the refined bliss inside your ocean eyes

primrose
5 min readMar 11, 2023

--

“Ada salju turun!”

Teriakan itu membuat Rin tertarik kembali dari lamunannya. Dia menatap bagaimana orang-orang mulai berhiruk-pikuk ke arah pintu tinggi aula. Itu merupakan salju pertama di bulan Desember, semua orang tentu tidak ingin melewatkan bagaimana bola-bola seperti kapas itu mulai berjatuhan untuk pertama kali dengan mata kepala mereka sendiri.

“Tokyo udah mulai bersalju,” Isagi bilang. “Lo masih suka?”

“Masih.”

Isagi tertawa kecil. “Gue juga masih suka.”

Lalu, mereka kembali diliputi keheningan. Suara huru-hara orang-orang di sekitar tak ubahnya musik yang terputar tak berarti sebagai latar belakang.

Isagi masih menatap pada salju yang turun di luar ruangan.

Rin masih menatap ke arahnya.

Dia memperhatikan Isagi seperti sedang meneguk presensinya. Kalau dilihat-lihat, kendati Isagi tampak lebih kurus dari yang Rin ingat, tapi laki-laki itu masih terlihat sehat; senyumnya bersinar, ronanya tidak memudar, dan kedua palet biru lautnya masih berbinar.

Isagi Yoichi terlihat bahagia.

“Apa kamu bahagia?” Rin bertanya sebelum dia sendiri sempat membendungnya. Isagi tampak terbelalak, “Apa?”

Kendati tenggorokannya tercekat, Rin tetap kembali mengulang, “Apa kamu bahagia?”

Binar mata Isagi melembut. Dia tersenyum tipis, maniknya bergerak turun menatap pada pantofel hitamnya yang mengetuk pada ubin dingin.

“Kamu tau ini nggak mudah,” katanya. “Tapi aku─ aku bahagia, kok.” Uap tipis mengambai dari belah bibirnya selagi dia mengukir senyuman tipis, dan meski demikian, Rin tidak menemukan dusta di balik guratnya.

Isagi Yoichi terlihat bahagia.

Dan untuk beberapa alasan, Itoshi Rin merasa lega.

Kemudian, mendadak orang-orang di sekitar mereka saling berteriak.

“Lima!”

Ini seperti ketika tahun baru tiba dan orang-orang berkumpul untuk merayakannya bersama-sama di tengah kota dengan orang yang mereka sayangi. Rin mengedarkan pandang, sedikit terkejut, “Ini sudah hampir Natal?”

“Empat!”

Isagi tertawa. “Kayanya iya. Udah hampir jam duabelas, kok.”

“Tiga!”

Detik selanjutnya, Rin tiba-tiba teringat Bachira. Astaga, ke mana sebenarnya bocah itu?

“Dua!”

Senyuman lebar tampak terlukis di bibir yang lebih tua. Rin menemukan bentuk senyum yang sama juga terpatri di atas bibirnya sendiri.

“Satu!”

Lalu, orang-orang bersorai. Euforia seolah membumbung tinggi di udara; melingkupi ruangan yang awalnya terasa begitu dingin menjadi terasa begitu hangat oleh kebahagiaan yang menjadi satu.

Isagi menatap pada kedua matanya. Netra biru laut laki-laki itu seolah meradiasikan hangat pada malam Desember yang beku.

Ada tawa kecil dalam suaranya ketika dia berkata, “Selamat Hari Natal, Rin.”

Rin tersenyum.

“Selamat Hari Natal, Isagi.”

Terdapat banyak hal yang terjadi malam ini; mulai dari keriuhan yang menyesakkan sampai ketenangan yang ditawarkan oleh hiruk pikuk di Hari Natal. Namun, ada satu hal terpenting yang Rin tahu.

Bahwa Isagi sudah bahagia.

Dan Rin pikir, perjuangannya selama ini tidak pernah sia-sia.

“Lo nggak apa-apa?”

Rin mengangkat kepala hanya untuk mendapati Bachira yang kini tengah menggenggam dua anggur merah di tangan. Dia menawarkan satu untuk yang lebih muda dan Rin menerimanya tanpa suara.

“Gue oke,” sahutnya singkat. “Lo kemana aja dari tadi?”

“Jalan-jalan,” jawab Bachira sambil bersiul ringan.

“Lama banget.”

“Sengaja.”

Rin mendengus.

Mereka terdiam beberapa saat, tetapi Rin lebih dari tahu bahwa ada satu pertanyaan besar yang mengganjal di benak Bachira sehingga yang dia lakukan adalah berkata, “Kalau mau nanya, nanya aja.”

“Lo peka banget, gila,” decak yang bersangkutan.

“Buruan.”

“Lo itu─” Bachira menggigit bibir bawahnya berkali-kali, “─lo masih sayang ya? Sama Isagi?”

Rin terdiam. Ya, pikirnya dan dia berkata, “Ya.”

