuk menyentuh perut bagian bawah laki-laki itu sendiri. Rin menempelkan dahi mereka berdua, kedua mata sewarna toska dan biru saling bersirobok dengan penuh arti.
“Lo bisa ngerasain gue di sini,” tukasnya kemudian sambil melanjutkan pergerakan pinggulnya, lebih dalam dari yang terakhir kali. Isagi semakin menggelinjang ketika menemukan bahwa telapak tangannya dapat merasakan bagaimana penis sang superior menggempurnya sampai titik terdalam. “Dalem banget, kan? Gue bakalan kabulin permintaan lo.”
“Uhngh, ah, ah─” Isagi tidak bisa mengkomprehensi apapun yang diucapkan oleh alpha di atasnya. Dia sedang tidak bisa menerima segala informasi dengan akal sehat─tidak selama liang hangatnya masih dicabuli dengan kasar dan brutal seperti sekarang.
“Do you want to get pregnant with my child?” Rin bertanya, masih dengan pinggul yang tidak berhenti menggempur anal omeganya tanpa empati. Sementara yang bersangkutan bersusah payah mengatur napas hanya untuk mengeluarkan cicitan, “I want─ I want to get preggy.”
Rin mengerang dalam. “Gue mau anak yang banyak,” katanya, kali ini tangan laki-laki itu mengangkat kedua tungkai Isa untuk diletakkan di kedua bahu; mempermudah aksesnya untuk melakukan penetrasi. “Lo bisa nggak?”
“Ungh, ah, mmhn─ bisa, alpha.” Suara Isagi tersendat-sendat oleh manuver yang dikerahkan Rin dengan tempo terlampau cepat.
“Lubang lo gue pake setiap hari,” Rin menambahkan, “mau?”
“Mau banget─” Isagi menggigit bibir bawahnya kuat, berusaha untuk tidak terlalu terbuai dengan intromisi bertubi-tubi. Namun tidak ada yang bisa ditahannya terutama ketika Rin tidak berintensi untuk menurunkan ritme pergerakannya; meninggalkan Isagi dimabuk kepayang oleh penisnya yang tak henti menghujam sampai titik terdalam.
“Mau apa, sayang?”
“Mau dipake setiap hari─” Isagi membusungkan dada, merasakan bagaimana udara semakin menggelitik kedua putingnya tanpa permisi. “Isa mau banget dipake setiap hari! Isa suka dicabulin alpha─ nghh!”
Rin meraup buah dadanya dengan rakus dan hal itu memicu penisnya untuk nyaris mengeluarkan pelepasan yang tidak dapat terbendung lagi.
“Rin, Isa mau keluar─” bisiknya lemah. Rin mengecup dahinya dan membalas, “Let’s do it together.”
Kemudian tangan Rin memijat pada penis Isagi bersamaan dengan pergerakan pinggulnya yang lebih buru-buru, memancing orgasmenya untuk segera datang. Setelah dirasakannya titik dopamin mulai memuncak, dia berbisik di perpotongan leher sang omega, “Let’s come.”
Kemudian Isagi memuncratkan pelepasannya keluar, sementara dia dapat merasakan bagaimana kedalamannya terpenuhi dengan cairan sperma masif yang ditembakkan oleh Rin.
Tapi, bukan itu saja yang dikeluarkan oleh laki-laki itu.
“Ah, Rin─” Isagi mengeratkan genggaman pada tuksedo si surai kelam. “Kamu knotting?”
“Ssst,” Rin membungkamnya dengan ciuman singkat. “Just feel it.”
Dan Isagi merasakannya; bagaimana ikatan yang dikeluarkan oleh alphanya terasa begitu besar dan intens, membuatnya merintih kesakitan, kendati di saat yang sama omega dalam dirinya berselebrasi dengan antusias. Itu butuh beberapa waktu sampai akhirnya proses knotting Rin selesai dan laki-laki itu mengeluarkan kejantanannya dari liang hangat Isagi.
Rin lalu mengecup pada pelipis Isagi ringan. “You did well.”
Ketika Rin bergerak menjauh, secara insting, Isagi lantas menarik lengan laki-laki itu untuk tidak pergi. Dia dapat merasakan bagaimana omeganya merengek untuk mendapatkan belaian kasih sayang dari sang alpha. Hal itu membuat Rin sedikit terbelalak, tetapi dia hanya mengirimkan senyum tipis sambil mengusapkan telapak tangan besarnya pada lengan Isagi pelan.
“Kalau lo bisa jadi omega yang baik buat gue,” katanya, “lo juga bisa jadi omega yang baik buat mereka.”
Dengan itu, Isagi dapat merasakan tatapan panas yang menusuk dari belakang punggung. Perlahan-lahan, dia menolehkan kepala, mendapatkan enam alpha yang menatapnya dengan iris mata tajam yang memerah terang.
“Oh.”
Oh.
Waktu seolah berputar dengan cepat ketika tubuhnya diangkat dengan sangat mudah untuk kemudian dihempaskan ke sebuah dada bidang yang familier.
“Yuki─” Dia menolehkan kepala, tetapi sebelum kata-katanya sempat diselesaikan, laki-laki berkacamata itu sudah lebih dulu mengunci mulutnya dengan ciuman ganas yang berantakan. Rahangnya digenggam kuat oleh tangan besar yang panas, mulutnya dipaksa terbuka oleh lidah yang merangsek masuk dan langsung mengeksplorasi setiap sudut geligi dan gusinya dalam satu waktu. “Ah, ngh, Yuki─ uumh,” Isagi tidak dapat formasikan kata-kata apapun ketika pikirannya hanya dipenuhi oleh bagaimana lingua hipertermis Yukimiya bergerak dengan begitu lihai untuk menginvasi mulutnya tanpa permisi.
