the way you painted me blue (and let it blooms)

primrose
17 min readMar 16, 2023

--

warn: 🔞 explicit content, dirty talk, public bathroom sex, dubious consensual sex, love-hate sex, male-turned-to-female mc, boypussy, huge breast, man boobs, mind break (kind of), profanities

p.s you’ve been warned.

Michael Kaiser adalah definisi dari bisul di pantat; yang tidak lain tidak bukan merupakan suatu entitas yang Isagi Yoichi tidak inginkan ada di sejauh matanya memandang.

Perkara pertama, figur laki-laki itu terlalu mencolok. Bukan dengan tingginya yang melebihi Nagi Seishiro atau presensinya yang terlampau mendominasi seperti Shohei Barou. Bukan juga karena muskulus di tubuhnya terbentuk sedemikian rupa sehingga pihak oposisi menggigil ketakutan dalam satu kerlingan mata. Bukan. Yang mencolok─dan paling paling mencolok─dari laki-laki itu adalah surai pirang platina dengan semburat birunya yang sedikit terlalu unik (“Aneh,” kata Isagi, “dan nyentrik.”). Itu bukan hal yang mengganggu kebanyakan orang, tapi tentu saja itu mengganggu kehidupan Isagi dalam satu ataupun beberapa cara lainnya.

Perkara kedua, senyuman Kaiser sangat sangat sangat menyebalkan. Atau, setidaknya senyuman menyebalkan itu selalu diarahkan kepada yang lebih muda, seolah dia akan sakit sembelit menahun apabila laki-laki itu tidak melakukannya dalam kurun waktu satu hari dengan interval tidak terhitung sekadar jemari. Barangkali, memang iya. Isagi peduli setan.

Perkara ketiga, tentunya karena dia selalu ada di saat-saat di mana Isagi memilih untuk menyendiri. Selalu─dengan cetakan kursif sebagai aksentuasi karena Kaiser memang sama sekali tidak punya rekognisi terhadap apa yang disebut sebagai ruang personal. Sama sekali.

Seperti saat ini, contohnya.

Isagi barusaja membasuh wajah dengan air dari keran ketika suara pintu kamar mandi terdorong terbuka lalu menutup dengan lebih pelan dari biasanya. Dia masih menutup mata, berkontemplasi ratusan kali dalam memilih keputusan tanpa profit bersifat penolakan ganda: tetap menutup mata selagi dia pergi keluar kamar mandi dengan risiko terbentur apapun yang menghalangi jalannya, atau membuka mata dan menatap sosok yang berada pada daftar terakhir orang yang ingin dilihatnya. Terutama, untuk hari ini. Secara spesifik, hari ini.

“Hei.”

Adalah sapaan pertama yang Isagi dengar dari laki-laki itu, juga sebagai bentuk konfirmasi bahwa ya, ini adalah Michael Kaiser. Michael Kaiser yang itu. Seratus persen benar. Hipotesisnya terkadang terlalu ‘sungguhan’ (dengan cara yang aneh) untuk Isagi yang terlampau pesimistik.

“Ngapain?” sahut Isagi dengan ketus yang ikut menetes dari bibir. Maniknya akhirnya menatapi figur Kaiser yang menjulang di sisi pintu, bersandar di sana dengan kedua lengan terlipat di depan dada, berikut senyuman timpang karakteristiknya.

“Mau liat lo,” jawabnya ringan.

Isagi merasa tidak nyaman dengan atmosfer yang beralih tak terdeskripsi, atau itulah yang dia rasakan tatkala kilat mata Kaiser berubah lebih gelap dari yang pernah dia ingat.

“Buat apa?” sangsinya. Isagi memunggungi wastafel dan kini mengarahkan tubuh pada sosok yang lebih tua, menatap dengan kerling skeptis yang membanjiri presensi bersurai pirang kebiru-biruan. “Gausah bertele-tele. Lo ngapain mau ketemu gue?”

So feisty.” Kaiser menjilat bibir. Netranya bergulir, menyapu mulai dari puncak kepala Isagi sampai ke titik terendah yang bisa dia lihat. Isagi meneguk ludah ketika merasa sosok lain di ruangan itu menatapnya seolah ingin menelanjangi di saat yang sama. Bulu romanya meremang dengan tidak menyenangkan, keringat dingin mulai membasahi spasi di kulitnya yang lembab. “Just the way I like,” imbuh Kaiser, tapi kali ini kakinya meniti langkah untuk mendekat.

Isagi menatap laki-laki itu dengan bengis, menolak untuk mundur bahkan ketika mereka sudah berjarak sekian senti, menolak untuk berkedip ragu bahkan ketika hembusan napas Kaiser dapat menerpa kulit wajahnya lamat-lamat.

