you and i (and our promised empyrean)

primrose
6 min readMar 11, 2023

--

Itoshi Rin adalah segala hal yang berkaitan dengan egosentris.

Dia selalu memiliki banyak hal untuk digapai, sama banyaknya dengan apa yang dia coba untuk tinggalkan. Kehidupannya monoton dan statis, kaku dan beku dalam satu waktu. Semua orang menatapnya melalui kaca transparan dengan pendar merah mawar; meniliknya selaik sosok jangkung bergelimang pernak-pernik keemasan yang tidak punya hal buruk mengintainya perlahan di dalam gelap.

Namun, Itoshi Rin tidak hanya sekadar itu. Dia bukan hanya semua hal yang orang lain labelkan semena-mena padanya begitu saja.

Salah satunya adalah fakta bahwa dia selalu merasa sesak di antara lautan manusia asing. Dia tidak akan bisa berhenti menggerutu dalam hati, bersumpah serapah mengenai semua hal yang bisa dia pikirkan dalam sekian menit sepersekian sekon di setiap tarikan napas berat, serta tak berhenti mengetukkan ujung pantofel pada ubin mengilat yang memantulkan lampu keemasan di langit-langit tinggi.

Di antara semua hal yang paling dia benci di dunia, reuni adalah salah satunya.

“Muka lo jelek.”

Itu adalah kalimat pertama yang Bachira Meguru pertama lontarkan padanya, yang kebetulan juga merupakan percakapan pertama yang diarahkan pada Rin malam itu.

Rin hanya menyesap sampanyenya ketika dia menjawab, “Oke.”

Bachira mendengus. “Maksud gue, jelek banget.”

Rin tidak menjawab apa-apa selagi matanya bergulir menyapu seluruh ruangan.

Dengan itu, Bachira cuma mendengus. Semenyebalkan apapun Rin, laki-laki itu tetap merupakan salah satu teman dekatnya di kampus dulu. Meskipun demikian, tapi tetap saja dia orang yang sangat menyebalkan.

“Yang lain mana?” tanya Rin kemudian.

“Biasa, ngaret.” Bachira mengerling pada jam di pergelangan tangan kanannya. “Kayanya mereka bakalan agak telat, jalanan di malam sebelum natal kan pasti ribut banget.”

Rin menukikkan sebelah alis. “Tapi ini udah jam sebelas?”

“Ini masih jam sebelas,” jelas Bachira dengan aksentuasi membenarkan. Jemari-jemari panjangnya mengetuk pada gelas kaca di tangan, kedua maniknya yang sewarna madu berkedip beberapa kali. “Kalau dipikir-pikir, orang-orang nggak ada yang berubah, ya,” lanjutnya. “Cuma muka mereka aja yang mulai berkerut-kerut.”

“Berarti ada yang berubah,” timpal Rin datar.

“Tapi Naruhaya masih pendek,” Bachira menyahut, yang mana nyaris mendorong Rin untuk tertawa lepas, sebelum laki-laki itu menambahkan, “dan lo dari dulu udah berkerut-kerut.”

Tolong ingatkan Itoshi Rin untuk tidak lupa mendorong si rambut riap-riapan itu ke dalam kolam ikan setelah acara reuni nanti selesai.

Bachira hanya bisa tergelak sendirian selagi dia mengamati bagaimana wajah Rin semakin tertekuk. Di antara semua teman dekatnya, Rin adalah orang yang paling menyenangkan untuk dia jahili setiap saat. Bahkan setelah sepuluh tahun berlalu, intensitas aura membunuh laki-laki itu tetap terasa sama; berapi-api dan menyalak bengis.

Dan meski demikian, di antara semuanya, Bachira tetap berharap sepenuhnya bahwa Itoshi Rin masih sama seperti dia yang dulu.

“Lo harus tau gue itu satu-satunya yang paling pengen lo nggak berubah,” bilang si surai kekuningan. Kendati dengan nadanya yang terdengar jenaka, Rin paling tahu lelaki itu mengucapkannya dengan intensi kontradiktif. Jadi, yang Rin lakukan hanya menatap pada likuid dalam gelas tanpa mencoba untuk membuka suara.

“Dia bakalan dateng. Lo tau, kan?” Bachira berkata dengan hati-hati.

Rin tahu. Lebih dari apapun, fakta itu merupakan satu-satunya hal yang membuat Rin semakin merasa ada sesuatu yang mencekiknya di tenggorokan. Mungkin oleh kenyataan, atau rasa pedih, atau memori, atau barangkali ketiganya.

“Gue tau,” balasnya singkat. Hatinya memberat dan lidahnya membeku. Maniknya yang berwarna toska mengarah pada pintu tinggi aula yang terbuka, menembus melewati udara dingin dan ranting-ranting patah tak berdaun. “Gue tau.” Dia mengulang, kali ini berbisik pada diri sendiri, mencoba merasakan pahit yang berpusar di pangkal lidah.

Bachira tidak menawarkan apapun kecuali tepukan ringan pada punggungnya. “Gelas gue abis. Gue cabut dulu, ya,” katanya, sebelum berderap menjauh dan menghilang di antara kerumunan figur tidak familier di ruangan.

Rin mengangguk ketika laki-laki yang lebih tua melenggang pergi. Di tengah hingar bingar lautan manusia yang memekakkan telinga, di antara rasa dingin musim salju yang kian menggigit pori, yang dilakukan Rin hanya berdiri sambil mengerling lamat-lamat pada sampanye sewarna aurum yang memantulkan rupanya.