“Gue juga di sini, by the way.” Suara Aiku menyapu pendengaran. Tubuh besar laki-laki itu menghimpit Isagi semakin ke dalam pelukan lelaki berkacamata, membuat kejantanannya bergesekan dengan milik Isagi yang menegak lemah. “Don’t forget me and do all the fun without me.”
Isagi seharusnya tahu; Aiku adalah sosok yang tidak pernah ingin tertinggal apabila itu menyangkut kegiatan yang menyenangkan. Dia suka menjadi pusat perhatian di ruangan. Jadi, laki-laki itu akan lakukan apapun untuk membuat semua perhatian tertuju padanya seorang. Maka, yang dilakukannya selanjutnya adalah mengangkat kedua paha Isagi sampai tubuhnya terangkat semena-mena, membuat ciumannya dengan Yukimiya terlepas dan fokus yang lebih muda langsung tertuju semata-mata kepadanya.
“Anjing Aiku.” Yukimiya mendengus sambil menjilat bibir bawahnya, merasakan manis yang tertinggal di sana.
Tapi, Aiku tidak mendengar maupun membalas. Laki-laki itu hanya tersenyum miring, dia semakin menghimpitkan Isagi di antara tubuh besarnya dengan figur tinggi Yukimiya, membuat Isagi merasakan kulit sensitifnya bergesekan berkali-kali dengan fabrik yang semakin membuatnya terangsang. Isagi melenguh, rasa gatal kembali bermunculan di setiap spasi di kulitnya.
Dia ingin lebih.
Dan lebih, dan lebih, dan lebih lagi.
“Ah, Aiku─” Isagi lantas menggesekkan putingnya pada kemeja Aiku, meminta friksi lebih pada area tersebut. Sementara pinggulnya bergerak ke belakang, mencumbukan analnya yang masih berkedut oleh kekosongan pada penis Yukimiya yang mengeras. “Yukimiya,… ungh, please alpha─”
Aiku tertawa kecil, tetapi suaranya memberat dan matanya menyalak dengan penuh gairah. “Wow, fuck. You’re so irresistible.”
“Ah!” Detik kemudian, Isagi dapat merasakan lidah Aiku menjilat pada putingnya dengan kasar. Tidak seperti yang dilakukan Rin, laki-laki itu lebih bersemangat dalam melakukan pergerakan linguanya di sekitar areola yang memerah. Isagi terkesiap oleh gigitan-gigitan tanpa ampun yang ditorehkan Aiku pada kedua putingnya, membiarkan kedua benda mungil itu semakin membengkak dan lebih sensitif dari yang seharusnya. “Aiku, Aiku─ ah, pelan-pelan.”
Ketika hidung bangir Yukimiya menyentuh perpotongan lehernya, Isagi memekik tertahan. Dia dapat merasakan bagaimana jari-jemari laki-laki itu juga bergerak mengusap punggungnya perlahan, sebelum beralih ke bawah dan meremas kedua pantat sintalnya dengan keras. Isagi melenguh oleh karena sentuhan kasar itu dan juga oleh karena cairan sperma Rin yang menetes keluar dari liang hangatnya secara bersamaan.
Isagi memiringkan leher, membiarkan Yukimiya meninggalkan jejak kemerahan pada setiap senti kulit putihnya yang terekspos lebih lebar. Dengan keadaan demikian, Isagi dapat menghirup dalam-dalam pada aroma yang dikeluarkan oleh kedua alphanya; Aiku memiliki aroma woody, selaiknya ketika dia menginjakkan kaki di hutan atau saat dia menapakkan diri pada aspal basah; sederhananya, wewangian petrikor yang memanjakan penghidu. Sementara Yukimiya tercium seperti sitrus dan perpaduan antara rempah-rempah dan kue tart; dua feromon berbau kontradiksi yang dapat dipadukan untuk membentuk aroma menenangkan.
Bau feromon dari kedua alphanya itu membuat kepala Isagi semakin ringan dan dia merasa seolah berada di surga.
Isagi menggigit balik erangan ketika jemari Yukimiya mulai masuk ke liang hangatnya yang masih terlampau sensitif dan hiperemis. “Jangan ditahan, Sa,” Yukimiya berbisik. Bibirnya bergerak ringan mengecup belakang leher yang lebih muda pelan. “Gue mau dengerin.”
“Lo kalo mau teriak juga nggak apa-apa,” sambung Aiku. Kini, laki-laki itu menggigit pada jakun Isagi dan menjilatnya lamat-lamat. “Suara lo enak didengerin.”
Isagi merasakan pipinya memanas, malu oleh pujian-pujian dari alphanya. Dia mencoba untuk menyembunyikan wajah, tetapi Aiku sudah lebih dulu menarik dagu laki-laki itu untuk tetap menatap ke arahnya. “Anjing, gue tau dari lama kalau lo imut,” katanya, “tapi sekarang lo keliatan imut banget. Fuck, it’s driving me crazy.”
Kemudian Aiku menarik dagu Isagi dan bibir mereka bertemu dalam ciuman kasar yang penuh ketidaksabaran. Laki-laki yang lebih tua memasukkan lidah dengan cara menuntut, Isagi kelimpungan ketika dia membuka mulut dan membiarkan linguanya terjamah secara semena-mena pada benda lunak milik alphanya.
