Banyak hal yang membuat Itoshi Rin jengkel pagi ini, salah satunya adalah pergi ke mall untuk membeli hal-hal yang tidak penting.
Bukan hanya tidak penting, masalahnya makanan-makanan yang dibebankan di pundaknya itu akan diberikan pada Shidou Ryusei — teman satu fakultasnya yang super duper aneh dan sinting; yang sedikit banyak Rin berpikir bahwa laki-laki itu kemungkinan memang punya otak agak miring sekian derajat dari posisi yang normal. Ini semua bukan salahnya — atau mungkin setidaknya 50:50, sebab sisanya pasti karena tingkah usil takdir atau si tengil Jyubei Aryu — tapi dia kalah dalam suit yang menyebabkan Shidou punya hak sepenuhnya untuk menempelkan pantat di rumah dan Rin serta merta bertugas untuk mengakomodasi amunisi mereka sebelum memulai kegiatan kerja kelompok.
“Beliin roti, soda, keripik kentang, permen mint, susu vanilla, es krim, sama es teh.” Shidou menghitung daftar menu dengan menggunakan jemari, membuat Rin dapat merasakan perempatan bersiku muncul dan berkedut dongkol di kepalanya. Si surai pirang dengan semburat merah muda yang nyentrik itu menolehkan kepala, kemudian mengarahkan sepuluh jarinya tepat di depan muka Rin dengan puas. “Oh iya, sama UNO jangan lupa.”
Ketika itu, Rin dengan jelas melihat bagaimana senyum Shidou tampak penuh kemenangan. Guratnya terlalu lebar untuk Rin dapat interpretasikan itu sebagai hinaan semata. Apabila Tokimitsu tidak turun tangan, Rin sudah pasti bisa mencabut beberapa helai rambut pirang dari kepala Shidou tanpa ampun.
Untuk itulah di sini dia sekarang; dengan wajah tertekuk sekian lipatan dan setumpuk makanan yang bertumpang-tindih di keranjang belanja, Rin menyusuri sepanjang lorong berisi deretan susu kotak aneka rasa. Shidou dan segala permintaannya yang merepotkan. Diam-diam Rin menyumpah untuk membalas laki-laki itu suatu hari kalau dia tidak lupa.
“Halo, permisi?”
Rin masih berkutat dalam memilih merek susu dan memeriksa tanggal kadaluarsanya — dia cari yang punya tanggal paling dekat, berharap sungguh-sungguh agar Shidou Ryusei bisa diare secepat mungkin — ketika seseorang menyapa dari arah belakang sembari menepuk pada lengannya. Rin menolehkan kepala hanya untuk menemukan figur asing bermata biru bulat yang kini menatapnya dengan sungkan, tapi di saat yang sama penuh pengharap-harapan yang Rin tidak tahu apa.
Jadi, dia bertanya, “Kenapa, ya?”
“Uh, itu,” sosok dengan manik biru menggaruk belakang kepala, “mau bantuin gue, nggak? Sebentar aja, nggak susah kok.”
Rin menaikkan sebelah alis. “Bantuin apa?”
Lalu, orang asing itu mengarahkan telunjuk pada salah satu outlet baju yang terletak di seberang mereka berada sekarang. “Liat papan diskon itu, nggak?” Si lelaki asing menunjuk pada banner berlatar kuning menyala dan terlampau mencolok yang tengah tergantung di bagian depan toko, mengundang siapapun untuk meliriknya barang sebentar saja. Mungkin, bukan warnanya saja yang membuat semua orang tampak tertarik ke sana. “Bantuin gue sekaliiiii ini aja, ya, ya, ya? Please?” Lelaki itu menambahkan, terdengar sangat putus asa.
“Hah?” Rin menatap pada banner toko sekali lagi, lalu mengalihkan pandang ke konstruksi wajah penuh harap, kemudian kembali mengarahkan atensi pada diskon yang tertera besar-besaran untuk kesekian kali. “Itu diskonnya cuma buat orang pacaran,” jelasnya.
“Iya,” si manik biru mengangguk, “mangkanya gue minta bantuan lo.”
“Gue?”
“Ya.”
“Lo mau kita pura-pura pacaran?”
“Hu-um.”
“Sinting.” Rin rasa tidak ada orang yang benar-benar normal di sekitarnya. “Ogah.”
“Pelit betul,” cibir si laki-laki asing.
Rin mendengus. “Lagian juga kenapa harus gue?”
“Sejauh ini lo yang keliatan paling cakep soalnya.” Sosok bernetra biru laut menjelaskan, jelas acuh tak acuh. Tapi, Rin bukan seseorang yang bisa menerima pujian dengan baik. Jadi, ketika laki-laki itu mulai merasakan sensasi hangat menjalar di kedua pipi, yang Rin lakukan hanya mengalihkan pandang. “Oh,” sahutnya, tak kalah acuh.