“Gue nggak paham,” ungkap si pemilik netra madu, “kalau memang lo sayang, kenapa lo putus?”

“Justru karena itu.” Rin menyesap anggurnya pelan. “Justru karena gue sayang, gue milih buat lepasin.”

Bachira tidak sepenuhnya memahami konsep yang digunakan Rin dalam memperjuangkan orang yang berharga baginya. Tetapi mungkin begitulah cinta bekerja; bagaimana seseorang bisa merelakan orang yang dia cintai agar mereka bisa bahagia, meskipun kebahagiaan itu tidak selalu berarti mereka bisa bersama.

Mungkin memang begitulah cinta bekerja.

“Lo… lo nyesel, nggak?”

Ada keheningan yang mengudara, cukup lama sampai Bachira berpikir Rin tidak akan menjawabnya sama sekali. Tapi mata yang lebih muda hanya menatap ke sosok di seberang ruangan, pada sosok dengan syal merah yang tengah tersenyum sangat lebar. Dia menghela napas panjang, tetapi kali ini, ada senyuman tipis yang perlahan mekar di bibirnya.

“Selama gue bisa liat dia bahagia kaya gini,” Rin tersenyum, “gue rasa, gue nggak akan pernah nyesel.”

Dan Bachira dapat memahaminya sekarang.

Mungkin memang begitulah cinta bekerja.

Rin tiba di rumahnya ketika jam sudah menunjuk pada pukul satu pagi. Dia menghela napas, merasakan seluruh tubuhnya pegal semua dan yang dia ingin lakukan sekarang hanya menghempaskan diri di atas kasur dan tidur sampai matahari bersinar di atas kepala.

Tidak lama kemudian, terdengar suara langkah kaki kecil-kecil yang berderap mendekat. Ketika Rin mengarahkan pandangan pada pintu kamar, yang dilihatnya adalah seorang bocah laki-laki berumur delapan tahun yang sedang mengusap mata pelan. Kantuk masih tampak menggelayuti mata anak itu ketika selanjutnya dia bersuara, “Papa?”

Rin merasakan hatinya menghangat dan dia lantas mendekati bocah laki-laki tersebut lalu membawanya ke pelukan. “Hei, kenapa udah bangun? Kedinginan, hm?”

Bocah laki-laki di rengkuhannya menganggukkan kepala. Dia kemudian membenamkan wajahnya di perpotongan leher Rin. “Nggak ada Papa,” tukasnya.

Rin membawa anak itu sampai ke atas kasur sambil tak henti menciumi setiap sisi wajahnya, merasa bersalah karena tidak menghabiskan waktu di rumah dan malah pergi berjam-jam ke pesta reuni. “Maaf ya, Papa sekarang di sini, kok.” Rin melepaskan jas lalu menyampirkannya sembarangan pada nakas sebelah tempat tidur. Dia lalu menarik selimut untuk membungkus mereka berdua dari dinginnya udara malam yang semakin menggigit. “Udah nggak dingin?”

Bocah laki-laki di pelukannya mengangguk pelan. “Udah nggak dingin.”

Rin tersenyum. Pikirannya kemudian berputar pada dua tahun yang lalu di saat Desember mencapai puncak terdinginnya dalam waktu sebulan terakhir. Rin ingat dia pergi ke sebuah panti asuhan untuk penggalangan dana, dan tidak menyangka bahwa sepasang mata yang menatapnya dengan polos ketika itu bisa merebut hatinya begitu saja. Itu mungkin adalah keputusan yang terkesan buru-buru dan ceroboh─Rin bahkan tidak yakin apakah dia siap untuk mengurus anak dan menjadi seorang ayah─tetapi ketika anak itu mengetahui bahwa Rin membawanya ke rumah, ke suatu tempat yang menawarkan kehangatan dan kebahagiaan, tidak ada hal lain yang bersinar di kedua matanya selain euforia.

Dan mungkin pada awalnya, segalanya terasa sulit dan terlalu asing. Namun pada akhirnya, perlahan-lahan, segalanya menjadi baik-baik saja.

Mereka sudah dan akan melalui banyak hal bersama-sama. Mengingat hal itu membuat sesuatu yang hangat lantas menjalar ke seluruh tubuh Rin, tidak menyisakan sejengkal pun dingin dan kekosongan.

Rin mencium lembut dahi anak laki-laki di pelukannya lama.

Dia tersenyum.

“Selamat malam, Yoichi.”

Dan seperti Isagi, Rin juga sudah menemukan kebahagiaannya sendiri.

Hari Natal seyogianya adalah hari di mana semua orang berbagi kebahagiaan.

Dan mungkin bagi Rin dan Isagi, Hari Natal juga merupakan suatu hari di mana kisah mereka berakhir.

_________________________

--

--

primrose
primrose

Written by primrose

writing feels like being in a chokehold all the time

No responses yet