“Ah!” Tubuh Isagi menggelinjang ketika Yukimiya akhirnya menemukan letak prostatnya dengan benar. Kemudian tanpa pikir panjang, alpha itu menghujam titik yang sama berkali-kali tanpa ampun. Isagi mengeratkan genggaman pada bahu Aiku ketika mulutnya masih diinvasi dengan lidah yang bergerak terlalu menuntut, putingnya masih dicubit secara semena-mena sampai memerah dan membengkak, lehernya masih digigit dengan posesif berkali-kali sebagai penanda bahwa dia sudah berkepemilikan, dan lubangnya masih dicabuli dengan tempo yang tak beraturan serta berantakan. Keempat hal itu terjadi secara bersamaan dan Isagi nyaris gila karenanya.
Atau, dia sudah gila karena hal selanjutnya yang dia lakukan adalah merengek, “Please, alpha─”
Aiku mengecup di sepanjang jejak air mata Isagi sambil bertanya, “Kenapa, sayang?”
“Masukin,” Isagi memberengut, air mata berkumpul di pelupuknya, “please, I want you to fill me up to the brim, alpha.”
“Isa mau dimasukin, hm?” Yukimiya menggigit pada telinganya pelan. “Mau punya gue atau Aiku, cantik?”
Isagi menutup separuh wajahnya, menyembunyikan bagaimana kedua pipinya merona.
“Mau dua-duanya,” dia bilang, “boleh?”
Dengan itu, baik Aiku maupun Yukimiya merasakan penisnya semakin mengeras.
Oh, Tuhan. Yukimiya bukanlah seseorang yang religius, tapi demi apapun yang ada di dunia ini dan segala isinya, laki-laki itu ingin berterima kasih pada semesta karena sudah mempertemukannya dengan Isagi Yoichi.
Untuk itu, Yukimiya lantas menarik dagu Isagi dan menciumnya sampai mereka berdua kehabisan napas sekali lagi. Dia melepaskan resleting celana dan mengeluarkan kejantanannya yang membengkak. Yukimiya melebarkan paha Isagi untuk membiarkan kepala penisnya mengecup pada lubang sang omega yang sudah lama mengedip rakus. Isagi merintih ketika yang lebih tua bergerak untuk memasukkan kemaluannya pelan, sebelum akhirnya dengan cepat memasukkan keseluruhan batang penisnya dengan sekali hentakan.
“Ngh!” pekik Isagi seketika. Kendatipun liang hangatnya sudah digempur tanpa ampun sebelum ini, bukan berarti dia tidak merasakan nyeri saat lubangnya dicabuli semena-mena untuk kesekian kali. “Ah, ah, Yuki─ slow, ah, slow down─”
“Lubang lo,” Yukimiya mendesah kasar, “longgar banget.”
Pergerakan pinggul Yukimiya yang agresif membuat tubuh Isagi terdorong ke depan, mau tidak mau tubuhnya bergesekan berulang kali dengan fabrik pakaian Aiku. Hal tersebut membuat kulitnya semakin gatal dan sensitif, rangsangannya yang berlebihan membuat kepalanya kalang kabut untuk mencari pelepasan.
Sebelum dia sadari, paha Isagi ditarik untuk semakin melebar dan kepala penis Aiku juga berusaha ikut merangsek masuk ke dalam lubangnya. Menyadari hal itu, Isagi merasa keringat dingin mulai mengalir jatuh di permukaan kulit. Jantungnya berdegup oleh rasa ngeri atas bagaimana dua penis alphanya saling mencari jalan untuk memasukin liang hangat yang sama.
“Aiku─” Isagi terkesiap ketika si lelaki berkacamata berhasil menemukan titik termanisnya sekali lagi. Dengan susah payah, dia melanjutkan, “Yuki─ ah, Yukimiya belum keluar dari aku.”
“Ssst. Nggak apa-apa, sayang.” Aiku bergerak untuk mencium pada garis rahangnya dengan gestur menenangkan. “Rasain aja, hm? It will be good, I promise.”
Namun, seharusnya Isagi tidak pernah percaya atas apa yang diomongkan oleh seorang Aiku Oliver.
Sebab ketika penis laki-laki itu mencoba untuk merangsek masuk, Isagi merasakan rasa sakit yang terlampau sangat dari daerah bagian selatannya. Itu seolah udara sudah terkuras habis di sekitar, sehingga mulutnya terbuka dengan lebar oleh karena pasokan oksigen yang tidak bisa memenuhi kedua paru-parunya saat itu juga.
“Uh, ngh, sakit─” Bibir Isagi bergetar, air mata mulai menetes dari sudut matanya dengan deras. Dia tidak lagi merasa seperti terbelah dua. Kalau itu memungkinkan, dia merasa seolah tubuhnya bahkan terbelah empat oleh karena intromisi kedua penis besar di saat yang sama. “Aiku, Yuki. Sakit. Ugh…”
“Aiku,” Yukimiya menggertakkan gigi, “lo kalau mau masuk pelan-pelan, bodoh.”
“I’m so sorry, darling,” ucap Aiku lagi, terdengar merasa bersalah, kendati dia tidak menunjukkan tanda-tanda untuk mengeluarkan genitalianya dari liang hangat yang lebih muda. “Habis ini enak kok. Janji.”
Detik kemudian, Aiku kembali memasukkan penisnya, kali ini lebih cepat dari yang sebelumnya. “Ah, ah, ah!” Isagi tidak dapat menghentikan desahannya ketika merasakan dua penis yang mengisi lubangnya. Dia merasa penuh─sangat penuh─Isagi rasa dia tidak akan melupakan bagaimana kedua kejantanan itu memenuhi rongganya sampai berhari-hari ke depan.