“Gue denger dari anak-anak,” bisik Kaiser pelan, cukup keras untuk Isagi dapat mendengar tiap lafalnya dengan jelas. “There’s something… different on you.

Mendengar itu, Isagi lantas mendorong dada Kaiser menjauh, tetapi yang bersangkutan menggapai kedua pergelangan tangannya dan menggenggam mereka dalam cengkeraman kuat. Isagi meringis, tidak tahu apakah itu karena Kaiser memang menjadi lebih kuat atau dia menjadi lebih lemah dari biasanya.

Stop it.” Isagi mendesis. Matanya mendelik, menantang pada kedua kelopak Kaiser yang meniliknya dengan setengah tertutup sayu. Isagi menepis tangan yang lebih tua kendati pergerakannya tidak berbuah apa-apa. “Kaiser!”

Tubuh Kaiser semakin mendekat. Ketika Isagi dapat merasakan friksi penuh makna di bagian bawah tubuhnya, dia hanya bisa memundurkan diri sampai pinggangnya membentur tepi wastafel. Nyeri. Isagi rasa area itu akan membiru di kemudian hari.

It’s futile. Don’t try to run away from me, sweetheart.” Kaiser berucap seperti sedang berbincang dengan seorang pelacur yang serta merta melebarkan kaki dengan senang hati hanya untuknya. Karena demi apapun, Isagi bukanlah mereka.

Namun, sebelum laki-laki itu bisa berpikir lebih jauh, Kaiser menariknya dengan agresif ke salah satu bilik kamar mandi yang terletak di paling ujung ruangan. Isagi sedikit berjengit ketika Kaiser menutup keras pintu bilik dan mengunci mereka berdua di dalam sana.

“Lo ngapain, anjing?!” seru si surai kelam. Manik birunya mengilat panik, dan untuk beberapa alasan, Kaiser menemukan hal itu lebih memicu adrenalin daripada apapun. Maka, dia mendorong Isagi sampai laki-laki itu menabrakkan punggungnya pada dinding dengan kasar. Isagi meringis nyeri, tapi napasnya mulai tercekat ketika Kaiser menekankan lutut laki-laki itu di antara kedua tungkainya dengan kuat.

“Gue bukan orang yang gampang percaya. Gue nggak bakalan percaya sama sesuatu until I prove it by myself.” Kaiser menarik garis melintang pada rahang Isagi pelan, mengikuti sudut rahang yang melembut oleh adiposa, seolah tengah mengukir peta dunia di atas kulitnya. Sentuhan tipis itu membuat Isagi meremang, sementara tekanan berarti di selangkangannya tidak membuat segalanya menjadi lebih mudah. Di antara semua hal, dia mungkin membenci keadaan yang mengharuskannya terperangkap di dalam kubikel bersama Kaiser seorang, tetapi tidak ada yang lebih dia benci dari apapun kecuali kondisi tubuhnya sendiri sekarang.

Isagi memejamkan mata erat ketika dia merasakan rasa hangat mulai berkumpul di perut bagian bawahnya.

You look even softer now.” Kaiser melanjutkan ocehannya sambil mematai bagaimana Isagi mulai membeku di tempat. Dia tersenyum miring. Senyumannya semakin melebar ketika Isagi menggigit bibir erat tatkala lututnya menekan dengan lebih kuat. “Dan lo lebih sensitif sekarang.”

Kaiser mengunci kepala Isagi di antara kedua lengannya. Hembusan napas terputus-putus saling membaur pada spasi yang tercipta di antara mereka. Kaiser menarikan jemari perlahan, mencoba membuka satu persatu kancing baju yang lebih muda. Isagi menahan pergelangan tangannya untuk beberapa saat, tapi Kaiser menjawab dengan kembali menekan lututnya pada selangkangan Isagi tanpa ampun─menuntut untuk si surai jelaga menutup mulut dan mulai merasakan apa yang seharusnya dia rasakan.

Dasinya ditanggalkan dalam satu gerakan cepat, dan ketika Isagi rasakan tangan Kaiser sudah melepas kancing terakhir yang ada di kemeja putihnya, dia dapat merekognisi bagaimana angin membelai permukaan kulitnya yang terekspos dengan sepasang manik biru langit menatapnya bergairah.