“Malu ya lo?” Laki-laki asing kemudian bertukas, ada jenaka di setiap silabelnya. Rin benci bagaimana rona kemerahan memalukan justru semakin semerbak di permukaan kulit, mewarnainya dengan merah muda yang terlihat bodoh dan konyol. Sebelum Rin dapat membalas apa-apa, lengannya sudah lebih dulu ditarik dengan paksa oleh si pemilik figur lebih rendah, membuat tubuhnya sedikit sempoyongan dan tas belanjanya jatuh berdebam ke lantai supermarket.
Dengan panik, Rin menyalak, “Woy, gue belum bayar!”
“Udah, nanti aja gue bayarin,” sahut si sosok asing. “Karena lo udah malu, sekalian aja malu-maluin bareng gue.”
“Apa maksud lo, anjir?!” serunya, yang mana tidak ubah serupa angin lalu karena yang diajak bicara jelas tidak mau repot-repot mendengarkan. Maka, yang dilakukan Rin hanya menghela napas kasar — untuk kesekian kalinya hari itu — kembali meratapi segala keputusan buruk yang sudah dipilihnya, yang mana salah satunya adalah membiarkan dirinya ditarik dengan tidak sopan oleh seseorang yang tidak pernah dia kenal sebelum ini.
“Diskonnya cuma 10%, astaga.”
Rin mengusap wajah dan menyilangkan lengan di depan dada ketika memperhatikan label harga pada setiap pakaian yang terpajang di etalase. Dia mengernyit. “Cuma 10% dan lo sampai narik-narik orang nggak dikenal buat ke sini?”
“Lo nggak ngerti,” dengus lelaki asing, tampak masih sibuk mencari pakaian yang sesuai dengan seleranya. “10% mending daripada nggak ada diskon sama sekali.”
Dan begitulah Rin menghabiskan waktu berharganya untuk menemani orang yang tidak dikenalnya sama sekali dalam memilih pakaian yang diinginkan laki-laki itu selama setengah jam terakhir.
Namun, di antara itu semua, diam-diam Rin tidak bisa tidak memperhatikan air muka si sosok asing yang mudah sekali terbaca dan berubah-ubah dalam interval sepersekian sekon, tidak lebih lama dari bagaimana otaknya menentukan konklusi dari rumus titrasi asam basa tapi tidak lebih cepat dari bagaimana Rin mencoba untuk mengalihkan pandang seolah tidak ada apa-apa. Ekspresi laki-laki itu unik — karena menurutnya adjektiva ‘lucu’ terlalu berlebihan — dan Rin, untuk berbagai alasan, tidak mampu memalingkan atensi seperti yang dia mau. Ini menyebalkan karena Rin sendiri tidak tahu kenapa matanya tidak lagi bisa diajak kompromi di saat seperti itu.
“Lo mau sekalian gue beliin baju couple?” Detik kemudian, si lelaki asing menawarkan. Dia menunjuk pada sepasang sweter putih kembar yang terletak tidak jauh dari tempat mereka berdiri sekarang. Rin tidak pernah membeli barang-barang konyol seperti itu bahkan dengan mantan kekasihnya yang lalu. Dengan itu, dia hanya memberikan kernyitan berlebihan — tanda penolakan secara nonverbal — membuat pemilik netra sebiru laut tadi tergelak puas, “Bercanda doang elah. Benci banget kayanya.”
“Pake nanya.”
Setelah bermenit-menit yang berjalan seperti selamanya, si lelaki asing akhirnya bergerak menuju kasir untuk membayar pakaiannya. Dia beberapa kali menawarkan untuk menghadiahi beberapa pasang baju pada Rin sebagai rasa terima kasih (dan juga permintaan maaf), yang mana hanya berakhir menerima penolakan dari yang bersangkutan. “Kalau lo ngerasa bersalah seharusnya sejak awal nggak usah maksa gue ke sini,” dengus Rin, dan malah dibalas, “Oh, kalau yang itu gue nggak ngerasa bersalah, sih,” dengan ringan.
“Barangnya ini aja ya, Kak?” ucap penjaga kasir. Lelaki bermata biru laut membenarkan. Sementara itu, Rin mendapati bagaimana kedua mata perempuan itu menyapu pada kedua laki-laki yang berdiri tegap di depannya sekarang. Dengan sedikit seraut heran, si penjaga kasir mulai bertanya hati-hati, “Ini pacar Kakak?”
Mengingat intensi awalnya, si lelaki asing tiba-tiba mengamit lengan Rin dengan paksa. “Haha, iya,” katanya kaku. Rin menghela napas berat. Kalau kepura-puraan mereka berujung gagal dan siapapun yang kini tengah menggelayuti lengannya ini tidak mendapatkan diskon seperti yang dia mau, maka Rin pikir dia akan segera pergi dari sana secepat mungkin tanpa berintensi untuk lanjut berbelanja untuk si keparat Shidou. Persetan dengan itu semua. Energi sosialnya sudah terkuras habis tak bersisa sekarang.