“Fuck, anjing.” Yukimiya bersumpah serapah di bawah napas. Dengan tidak sabaran, dia melepas kacamata dan melemparkannya ke sembarang arah. Laki-laki itu mengerutkan dahi penuh konsentrasi. “You look so sexy right now, Isagi.”
Aiku tertawa kecil, napasnya terhembus dengan tidak beraturan. “I know right.”
Isagi tidak tahu apakah ini hanyalah insting seorang alpha, atau memang kedua orang itu memiliki kemampuan untuk bertelepati dengan satu sama lain, sehingga selanjutnya mereka berdua sama-sama saling menggerakkan pinggul. Mobilitas di antara keduanya saling beriringan; sama-sama keras, sama-sama kuat, dan sama-sama membuat pening kepala. Pergerakan Aiku dan Yukimiya saling berharmonisasi dalam mengoyak dinding-dinding rektum Isagi sampai yang bersangkutan tidak bisa lagi formasikan kata-kata atau bahkan sekadar bernapas dengan benar.
“Mau─” Isagi merintih di antara desahannya yang tidak koheren, “Isa mau keluar─”
“Iya, sayang.” Aiku masih menggerakkan pinggulnya dengan irama brutal dan tetap berintensi pada satu titik yang sama. “Gue juga bentar lagi keluar.”
“Gue juga,” tukas Yukimiya. Dia memberi kecupan seringan kupu-kupu pada permukaan kulit punggung Isagi. “Keluar bareng, ya?”
Isagi tidak kuasa untuk menjawab apa-apa kecuali desahan beruntun tak berkesudahan. Dia dapat merasakan bagaimana pergerakan kedua alpha di sisinya semakin tidak karuan, tidak lagi saling berharmonisasi, yang mana justru membuat Isagi mabuk kepayang oleh hujaman yang bertubi-tubi dari gestur keluar-masuk dua penis yang memenuhi lubang hangatnya selama beberapa menit terakhir.
Laki-laki bermanik biru laut mendesah panjang ketika dirasakannya pelepasannya mulai keluar secara berhamburan, diikuti dengan tembakan sperma di dalam liangnya yang dilakukan oleh dua orang alpha secara bersamaan. Jika tadi Isagi merasa sangat penuh, kini dia merasa seolah tubuhnya tak ubahnya sebuah tempat penampungan sperma semata. Cairan ejakulasi alpha-alphanya yang ditembakkan terlalu dalam sudah cukup untuk membuat perut Isagi terasa penuh, bahkan kini abdomennya yang seharusnya rata sudah lebih membuncit daripada biasanya.
Dengan itu, dia hanya bisa menghela napas panjang. Setelah orgasmenya tadi, tubuhnya seperti tidak bisa lagi diajak untuk berkompromi. Dia membiarkan tubuhnya lunglai di antara kedua alpha yang masih terimersi dalam keheningan. Aiku menyandarkan dahi pada leher sebelah kiri Isagi sementara Yukimiya menggigit pada sisi leher yang lain─tidak terlalu dalam, tetapi cukup kuat untuk meninggalkan bekas kepemilikan yang kentara.
“Capek?” tanya Yukimiya kemudian. Isagi tidak mengatakan apapun selain menganggukkan kepala lemah. Dengan perlahan, Yukimiya melepaskan pagutan di daerah selatan mereka, membuat Isagi sedikit meringis oleh udara yang kembali mengisi kekosongan. Tidak lama dari itu, Aiku juga mengeluarkan kejantanannya, meski setengah hati karena dia tidak akan melakukannya apabila Yukimiya tidak mendelik dan memaksanya untuk sekali saja bersikap tenggang hati pada omega mereka.
“You’re amazing,” puji Aiku kemudian, tidak lupa mengirimkan ciuman-ciuman kecil yang menggelitik di seluruh wajah Isagi, membuat yang lebih muda tersenyum kecil. “Udah, geli tau,” komentarnya parau.
Kegiatan mereka terhenti tatkala suara tepukan ringan terdengar.
“Udah belum?”
Itu Tabito Karasu. Laki-laki itu tampak melipatkan lengan di depan dada, alis tertarik ke atas penuh tanda tanya, tapi di saat yang sama diiringi penghakiman. Suaranya terdengar penuh kebosanan, seolah dia sudah menunggu sejak lama sekali dan diam-diam menyimpan dendam rapat-rapat.
Aiku berdecak. “Party pooper.”
Sejurus kemudian, Tabito lantas mengangkat Isagi dari pelukan Aiku, lalu membawa laki-laki itu dengan gaya seperti pengantin yang barusaja menikah. Melihat itu, Aiku dan Yukimiya sama-sama memutar bola mata lalu mendecih diam-diam.
“Lo nggak lupa sama kita kan, Sa?” tanya Tabito selanjutnya. Senyum laki-laki itu lebar, lebar sekali sampai Isagi merasa sekujur tubuhnya mulai meremang. Bahkan ketika laki-laki itu mengecup pelipisnya pelan, Isagi tetap merasa tubuhnya tidak bisa kembali rileks.
Terutama, ketika dia menatap pada ketiga orang yang kini menatapnya dengan tatapan yang tidak pernah dilihatnya sebelum ini.
Tabito berbisik tepat di samping telinga Isagi. “Are you ready, cupcakes?”
Dan Isagi lantas merasa bagian bawah perutnya menghangat dan omega dalam dirinya menyungging senyum penuh antusiasme.