Isagi berusaha menutup daerah dadanya yang terbungkus korset rapat-rapat, tetapi Kaiser lebih dulu menahan kedua pergelangan tangannya untuk dikunci di atas kepala. Isagi terkesiap, terutama tatkala Kaiser memainkan jemari-jemarinya di atas korset dengan tempo lambat namun pasti. “Why are you trying to hide this?” Dia bertanya, di saat yang sama menarik kasar korset Isagi dan melepaskannya tanpa aba-aba. Kaiser menatapi pada payudara penuh Isagi yang bergerak naik turun, menilik tepat pada kedua puting merah muda yang mengeras di bawah tatapannya yang tanpa permisi. Laki-laki itu memutarkan ujung telunjuk pada areola yang menggelap, menikmati bagaimana Isagi berusaha untuk menghindari kendati semua itu berujung sia-sia. “Padahal ini cantik. What’s your size, I wonder? B cup? Or even C?

“Lo bangsat,” desis Isagi, kehabisan napas. Wajahnya memerah, tubuhnya menghangat dengan cara yang tidak dia inginkan, dan kakinya mulai melemah tanpa tenaga. Kulitnya terlalu sensitif untuk udara menyapa mereka, bulu romanya meremang dan putingnya terasa lebih gatal─seolah meminta untuk dimainkan. Isagi melenguh ketika merasakan organ bawahnya mulai terasa basah.

“Ssst, jangan takut,” bisik Kaiser. Tangannya kini membuka resleting celana Isagi, lebih pelan dari yang seharusnya, mencoba untuk meneguk presensi Isagi yang tampak putus asa dan tak berdaya. Dia lalu memasukkan dua jari kanannya ke dalam mulut yang bersangkutan, Isagi tidak lakukan apapun kecuali menyesapnya lamat-lamat seolah dia terlahir untuk itu, dan Kaiser semakin melebarkan seringai. “Good boy,” pujinya di bawah napas. Isagi bergumam pelan secara involunter─Kaiser tahu laki-laki itu menyukainya.

Ketika celana Isagi terlepas dan menggenang di atas lantai, Kaiser dapat melihat bercak basah di celana putihnya. Dia tertawa kecil. “Lo basah,” ungkapnya kemudian, “you like this, don’t you?” Isagi mengerang, dia membuang muka, enggan menatap pada sosok bersurai pirang di depannya. Ini memalukan, tapi dia memang tidak bisa mengontrol tubuhnya terutama apabila Kaiser terus-terusan melakukan apa yang dia lakukan sekarang. Isagi benci hal tidak normal; seperti bagaimana kondisinya tampak sangat tak berdaya saat ini, seperti bagaimana tangan kotor Kaiser menjamahnya tanpa ampun dan bagaimana tubuhnya menyukai semua perlakuan itu tanpa meragu.

Tangan Kaiser menelisip di antara celana dalam putih, mengusap pada mons pubis yang terasa seperti bukit di telapak tangannya. “You’re not hairy at all,” dia berbisik, “it’s so pretty.

Isagi semakin memerah, kepalanya seolah ingin pecah oleh rasa malu, gairah, dan afeksi yang berbaur menjadi satu membentuk perasaan tak terdeskripsi. Udara tercekat di tenggorokan tatkala jemari yang lebih tua bersua dengan klitorisnya yang membengkak dan mengeras, mengintip di balik vulva yang menebal dan basah oleh cairan lubrikasi.

So this is your button.” Kaiser terkekeh, untuk kemudian ibu jari dan telunjuknya memijat pada tempat itu dengan kasar dan tanpa aba-aba.

Ah!” Isagi terkesiap, matanya berkunang-kunang, dan tubuhnya menggelinjang hebat. Terutama ketika Kaiser mulai memasukkan jari-jari panjangnya ke dalam liang hangat Isagi dengan satu gerakan cepat─dimulai dari satu jari, lalu dua, lalu tiga. Permukaan jemarinya mengeksplor dengan agresif, selaiknya anak kecil yang penuh dengan kuriositas, mencari dan menyelam lebih dalam dengan berantakan dan kasar dan ceroboh dan nikmat.

“Ngh,… Kai─” Isagi dapat merasakan dengan sangat jelas bagaimana jari-jari Kaiser bergerak dengan tempo cepat melewati introitus vaginanya. Ritmenya berselerakan, seolah satu hal yang ada di kepalanya kini hanyalah untuk memporak-porandakan Isagi dengan berbagai cara. Isagi merasa ingin menangis tatkala putingnya terus-terusan bergesekan dengan fabrik baju Kaiser. Rangsangannya justru membuat laki-laki itu semakin menggila. “Kai, Kai, please─

This must be enough,” tukas Kaiser kemudian, lebih pada dirinya sendiri, lalu mencubit klitoris Isagi sebagai sentuhan terakhir.