Melihat terdapat keraguan pada kedua mata penjaga kasir, si manik biru merengut tidak terima. “Kenapa? Nggak pernah liat orang homo?” Pernyataan itu membuat Rin nyaris tersedak. “Atau lo nggak percaya kita pacaran? Perlu kita ciuman dulu?”
Buset. Rin merasa jantungnya nyaris berhenti berdetak oleh rasa panik.
Dengan wajah memerah malu, si penjaga kasir lantas menggelengkan kepala sambil membungkuk. “Maafkan saya, Kak. Sebagai permintaan maaf, setiap piece bajunya akan didiskon 20%.”
“Lo, sumpah,” Rin berbisik di bawah napas, cukup lirih untuk tidak didengar siapapun kecuali lelaki asing bermanik biru di sisinya, “lo licik banget.”
Yang bersangkutan tertawa kecil. “Keren, kan?”
Rin memutar bola mata. “Lagian lo aneh banget.”
“Apanya?”
“Banyak cewek di sana tadi dan lo malah nyeret gue,” kata Rin. “Kasian liat penjaga kasirnya bingung gitu.”
“Biarin.” Kedua netra sewarna laut berputar. “Mau diberi pilihan sebanyak apapun juga gue bakalan tetep nyeret lo.”
“Kenapa?”
“Kan gue udah bilang.” Dia menyiku pinggang Rin pelan. “Soalnya lo yang paling cakep.”
Anjing, aksasjkajsdkjdsdakd. Rin mendengkus, tidak melepas seraut datar yang melekat pada wajahnya. “Nggak jelas.”
Dan dia berusaha sekuat tenaga abai mengenai bagaimana perutnya mulai tergelitik dengan cara yang menyenangkan detik itu juga.
“Gue belum nanya nama lo siapa.”
Mendengar itu, si manik biru laut tersedak. Kini mereka sudah berjalan keluar supermarket. Dengan belanjaan berukuran besar dan cukup berat di kedua tangannya, Rin sedikit banyak merasa senang dia tidak harus menguras isi dompet hanya untuk memberi makan Shidou yang tidak tahu diuntung itu.
“Oh, uh.” Dia tampak menggaruk belakang kepala. Gerakan itu seolah menjadi tabiatnya apabila sedang merasa ragu, kendati Rin tidak tahu apa yang membuatnya begitu sangsi untuk saling bertukar nama. Hei, setelah semua hal aneh yang dia lakukan dengan menyeret Rin semena-mena hanya untuk mendapatkan diskon, kini dia mendadak tidak mau memberikan namanya? Konyol sekali.
Tapi ironisnya, dugaan Rin memang benar adanya.
“Gue kayanya lupa belum angkat jemuran,” tukas laki-laki itu, sedikit terlalu cepat dari yang seharusnya. Dengan gelagat panik, dia membungkuk dalam sambil berkata, “Makasih ya buat yang tadi, tapi gue harus cabut sekarang. Bye!”
Sebelum Rin sempat merespon, si lelaki asing sudah lebih dulu merajut langkah lebar menjauh. Dia melambaikan tangan dari kejauhan sekian kaki dari tempat Rin berdiri sekarang, untuk kemudian menghilang di balik pintu lift yang tertutup beberapa saat selanjutnya. Rin mengerjap, merasa seperti seseorang yang barusaja digunakan lalu dibuang begitu saja dengan semena-mena.
Dia menghela napas kasar.
“Seriously?”
Itoshi Rin bukan sosok yang suka percaya takhayul maupun segala tetek bengek mengenai takdir.
Tapi, itu seolah Tuhan tengah berada dalam kondisi jenuh dan mencoba untuk mempermainkan garis takdirnya — barangkali menemukan euforia berarti setiap kali Dia menemukan Rin dalam keadaan yang membuat laki-laki itu terperangah tanpa bisa berkata apa-apa.
Karena selanjutnya, ketika Rin memasuki kelasnya pada periode ketiga pagi itu, yang ditangkapnya pertama kali adalah sosok yang terlalu familier di kepala.
Surai sehitam jelaga, kedua netra sebiru lautan, dan senyum selebar samudra.
“Oh.”
Oh.
Dia menatap pada laki-laki asing yang tidak lagi ternilai asing di sudut pandangnya dengan mata terbelalak, dan orang itu balik menatapnya dengan intensitas keterkejutan yang sama.
Dan mungkin, Itoshi Rin bukan sosok yang suka percaya takhayul maupun segala tetek bengek mengenai takdir.
Tapi saat ini, dia tidak bisa percaya apapun kecuali kenyataan bahwa pertemuan mereka adalah salah satu takdir yang tidak akan pernah dia sesali selamanya.
_________________________