“Isa, gue kira bibir bawah lo doang yang enak,” Otoya tersenyum miring, peluh membasahi dahi dan poni perak platina dengan semburat kehijauan menempel di pelipisnya, “ternyata bibir atas lo juga nggak kalah enak.”
Isagi tidak menjawab apa-apa. Kepalanya sudah tidak lagi berfungsi dengan baik, akalnya telah lama terbuang sia-sia entah di manapun itu; lagipula, dia juga tidak lagi peduli. Kewarasannya sudah benar-benar melesap tak bersisa, sementara insting omeganya terlampau mendominasi serebrum dan yang dia bisa pikirkan sekarang adalah untuk melebarkan kaki dan digauli oleh alpha-alphanya berulang kali dan tanpa henti.
Karena itu, dalam kondisi inilah dia berada.
Tubuhnya terbaring di atas meja ruang rapat dengan kedua kakinya diletakkan pada bahu Tabito selagi laki-laki itu memberikan oral pada kemaluannya dengan penuh konsentrasi. Satu tangannya tidak berhenti menghujam pada prostat Isagi yang terlalu sensitif, mengirimkan erangan tertahan dari sang omega berkali-kali. Sementara itu, kedua tangan Isagi menggenggam pada dua penis alphanya yang lain.
Barou menuntut tangan Isagi untuk menggenggam kejantanannya lebih kuat, beberapa kali berdecak oleh rasa nikmat ketika mengetahui satu genggaman tangan Isagi tidak cukup untuk melingkari batang penisnya. Isagi berusaha untuk memijat penis laki-laki itu sekuat yang dia bisa, dan tatkala yang bersangkutan mengirimkan pujian “Good omega, so good for me,” berulang kali, omega dalam dirinya lantas bergerak kegirangan.
Di lain sisi, Kunigami bergerak lebih dekat. Laki-laki itu menuntun tangan Isagi untuk mengarahkan kepala penisnya pada puting sang omega. Ini tidak seperti yang dia bayangkan; rangsangan penis yang menyapu permukaan areola dan mencumbu puting memerahnya membuat Isagi menggelinjang hebat.
“You like it, huh?” Lelaki bersurai oranye berbisik dan menggigit cuping telinganya pelan, cukup untuk membuat Isagi mengeluarkan erangan. “Your nipple is so fucking tasty.”
Kunigami tidak henti menggesekkan penisnya di buah dada Isagi; membuat daerah itu semakin hipersensitif, kendati di saat yang sama diam-diam dia merasa semakin menikmatinya.
Dan yang terakhir adalah Otoya. Isagi tahu laki-laki itu sering bertindak seenaknya sendiri. Maka ketika Isagi dihempaskan di atas meja untuk kali pertama, Otoya langsung bergerak memiringkan kepala yang lebih muda untuk kemudian mencabuli mulut sang omega berulang kali dengan tempo cepat yang membuat pusing kepala.
Otoya tertawa kecil. “Lo sering ngoral siapa aja sebelum ini, hm?” tanyanya, masih dengan pergerakan pinggul tanpa ampun yang membuat Isagi kehabisan napas. Air mata laki-laki itu menetes deras, dan semakin dia terlihat tak berdaya, semakin Otoya merasa penisnya menegang lebih kuat.
“Unggh, emffh─” Isagi merintih ketika dirasanya pergerakan Tabito semakin tak beraturan di daerah selatannya, tetapi hujaman laki-laki itu tetap presisi pada prostat yang sama untuk dia cabuli berkali-kali. Otoya tetap mendorongkan penisnya ke tenggorokan yang lebih muda, semakin merasa bahwa kehangatan yang ditawarkan dapat membuatnya kecanduan.
Kedua mata Isagi berputar ke atas, dia akan mencapai orgasme di saat yang sama ketika Otoya semakin menggerakkan pinggulnya dengan terlampau berserakan. “Gue mau keluar,” katanya dengan napas tersenggal, “minum semuanya ya, sayang.”
Maka, itulah yang dilakukan Isagi. Dia merintih tatkala orgasmenya datang, membuat sekujur tubuhnya meriang dan penisnya mulai ejakulasi di dalam cavum oris Tabito yang masih terus mengulum. Sementara mulutnya tak berhenti meneguk ketika tembakan sperma kental dan banyak mulai memasuki kerongkongan, berusaha semaksimal mungkin untuk menelan semua ejakulat Otoya seperti seorang omega yang baik bagi para alphanya.
Tubuh Isagi melemas ketika Tabito melepaskan kemaluannya dan penis Otoya sudah tidak lagi memenuhi rongga mulut. Tapi detik kemudian tubuhnya yang lunglai diangkat semena-mena oleh lelaki bersurai perak kehijauan, kali ini dengan lengan laki-laki itu yang membuka paha sang omega semakin lebar di udara untuk mempertontonkan sfingter ani yang berkedut rakus, seolah meminta sesuatu untuk segera dimasukkan ke sana, kendatipun kedalaman itu sudah terkoyak berkali-kali oleh kejantanan alphanya yang lain.
Nyatanya, omega dalam Isagi masih merengek untuk meminta lebih.
“Wow, lihat,” Tabito berucap sambil menikmati pemandangan omeganya dengan kaki terbuka lebar sedemikian rupa. Dia menjilat bawah bibir saat menatap pada kulit putih susu yang dinodai oleh rona kemerahan. Buah dada Isagi membengkak dan putingnya menegak kuat. Tabito dapat melihat bagaimana perut yang lebih muda sedikit membuncit oleh sperma yang terestorasi di dalam sana, tak lupa dengan anal yang tidak berhenti mengedip meminta untuk digauli tanpa henti oleh alpha di dalam ruangan.