Isagi nyaris menjerit.

Logikanya seolah berhenti berfungsi detik itu juga. Dia tidak menyadari ketika yang lebih tua membiarkan celana dalam Isagi ikut tergeletak di lantai yang dingin, membuat kulitnya menggigil oleh udara yang mengambai dengan lembut di sekitar. Kaiser melepaskan genggamannya pada kedua pergelangan tangan Isagi dan laki-laki itu lantas melemah. Dia pasti akan terjatuh ke lantai andaikata Kaiser tidak menangkapnya lalu membawa Isagi untuk duduk di pangkuannya di atas kloset. Pikiran Isagi berawan, dahinya berkerut (sisa dari dirinya yang ingin memberontak) dan matanya mengerjap sayu. Keringat meluncur dari pelipis, setiap senti tubuhnya basah dan menegang dan sensitif oleh intrusi apapun yang dikirimkan kepadanya.

Maka, ketika Kaiser akhirnya membuka celananya lalu mengeluarkan kejantanannya─yang besar, panjang, berurat, dan merah─Isagi merasa kepalanya berhenti berfungsi detik itu juga. Dia juga memiliki organ seperti itu─dulunya─dan dia mengerti ukuran kebanyakan pria Jepang pada umumnya. Dan mengingat bahwa Kaiser memang bukan merupakan keturunan Jepang, Isagi merasa ukuran seperti itu mungkin masuk akal di negara asalnya sana. Tapi, bukan berarti benda seperti itu masuk akal bagi Isagi. Demi Tuhan. Nggak, pikir Isagi, benda itu nggak akan masuk ke gue.

“Suka liatnya?” Kaiser bertanya, senyuman timpang terlukis di bibir.

Isagi berpikir untuk bergerak pergi sebelum yang lebih tua menahan pinggangnya dengan kuat untuk tetap berada di posisi yang sama. Dia merasa merinding ketika vaginanya mengecup ujung kepala penis Kaiser, seperti dua sosok yang saling mendambakan dan tidak sabar untuk saling bertemu dalam ragam lenggok erotis tanpa akhir.

“Mau ke mana, hm?” Kaiser menarik pinggul ramping Isagi dan ujung penisnya mulai melakukan invasi. Itu masih sepersekian senti di dalam Isagi, tapi dia sudah mulai merasa perih. “Kita belum mulai, kan?”

“Sialan,” Isagi mendesis, lebih ke arah diri sendiri, karena demi Tuhan, tidak ada yang alam bawah sadarnya inginkan kecuali mendudukkan diri di pangkuan Kaiser dan mengayunkan pinggangnya secara berantakan dengan penis laki-laki itu yang menggempurnya kasar berkali-kali.

Gila, Isagi pikir, gue udah gila.

“Gue benci banget sama lo,” tukas Isagi di antara gemeletuk gigi, sementara tubuhnya mulai bergerak turun, merasakan bagaimana benda keras dan panjang milik Kaiser mengintrusi ke dalam liangnya yang basah dan hangat.

“Oh, iya?” Ada senyuman di suara Kaiser ketika mengatakannya. “Gue sayang banget sama lo.”

Namun, kepala Isagi terlalu berkabut untuk memahami ucapannya.

Napas laki-laki itu terputus-putus. Kaiser memperhatikan bagaimana kemaluan Isagi seolah melahap kejantanannya dengan rakus. Cairan lubrikasinya berceceran ke mana-mana, banyak menetes di paha Kaiser dan membasahi celana kainnya, tapi laki-laki itu tidak peduli. Isagi dengan dahi tertekuk penuh konsentrasi dan dengan posisi erotis lebih menarik daripada apapun di dunia ini.

“Butuh bantuan, nggak?” tanya Kaiser ketika melihat dada Isagi naik turun dengan irama cepat. Kedua tangan laki-laki itu mengerat pada fabrik seragamnya sebagai tumpuan. Bahu Kaiser menjadi satu-satunya yang dapat membuat Isagi bisa menstabilkan posisi, dan bahkan meski demikian, Isagi masih tampak bersusah payah dalam mempertahankan diri. Faktanya, Kaiser suka melihat ketidak-berdayaan itu. Menawarkan untuk membantu hanyalah tawaran palsu yang dia utarakan hanya untuk menyerang ego yang lebih muda.

“Lo diem.” Isagi menggertak dengan rasa murka yang tergigit balik.

“Lo keliatan kesusahan soalnya,” sindir si pirang, “gue cuma mau bantu.”

Isagi enggan mengakuinya tapi, “Lo besar banget, brengsek.”