Pikirannya tidak kalah riuh dengan gelas yang saling bersinggungan dalam tempo lambat; berkecamuk dengan nyaring yang menusuk. Memori membasuhnya seperti ombak pasang di bulan purnama, menjerat kedua kaki dan membawanya bersama mereka pada osean masa lalu. Banyak. Terlalu banyak figur, terlalu banyak wajah, terlalu banyak suara. Telinganya berdenging dan suara di sekitar terbilas oleh riuh-rendah seranai nostalgi di belakang kepala.

Lalu, suara-suara tidak koheren itu mengerucut menjadi satu suara yang tidak bisa Rin lupakan selama ini.

Selamanya.

“Rin?”

Rin terpaku di tempat.

Benaknya menghitung mundur detik sampai dia mengangkat wajah.

Sepuluh, delapan, lima detik.

Dia menaikkan pandang terlalu cepat sampai Rin rasakan lehernya sedikit berderak.

“Isagi.” Suaranya lirih, nyaris seolah membisik pada diri sendiri, tapi Isagi Yoichi di depannya hanya tersenyum dengan intensitas kefamilieran yang sama. Laki-laki itu tersenyum sama seperti yang selalu Rin ingat di belakang memori yang tidak pernah memudar oleh waktu, atau oleh arogansi, atau oleh senyum palsu.

Isagi Yoichi tersenyum sehangat yang terakhir kali Itoshi Rin ingat.

“Sendirian?” tanyanya. Rin hapal benar dengan tipikal Isagi; dia akan menjadi satu-satunya orang yang akan mendekati figur Rin selagi semua orang berusaha untuk menjauhinya. Laki-laki itu masih sama.

“Ya,” pungkas Rin singkat, mencoba abai bagaimana kini lidahnya semakin kelu. “Lo juga?”

“Gue sama Seishiro, tapi dia lagi ada ketemuan sama anak-anak band sekarang,” Isagi bicara, sementara Rin berusaha tidak mengindahkan bagaimana yang lebih tua membicarakan sosok yang bersangkutan dengan senyum yang kian melebar. “Masih aja populer padahal udah berumur gitu.”

Rin tidak tahu harus menanggapi seperti apa, maka yang dia lakukan hanya melekatkan pandang pada lantai berubin. Tidak ada yang bisa dilihat kecuali bayangan orang-orang berjas warna-warni di sana, tetapi dia juga tidak memiliki alasan untuk menatap pada kedua mata biru yang sudah tidak lagi menatapnya dengan cara yang sama.

“Lo masih sama, ya,” kata Isagi berikutnya. Rin angkat kepala untuk mengirimkan seraut heran. “Kenapa?”

“Lo masih tetep aja nggak mau liat ke orang yang lagi ngajak lo ngobrol.” Isagi tertawa kecil, yang mana semakin membuat jeratan di dada Rin semakin mengerat dengan lebih menyakitkan. “Padahal ini cuma gue.”

Justru itu, pikiran Rin seolah menjerit dalam diam, justru karena itu kamu.

Old habits die hard, I guess.” Rin mengedikkan bahu. Isagi lagi-lagi tertawa.

“Lo juga,” kata Rin beberapa detik selanjutnya.

“Hm?”

“Lo juga masih suka kedinginan.” Rin menilik pada syal rajut berwarna merah yang melingkar di leher Isagi. Yang bersangkutan merapatkan syal di leher dan membalas, “Lagian akhir-akhir ini dingin banget.” Isagi meniup jemarinya yang memucat, dan Rin berusaha untuk tidak menarik kedua tangan laki-laki itu ke dalam saku tuksedo seperti yang biasa dia lakukan dulu.

Dia ingat pernah memberikannya syal dengan warna yang sama, tapi syal yang Isagi kenakan sekarang tampak lebih baru; warnanya tidak memudar, rajutannya masih tampak rapi dan teratur.

Tidak ada sentuhan Rin di sana. Tidak ada kenangan mereka yang tersisa.

Hal itu membawa Rin kepada empat tahun yang lalu; di mana ketika itu udara tidak sedingin dan semenyebalkan sekarang. Saat itu salju turun begitu banyak sampai warna putihnya selaik primadani pucat yang menyelimuti seluruh sudut kota. Uap putih mengepul dari embusan napas berat yang putus-putus tatkala Rin mendapati Isagi berdiri di depan gedung kantornya dengan senyuman dari telinga ke telinga.

Ketika itu, dingin menjadi masalah terakhir yang dapat dipikirkan Rin saat akhirnya figur yang lebih kecil terbenam di rengkuhannya yang hangat.

Kenapa kamu nggak masuk?” Rin membawa kedua tangan Isagi ke dalam sakunya. Laki-laki itu selalu enggan menggunakan sarung tangan meskipun dingin sudah terlampau menggigit sampai pori-pori kian mengerut.

Biar dramatis,” balas Isagi, tengil. Rin mendengus, dan sambil tergelak Isagi melanjutkan, “Lumayan, dapet pelukan juga.

Ketika itu, segalanya masih terasa benar.

Seperti saat Isagi mendaratkan kecupan ringan pada bibirnya yang mengering, atau ketika mereka berjalan bersisian dengan syal merah memudar yang Rin dapatkan untuk Isagi pada natal dua tahun lalu yang melingkar di leher mereka berdua, atau tatkala semuanya terasa dingin dan hangat di saat yang sama setiap kali Isagi ada di sisinya.

Ketika itu, segalanya masih terasa benar.

_________________________

--

--

primrose
primrose

Written by primrose

writing feels like being in a chokehold all the time

No responses yet