Detik itu, Tabito Karasu merasa seperti sedang melihat sebuah mahakarya.
“Isagi. Isagi Yoichi,” gumamnya pelan, selagi tangannya memijat pada batang penisnya sendiri dan dia arahkan itu tepat di liang kemerahan Isagi. Hal itu membuang sang omega rasakan tubuhnya merinding sebagai bentuk antisipasi. “Lo lacur banget.”
“Ah!” Isagi membeliak ketika Tabito lantas memasukkan setiap senti penisnya ke dalam rektum yang lebih muda dengan sekali hentakan kasar. Dia menggeliat, punggungnya membusur dan kepalanya bersandar pada bahu Otoya yang kini sibuk memberi gigitan-gigitan di sepanjang lehernya. “Ngh─ Tabito, penuh…”
“Lo suka, kan?” tanya si surai gelap. Pinggulnya kembali menghentak pada satu titik yang sama, membuat Isagi menjerit oleh stimulasi yang berlebih dan tanpa ampun pada lubangnya. “Lo suka kan dikontolin sampai penuh?”
Kendati kesadarannya nyaris sepenuhnya berkabut, tetapi Isagi tidak dapat menahan rona kemerahan di kedua pipi tatkala mendengar kata-kata vulgar dari yang lebih tua. Dia selalu tahu Tabito memiliki mulut yang kasar dan sembarangan, tetapi mendengar itu semua diarahkan untuknya membuat tubuh Isagi semakin memanas.
“Anjing,” bisik Tabito rendah, “Lo makin rapet gini, lo sesuka itu sama kontol gue, hm?”
“Suka─ ah, suka banget,” ungkap Isagi, napasnya terputus-putus. Kedua tangannya kebas tetapi baik Kunigami maupun Barou tidak membiarkan genggamannya melepas dari penis mereka yang masih menegak keras.
“Suka apa sayang?” Kini Tabito memperlambat tempo, menggoda Isagi agar laki-laki itu merengek oleh kenikmatan yang tertunda. Hal itu membuat pantat sang omega bergerak mendekat, mencoba untuk memasukkan kejantanan Tabito sampai titik terdalam yang dapat membuatnya kegirangan. Tetapi sebesar apapun usahanya, dia tetap tidak dapat mencumbukan kepala penis sang alpha dengan prostatnya yang berkedut kelaparan.
Dia kembali merintih. “Suka kontol besar alpha,” rengeknya kemudian, sudah benar-benar putus asa. “Ungh,… Isa suka dikontolin alpha! Ah─”
Tabito tertawa kecil. Pinggulnya mulai bergerak dengan lebih cepat. “Sayang, gue entotin setiap hari mau?”
“Ah, ah, ah─ mau,…”
“Gue masukin lubang lo di kasur, di ruang kerja, di kamar mandi, di balkon,” Tabito terus meracau selagi Isagi tidak berhenti mendesah, “gue cabuli lo waktu lo ngerjain proposal, waktu lo masak, waktu lo tidur. Gue entot lo di manapun dan kapanpun yang gue mau.” Laki-laki bersurai gelap mengecup pada pipi sang omega yang basah oleh air mata. “Can you do it for me, baby?”
“I can─” Isagi merintih, “I can… for you, alpha.”
“Good omega. Our omega is so good for us, hm?” Tabito berbisik di telinga Isagi, sementara hentakannya tidak menunjukkan rasa lelah berarti yang membuatnya berpikir untuk berhenti barang sebentar. Mulut Isagi terbuka, lidahnya terjulur keluar, dan kedua irisnya tersembunyi di balik kelopak mata yang mengerjap sayu.
“Mau─ mau keluar, emhh…” Isagi mendesah panjang tatkala tangan besar Kunigami mulai memijat batang penisnya yang menegak lemah. Laki-laki itu mengusapkan ibu jari pada glans penis Isagi lalu menekan orifisium uretranya tanpa ampun, membuat yang bersangkutan lantas menggelinjang hebat. Tidak lama kemudian, Isagi dapat merasakan pandangannya memutih seiring dengan orgasme yang melesat menuju puncaknya dalam sepersekian sekon. Detik kemudian, tubuhnya lantas melemah, punggungnya bersandar lunglai pada dada bidang Otoya selagi napasnya memburu dan terputus-putus.
“Gue belum keluar loh, Sa,” ujar Tabito kemudian, senyum timpangnya membuat Isagi merasakan tubuhnya kian mendingin.
Namun, bisikan Otoya di belakang kepala Isagi membuat laki-laki itu semakin merasa keringat dingin mengalir membasahi punggung.
“If you can take him, you can take me as well, right?”
Isagi menjerit ketika dirasanya penis si surai perak mulai mengintrusi, memaksa masuk ke dalam lubang yang melonggar dan sensitif; indikasi penggunaan berulang dan tanpa henti. Otoya menggeram di bawah napas ketika merasakan kehangatan yang mulai melingkupi kejantanannya. Cairan lubrikasi yang menetes dari lubang senggama Isagi membuat libidonya menyeruak tak terkendali─Otoya tidak dapat menahan diri untuk tidak lantas menghentakkan pinggul sampai kepala penisnya bercumbu pada prostat sang omega.
“Ah! Ungh─“ Sosok yang termuda merasakan bagaimana visinya menampilkan pendar kunang-kunang yang menyilaukan mata.