Senyuman Kaiser melebar. “Lo suka, kan?”

Isagi tidak menjawab.

Tapi, oh, bagaimana Kaiser dapat melihat dengan jelas semburat kemerahan menjalar seperti belukar dari pipi Isagi sampai ke telinganya.

Anjing, pikir Kaiser, lucu banget lagi.

Isagi dapat merasakan kejantanan Kaiser semakin membesar, dan dia bertanya-tanya apakah itu hanya sekadar imajinasinya, tetapi dia tidak mampu berpikir apa-apa lagi ketika tangan besar Kaiser menarik pinggangnya dengan satu sentakan kuat sampai seluruh penis laki-laki itu terbenam di dalam liang hangatnya. Isagi merasa seperti terbelah dua─jika itu memungkinkan─karena astaga, penetrasi tiba-tiba itu seolah bisa merenggut semua oksigen yang bisa diraupnya di udara.

“Lo rapet banget.” Kaiser berkomentar, rahangnya bergemeletuk ringan.

Genggaman Isagi pada bahu Kaiser menguat. “Ah, ah, Kai─” rintihnya pelan, air mata sedikit menggenang di balik kelopaknya. Kaiser menyusuri jemari pada pelipisnya lambat, memetakan pola berputar yang menawarkan ketenangan selaik pelipur lara. Isagi tidak tahu banyak tentang genitalia wanita, tapi terdapat sesuatu bernama hymen yang sebentuk selaput transparan yang akan merobek pada saat penetrasi pertama, dan di antara semua hal, Isagi bertanya-tanya mengapa dia membiarkan Kaiser─Kaiser yang kasar dan tidak sabaran itu─untuk menjadi yang pertama melakukannya.

Sinting. Isagi yakin dia sudah kehilangan akal sekarang.

“Ssshh, sakit, ya?” Kaiser berbisik pada kulit di lehernya. Dia menjilat setiap senti yang bisa dijamahnya, sementara Isagi hanya bisa menerima dan menerima dan menerima. Bahkan ketika Kaiser mulai melucuti satu-satunya pakaian yang masih dia kenakan, meninggalkan Isagi telanjang bulat di tengah kubikel yang dingin, yang dilakukan Isagi hanya mendesahkan nama Kaiser, Kaiser, Kaiser seolah dia selalu ditakdirkan untuk itu. Kaiser meninggalkan bekas-bekas memerah di lehernya, penuh gigi dan tanpa ampun, sedikit terlalu tinggi untuk ditutupi dengan sekadar kerah kemeja yang biasa dipakainya. Tapi, lagi-lagi, Isagi terlalu terfokus pada organ bawahnya yang gatal dan penuh, atau pada payudaranya yang bergesekan dengan fabrik kemeja Kaiser dengan kasar, atau pada ciuman-ciuman bergairah yang dibubuhi Kaiser pada setiap spasi di kulitnya.

Isagi ingin lebih.

Lebih, lebih, lebih.

Maka, dia merengek─seperti ketika dia tidak mendapatkan apa yang diinginkannya ketika masih balita, seperti ketika figurin kesayangannya direbut oleh sepupu tidak tahu diri beberapa saat lalu, seperti ketika dia mendapatkan nilai buruk dalam materi stoikiometri─

“Kaiser,… Kaiser tolong.” Isagi merengek, nyaris seperti terisak, dan Kaiser merasakan bagaimana pinggulnya bergerak dengan putus asa. Laki-laki itu benar-benar tidak mengerti hal seperti ini; terbukti dari gerakannya yang ceroboh dan berantakan. Isagi terus mencoba; menghasilkan friksi dari gesekan antar kulit yang lembab, berkali-kali mengangkat pantat untuk manuver keluar-masuk yang menghasilkan suara kecipak keras penuh gairah, dan mencubit kedua putingnya sendiri yang mengeras sampai memerah marah. Isagi masih menggerakkan pinggulnya ketika dia bicara, “It’s itchy. Gue nggak tau harus ngapain lagi,… Kai, please.

Beg for it.” Kaiser menjawab, tangan besarnya menggapai pinggang Isagi dan memberikan tekanan, sebisa mungkin menahan diri untuk tidak menarik laki-laki itu untuk semakin menenggelamkan penisnya. Gesekan dari dinding vagina Isagi sudah cukup membuatnya gila, tetapi Kaiser menyukai bagaimana dia bukan satu-satunya orang yang kehilangan akal di sana. “Beg for it more. Beg like you meant every word you said.