Isagi merasa terlampau penuh; terlalu banyak hal yang menyentuh sisi paling sensitif di tubuhnya. Namun di saat yang sama, dia membutuhkan friksi lebih dari apapun yang dia terima sekarang.
Dia butuh sesuatu yang lebih dari ini tetapi kedua alpha yang kini menggaulinya bahkan terdiam di tempat; mereka sama-sama tidak bergerak untuk memberikan rangsangan pada omeganya yang merintih dan merengek meminta lebih, dan lebih, dan lebih.
Isagi nyaris menggila ketika Tabito bergerak untuk menjilat putingnya dengan kasar.
“Isagi mau jadi omega yang baik, nggak?” Otoya kemudian bertanya di sisi kepala Isagi, seperti seorang kakak yang tengah membujuk adiknya untuk melakukan sesuatu yang dapat menuai pujian. Isagi, masih dengan air mata yang berkumpul di kedua pelupuk, mengangguk cepat. “Gerak sendiri buat puasin alpha bisa ya, sayang?”
“Uh?” tanya Isagi lemah. Dia menoleh dan menunjukkan sedikit kerutan di dahi sebagai bentuk kuriositas, dan Otoya tidak dapat menahan diri untuk tidak mencium pelipisnya pelan.
“Move yourself, baby.” Otoya mengelaborasi, telapak tangannya mencengkeram pada pinggang ramping Isagi dan diam-diam menikmati bagaimana yang lebih muda melenguh oleh segala sentuhan pada permukaan kulitnya. “Can you do it for us?”
Kemudian, Isagi tidak berbuat apapun kecuali mengikuti apa yang insting omeganya teriakkan di kepala; untuk dia mengikuti segala hal yang dipintakan oleh alpha-alphanya tanpa penolakan apa-apa.
Pahanya bergetar ketika Isagi dengan susah payah menurunkan tubuh, membiarkan kedua penis yang memenuhi lubangnya masuk semakin dalam untuk menembus rektum dan mengisi kedalamannya. Rektum Isagi seolah terbuka dengan paksa, dia hampir merasakan bagaimana sfingternya nyaris merobek oleh dua organ tubuh yang memasuki liang senggama di waktu yang sama. Namun Tabito tidak berhenti untuk mengeluarkan feromonnya, berusaha menawarkan kenyamanan, sehingga kini yang memenuhi penghidu Isagi adalah wewangian cardamon yang memeluk secara tak kasat mata di sekitarnya. Sementara Otoya menggeram, dapat dengan jelas melihat bagaimana batang kemaluannya dimakan dengan rakus oleh lubang sempit dan rakus omeganya.
“Damn.” Otoya menjilat bibir bawah, masih dengan mata yang mematai bagaimana pergerakan Isagi dilakukan dengan begitu hati-hati dan penuh arti. Punggung laki-laki itu penuh peluh, butir keringat mengalir sepanjang spinalis, sementara wangi gourmand miliknya yang memabukkan memicu Otoya mengeluarkan manis bergamot untuk memikat sang omega dalam sukacita persetubuhan yang tiada dua.
Isagi merasa air mata untuk kesekian kali membasahi kedua pipi. Dia bertanya-tanya sampai kapan dia harus menurunkan pinggul agar kedua kejantanan alphanya menyentuh prostatnya sekali lagi. Sebelum dia sempat berpikir lebih jauh, Barou sudah menarik dagu laki-laki itu lalu membawa ujung kepala penisnya untuk mengecup pada bibir ranum lelaki yang lebih mungil.
“Don’t forget this monster, babe,” Barou berbisik lembut, kendati wajahnya menunjukkan hal sebaliknya. “He will be sad.” Isagi membelalakkan mata, sebelum akhirnya dia membuka rahang sedemikian lebar untuk membiarkan penis sang alpha kembali mengisi kehangatan rongga mulutnya. Aroma feromon laki-laki itu mengisi indera penciuman Isagi, mendominasinya dengan wangi white musk yang khas dan kentara.
Selagi dia menyibukkan diri untuk mengoral alphanya yang lain, dengan tidak sabaran, Tabito menarik pinggang Isagi sampai laki-laki itu berhasil memasukkan keseluruhan dari pemilik feromon beraroma cardamon dan bergamot dalam sekali hentakan kuat yang presisi.
“Ngh!” Isagi menjerit di belakang tenggorokan. Dia melepaskan kulumannya pada milik Barou dan terbatuk ringan, merasa sedemikian penuh sampai otaknya tidak lagi berfungsi dengan baik. “Sa─ Sakit, umhh,…”
“Gerak dong, cantik.” Tabito bersuara. Telapak tangannya menampar pada pantat sintal sang omega yang memerah, membuat yang bersangkutan menggelinjang hebat. “Goyangin pinggul lo ini. Bisa, kan?”
Isagi merona. Dia mengangguk lemah.
Detik kemudian, Isagi berusaha keras untuk menggoyangkan pinggulnya seperti yang Tabito Karasu pintakan.
Desahan keras tidak absen dari belah bibirnya, mengisi ruangan dengan melodi monoton baik dari lenguhannya yang tanpa henti maupun bunyi kecipak atas persenggamaan yang kini berlangsung dengan terlampau liar.
“Ah, ah─” Isagi merasakan daerah selatannya terasa terbakar, dan penuh, dan sangat sangat nikmat di saat yang sama. “Ungh…”
Itu tidak butuh waktu lama sampai Kunigami menjadi seseorang yang kembali mengisi mulut Isagi. Kali ini, pergerakan laki-laki itu lebih kasar, sebab dia tidak punya kewarasan yang tertinggal kecuali pikiran untuk melakukan pelepasan di tenggorokan yang lebih muda detik itu juga. Dia menatap pada kedua bola mata sewarna biru laut Isagi yang menatapnya dengan penuh keinginan, seolah meminta untuk Kunigami segera mengeluarkan ejakulatnya agar dia bisa meneguk itu semua seperti seorang omega submisif yang tidak ingin apapun kecuali menyenangkan alpha-alphanya.
“Cantik─” Kunigami mendengus di bawah napas, pergerakan pinggulnya semakin cepat setiap kali ujung penisnya menggempur pada tenggorokan sang omega. “Lo cantik banget, omega.”
Ketika dipuji sedemikian rupa, Isagi semakin merasa telinganya memerah senang. Pinggangnya tidak berhenti untuk melakukan manuver naik-turun, mengendarai dua alphanya di saat yang sama seolah tubuhnya tidak terasa seperti sedang terbelah dua. Dia mencintai bagaimana prostatnya bersinggungan berkali-kali dengan kepala penis yang kepalang besar, menghantam dari berbagai sisi dengan tempo tak kenal simpati.
Maka, seperti itulah yang dia lakukan selama berjam-jam ke depan.
Isagi tidak tahu sejak kapan Barou dan Kunigami sudah secara bergiliran mengisi analnya, kali ini lebih kasar dan keras daripada yang sebelum-sebelumnya. Isagi tidak menyadari bagaimana dia menghirup ceruk leher Kunigami untuk merasakan aroma rosemary dan geranium yang memanjakan penghidu, menyukai bagaimana kedua aroma itu semakin membuat tubuhnya memanas dan merileks secara bersamaan.
Barou tidak berhenti menggigit pada belakang lehernya, memberi tanda sebanyak mungkin sebagai pertanda agar Isagi tidak melupakannya di kemudian hari. Sementara Kunigami tidak henti mencium bibir Isagi, menginvasi dan mengabsen satu persatu gigi yang lebih muda lamat-lamat.
Isagi tidak lagi mengingat berapa kali dia sudah melakukan pelepasan, atau seberapa banyak sperma yang direstorasi di dalam tubuhnya sejak pertama kali dia membiarkan alpha menggunakannya tanpa henti. Isagi tidak lagi bisa formasikan kata-kata yang koheren hanya untuk sekadar berkata bahwa dia tidak lagi bertenaga untuk menerima intrusi dari para alphanya, sehingga mereka tidak berhenti untuk mencoba memasukinya seolah tidak ingin omeganya merasa kekosongan pada lubang senggamanya barang sebentar saja. Bahkan ketika Isagi mencoba untuk menjauh, pahanya kembali ditarik dan dia kembali digempur berkali-kali dengan tempo cepat dan penuh nafsu, seolah mereka semua terjebak dalam musim kawin dan kewarasannya sudah absen lama sekali dari kepala.
Pada satu titik, Isagi membiarkan tubuh lunglainya dipakai untuk memuaskan para alphanya selama berjam-jam kemudian.
Di titik yang lain, Isagi hanya bisa memejamkan mata dan membiarkan lelah menguasai kesadarannya sepenuhnya.
Hal terakhir yang Isagi ingat adalah kedua manik toska yang menatapnya dengan penuh damba, selagi knot laki-laki itu kembali mengunci di dalam rahimnya seolah enggan melepas.
“You did well, love.”
Di titik itu, segalanya mulai menggelap.
Ketika terbangun, yang pertama kali Isagi rasakan adalah rasa lelah luar biasa di seluruh badannya tanpa terkecuali.
Hal kedua yang dia rasakan adalah bagaimana kini dia berada di sebuah ruangan familier yang dingin─terlampau dingin─dan dia menggigil atas hembusan angin yang terlalu menggigit pori-pori. Pakaian berwarna putih entah milik siapa yang kini dikenakannya tidak cukup untuk membuat bulu romanya berhenti menegak sensitif.
Setelah beberapa waktu, Isagi menyadari bahwa dia kini berada di ruangan pribadi superiornya. Detik selanjutnya baru menyadari bahwa dia berada sendirian di sana; tidak ada tanda-tanda seseorang lain mengisi spasi yang terlampau lengang di ruangan itu kecuali Isagi sendiri. Sebuah kasur besar yang empuk dan nyaman beserta peralatan lengkap lain di dalam ruangan menjelaskan segalanya. Di antara pikirannya yang berkecamuk, satu hal yang Isagi yakini adalah bahwa dia harus segera pergi dari tempat itu secepat mungkin.
Maka, ketika figurnya dengan bersusah payah menapak pada lantai dingin, tidak butuh waktu lama sampai lututnya melemah dan dia jatuh terjerembab oleh karena tenaga yang sudah terkuras habis dari tubuhnya. Isagi bersumpah serapah, sebelum akhirnya dia merasakan sesuatu mengalir dari bagian selatan tubuhnya─terasa sangat kental dan hangat dan familier. Dengan panik, dia meraba pada perutnya yang kini tidak lagi rata seperti yang seharusnya. Melainkan, kali ini abdomennya justru mengalami distensi sebanyak sekian senti; memberikan impresi seolah dia sudah berbadan dua sekian bulan lamanya.
Sial.
Itu adalah sperma alpha-alphanya semalam.
Atau, tidak. Lebih tepatnya, itu adalah ejakulat dari teman-teman satu kantornya yang tidak berhenti menggaulinya kemarin.
Mengingat itu, Isagi merasa tenggorokannya mengering.
“Shit.”
Dia benar-benar harus segera pergi dari sana detik itu juga.
_________________________