Isagi merintih, tidak tahu lagi harus berbuat apa untuk mengurangi rasa gatalnya. Kaiser ada di sana dan si brengsek itu bahkan tidak bergerak untuk melakukan apa-apa. Isagi semakin melebarkan kaki, mempercepat pergerakan pinggulnya untuk semakin merasakan friksi yang diciptakan oleh kemaluan dan kejantanan yang lebih tua, merasakan perih dan nikmat di saat yang sama. Tapi, itu tidak cukup. Bahkan ketika putingnya semakin mencuat, memerah karena dimainkannya tanpa ampun selama beberapa menit terakhir, atau ketika klitorisnya semakin membengkak dan ranumnya bisa menandingi labiumnya yang tidak berhenti mendesah putus asa — itu tidak cukup.

“Sekarang mau dibantu?” tanya Kaiser kemudian, nadanya meremehkan tapi Isagi sudah tidak lagi peduli. Yang bersangkutan mengangguk cepat, kedua tangannya mengangkat payudaranya yang membesar, mempertontonkan tanpa malu putingnya yang menegang. “Itu kenapa?” Kaiser menaikkan alis.

Isagi menggigit bibir, pipinya memerah. Dia tidak menjawab.

“Ngomong atau gue nggak bakalan tau,” Kaiser menuntut, ujung jarinya mencubit puting yang memerah dengan kasar. Isagi menggelinjang, dia memekik pelan.

Tapi, itu tidak cukup.

“… sakit,” cicit Isagi, seperti sedang terintimidasi karena sudah melakukan kesalahan. “Gatal… Kaiser, ini gatal,” katanya, mengarahkan payudaranya untuk menempel pada dada yang lebih tua. Kaiser dapat merasakan seberapa keras puting Isagi lewat kain pakaiannya.

“Gatal? Terus, mau diapain?” Kaiser menikmati kepura-puraannya.

“Mau…” Isagi menggigit bibir. “Mau dimainin.”

“Dimainin gimana?”

“Dipegang, dicubit, dijilat, digigit — ” Membayangkannya, Isagi merasa vaginanya semakin basah, dan Kaiser merasa liang hangat laki-laki itu semakin merapat. “ — dihisap. Kaiser, Isagi mau putingnya dihisap.”

Fuck. Kaiser merasa napasnya tercekat. This is driving me crazy.

“Terus, mana lagi yang gatal?” Kaiser memancing.

Isagi kembali menggoyangkan pinggul. Mulutnya terbuka, desahannya pelan dan erotis. “Di sini.” Isagi mengangkangkan kaki, kedua tangannya melebarkan kedua sisi labianya untuk mempertontonkan pada Kaiser bagaimana kedua genitalia mereka saling mencumbu dengan dalam dan basah, panas dan penuh hasrat. “Di sini, gatal banget.”

Kaiser menarik napas. “Lo mau gue ngapain?”

Fuck me.” Isagi tersenyum, manis sekali. “Fuck me, nice and hard.”

Maka, itulah yang Kaiser lakukan. Dia menarik panggul Isagi dan membawa laki-laki itu dalam manuver seks yang hebat dan kuat dan kasar. Kecipak erotis hasil pergempuran antara penis dan vagina yang berjumpa dengan gairah maksimal menguasai seluruh kekosongan kamar mandi. Desahan Isagi mengiringi, tak terbendung oleh rasa nikmat yang didapatkannya lewat kegiatan amoral dalam kubikel. Payudara besarnya ikut bergoyang cepat sesuai dengan tempo yang ditentukan Kaiser. Pemandangan itu seperti visi tak tergantikan yang pernah dilihatnya sejauh ini. Jadi, Kaiser meraupnya dengan rakus.

Ah!” Isagi menjerit tatkala yang lebih tua menjilat dan menggigit putingnya bergantian. Permukaan lidahnya yang kasar menyapu secara cepat. Kaiser membelai areolanya yang menggelap dengan menggebu. “Ah, ah, Kaiser… terus.” Isagi menyukai bagaimana Kaiser menghisap putingnya seolah tidak ada lagi yang lebih menarik daripada itu, seolah dia adalah seorang bayi yang mencari-cari keberadaan air susu. Napas Isagi terputus-putus oleh stimulasi berturut-turut baik dari payudara maupun liang panasnya yang terhajar habis-habisan, tapi dia menyukai itu semua sama besar. “Lagi─ Hisap puting Isagi lebih keras, Kaiser, please please please─

Payudaranya mulai terasa kebas karena Kaiser meremasnya berkali-kali, seolah ingin sesuatu mengalir keluar ketika dia menghisap puting Isagi kuat-kuat. Yang mana tentu saja tidak berbuah hasil apa-apa, kecuali alunan desah Isagi yang menggelitik telinga dengan sangat menyenangkan.

Ketika penis Kaiser menyentuh titik termanisnya, Isagi merasa tenggorokannya tercekat. Dia menempelkan dahinya pada dahi Kaiser, menatap dengan sayu pada kedua mata biru muda yang menatapnya dengan intensitas yang sama. “I want to come,” bisiknya.

Just do it.” Kaiser bilang. Sementara itu, gerakannya semakin tidak beraturan, dan meski demikian, hentakannya yang keras selalu mengenai titik termanis yang dapat membuat Isagi menggelinjang dengan penuh antusiasme.

Detik berikutnya, yang dilihat Isagi hanyalah putih, dan cairan vaginanya memuncrat membasahi perutnya sendiri dan seragam Kaiser. Dia meringis, merasakan orgasme yang luar biasa sampai telapak tangan dan kakinya melengkung sekian derajat. Cairan yang dikeluarkannya eksesif, beberapa kali menyembur seperti air mancur. Dia mendesah panjang, merasa nikmat dan lega di saat yang sama. Muskulusnya melemah dan dia menjatuhkan diri pada dada yang lebih tua. Tubuhnya terasa sangat letih sekarang dan yang Isagi inginkan hanyalah tertidur detik itu juga.

Di sisi lain, Kaiser merasa sesuatu di dalam kemaluan Isagi bergerak merapat dan memeluk penisnya seolah enggan melepaskan. Dengan itu, dia menyeringai dan membawa Isagi dengan kejantanannya yang masih terbenam dalam vagina rapat yang lebih muda. Isagi terpekik tatkala merasakan stimulasi berlebih yang didapatkannya segera setelah dia melakukan orgasme hebat.

“Kaiser!” serunya ketika merasakan punggungnya menabrak pintu kubikel. Kaiser masih merengkuh kedua tungkainya kuat, Isagi tidak bisa lakukan apapun kecuali mengeratkan lengan di sekeliling leher yang lebih tua.

“Gue belum orgasme, kalau lo lupa,” jelas Kaiser. Isagi tidak lupa, sungguh, tapi dia memilih untuk sedikit berharap bahwa Kaiser akan berhenti ketika dilihatnya Isagi tergeletak kelelahan. Tapi lagi, ini Kaiser. Apa yang bisa diharapkannya dari sosok egois seperti laki-laki itu?

“Ngh…, ah─ pelan-pelan.”

Isagi merasakan gesekan pada punggungnya dengan pintu kubikel terasa sedikit menyakitkan setiap kali Kaiser menghentak keras, mencoba untuk mencapai orgasmenya sendiri. Yang kini bisa dilakukan Isagi hanya menerima, mendesah, dan merintih tiap kali pinggul Kaiser menggempur tanpa ampun. Dengan posisi seperti ini, Isagi semakin merasakan bagaimana kepala penis Kaiser dapat menyentuh titik terdalamnya. Dia bahkan sudah tidak lagi merasakan akalnya masih tersisa di kepala. Yang Isagi bisa pikirkan hanya bagaimana gerakan persetubuhan mereka bagai candu dan dia menginginkannya lagi, dan lagi, dan lagi.

Begitulah, sampai suara pintu kamar mandi dari kejauhan terdengar terbuka. Terdapat beberapa langkah kaki dan derai tawa samar. Isagi dan Kaiser terdiam di posisi yang sama, cengkeraman Isagi pada bahu Kaiser menguat dan matanya mengerling awas. Ketika melihatnya dalam kondisi demikian, Kaiser tersenyum miring.

Pinggulnya menghentak dengan lebih keras, tepat menyentuh satu titik yang kembali membuat Isagi tidak kuasa menahan erangan seksi.

Shit, Kai!” bisiknya panik. “Di luar banyak orang, bego!”

Then you just have to be quiet,” Kaiser membalas dengan senyuman lebar.

Seharusnya, Isagi lebih dari tahu. Ini masihlah seorang Michael Kaiser. Kaiser yang sama yang selalu tarik urat perkara banyak hal karena mereka tidak berjalan sesuai keinginannya, Kaiser yang sama yang selalu mengganggunya dengan berbagai cara dengan berkedok mencari hiburan di kala senggang.

Kaiser yang sama yang kini bergerak menciumnya tepat di bibir, menjilat labiumnya untuk terbuka dan menerima permainan lidah yang basah dan panas.

Isagi membulatkan mata, mencoba untuk mengalihkan wajah dan bertanya kenapa? Tapi ciuman Kaiser terlalu menuntut, terburu-buru, dan enggan menerima penolakan. Maka, lagi-lagi, yang dilakukan Isagi hanya menerima, kembali ikut andil dalam permainan yang lebih tua.

Selagi orang-orang di luar kubikel saling bertukar sapa dan berbincang mengenai banyak hal, Kaiser dan Isagi masih terus melakukan aktivitasnya yang berlangsung selama setengah jam terakhir. Otak Isagi berkabut, dalam kondisinya yang setengah sadar dia dapat mendengar yang lebih tua membisik di bawah napas. “Lo cantik banget.” Deru napasnya menyapa pada belakang leher Isagi lembut. Laki-laki itu lalu menyandarkan kepalanya pada bahu lebar Kaiser, yang mana si empunya balas dengan menarik rahang yang lebih muda dan membawanya ke sebuah ciuman dalam yang memabukkan. “God, you’re so fucking pretty.

Ketika akhirnya kejantanan Kaiser mulai menunjukkan tanda akan ejakulasi, laki-laki itu menggigit kuat leher Isagi sambil berkata, “Gue keluar di dalem, ya.”

Itu adalah pernyataan. Dia bahkan tidak menunggu Isagi untuk menanggapi karena cairannya sudah menyembur pada titik terdalam yang lebih muda. Isagi tidak tahu apakah dia memiliki rahim, atau apakah dia memiliki probabilitas hamil setelah kopulasi tanpa pengaman seperti ini. Tapi dia tidak peduli ketika dirasakannya cairan Kaiser memenuhi tubuhnya dengan hangat, beberapa bahkan menetes keluar dari vaginanya yang masih terbuka lebar oleh penis Kaiser yang enggan mengeluarkan diri.

Kaiser menurunkan tungkai Isagi ketika beberapa orang yang tadinya berada di luar kubikel sudah angkat kaki dari sana. Isagi pikir semuanya sudah selesai, dia hanya perlu membersihkan diri dan pergi dari sana. Tapi, Kaiser mendadak menghimpitnya lagi pada pintu, kini dengan posisi Isagi yang membelakangi laki-laki itu. Dengan demikian, yang lebih tua dapat dengan jelas menatap pada pantat sintal Isagi, tidak menahan diri untuk meremasnya semena-mena.

Isagi meringis dan dia mendorong Kaiser menjauh. “Lo mau lagi?”

“Sekali lagi. I insist,” balasnya. Lengannya mengangkat satu kaki Isagi tinggi, melebarkan akses untuk penisnya melakukan penetrasi sekali lagi pada vagina Isagi yang sudah memerah dan basah oleh spermanya. Kaiser menatap bagaimana ejakulatnya menetes dari lubang hangat Isagi ke lantai yang dingin. Dia lalu menjilat bibir. “Gue mau buat lo lupa segalanya dan yang lo inget cuma bentuk penis gue waktu masuk di dalem lubang lo.”

Isagi meremang. Dengan tubuh yang tidak terbalut sehelai benangpun, hembusan napas Kaiser mampu membuat tubuhnya kembali menegang.

Kaiser mengecup belakang telinga Isagi dan salah satu tangannya menelusuri perut laki-laki itu sampai kepada vagina Isagi yang terbuka lebar. Dia memijat klitoris yang lebih muda pelan, tapi itu sudah cukup untuk membuat Isagi merintih. “Ini punya gue. Cuma gue yang bisa pake,” tukas Kaiser, teritorial. Dia mengecupi pelipis Isagi seolah ingin meninggalkan jejak. “Dan cuma gue yang bisa ngehamilin lo. Just me. Paham?”

Isagi merasakan semburat kemerahan sudah menjalar sampai ke lehernya. Jadi, dia hanya mengangguk. “Yes, Kaiser. It’s yours. Cuma punya lo.” Stimulasi setengah-setengah yang dilakukan Kaiser membuatnya kelimpungan. “So hurry up and fill me up,” imbuhnya, frustrasi.

Kaiser tersenyum.

Your wish, my command.

Barangkali, Isagi sudah gila.

Karena selanjutnya, dia menerima dan menikmati bagaimana Kaiser membawanya pada orgasme-orgasme hebat lainnya, dengan gempuran tanpa ampun yang dilakukan laki-laki itu berkali-kali pada vaginanya dengan cara paling amoral yang dia tahu.

Dan mungkin, ketika itu, Isagi sudah menjadi seorang pelacur yang serta merta melebarkan kaki dengan senang hati hanya untuk Michael Kaiser seorang.

_________________________________

--

--

primrose
primrose

Written by primrose

writing feels like being in a chokehold all the time

No responses yet