tainted fingertips and pomegranates

primrose
19 min readMar 20, 2023

--

warn: 🔞 explicit content, dirty talk, dubious consensual sex, marathon sex, tits fuck, cockwarming, male-turned-to-female mc, boypussy, huge breast, man boobs, mind break, aphrodisiac, profanities

p.s you’ve been warned.

Itoshi Rin adalah sebuah anomali.

Satu hal yang Isagi tahu tentang laki-laki itu adalah bahwa dia membencinya — atau, itulah yang Isagi pikirkan tiap kali si keturunan Itoshi meniliknya dengan pandangan tak terdeskripsi. Seolah Isagi selalu memiliki segala hal yang dia inginkan, yang mana untuk beberapa alasan membuat Rin mengecap rasa pahit di lidah.

Mereka selalu berselisih dalam berbagai hal — mulai dari perebutan medali emas olimpiade sains sampai hal seremeh temeh menjadi orang pertama yang menapakkan kaki di perpustakaan tiap akhir pekan tiba. Isagi berpikir Rin adalah seseorang yang jenius; intelegensinya sudah jelas berada di atas rata-rata, dan presensinya sangat intens pada berbagai acara sekolah sampai-sampai setiap spanduk di seluruh penjuru sekolah memampangkan figurnya yang elegan dan rupawan.

Dia masih berada di tahun pertama, tapi kehadirannya seolah membawa revolusi yang membuat Rin menjadi salah satu siswa berprestasi dengan mahkota emas di kepala. Kalau Isagi tidak terlalu berat hati untuk mengakui, maka dia bisa bilang bahwa Itoshi Rin memang merupakan sosok yang tidak bisa diabaikan begitu saja eksistensinya.

Berlandaskan oleh berbagai hal, dia adalah suatu bias besar dan kentara yang Isagi tidak bisa pecahkan seberapa-kalipun dia mencoba untuk merevisi formulanya.

Sebab, Itoshi Rin selalu memandangnya dengan cara serupa; skeptis, tajam, dan penuh penilaian. Kedua manik toskanya selalu mengiringi Isagi ketika mereka berdua berada pada ruangan yang sama. Isagi tidak jarang merasakan seolah api berkobar menjilat kulit tepat di titik di mana Itoshi Rin meletakkan atensi. Terkadang Bachira menyiku lengannya hanya untuk mengonfirmasi, “Rin liatin lo.”

Adalah sebuah keajaiban bahwa Isagi dapat meramalkan hal itu dengan benar bahkan sebelum dia sempat angkat kepala untuk memvalidasi prasangkanya.

Maka, ketika Rin mengirimkan pesan untuk bertemu pada hari Minggu di rumahnya — dengan alasan yang bahkan Isagi tidak tahu secara spesifik mengapa — yang dipikirkan oleh Isagi adalah kenapa? Dan meskipun dia berusaha untuk memutar otak, mencari alasan dan motif paling logis yang bisa dia pikirkan, Isagi tetap tidak dapat menarik konklusi apa-apa dari cabang otaknya yang malang-melintang tak berarah.

Itoshi Rin masih merupakan sebuah anomali — yang sebanyak apapun Isagi mencoba untuk menebak pola pikirnya, dia tetap tidak akan pernah menemukan setitik jawaban rasional.

“Terakhir kali gue tau, lo nggak suka.” Isagi menyapa tepat ketika pagar rumah Rin terbuka, menampakkan sosok yang lebih muda dengan pakaian kasual dan wajah datar. Di antara konstruksi bangunan mewah yang mengilat di bawah matahari, berikut taman hijau penuh bunga warna-warni yang menghiasi pekarangan, figur Rin adalah satu-satunya yang terlihat sangat enggan menyambut kehadiran Isagi di sana. Isagi nyaris membalikkan badan dan pergi andaikata Rin tidak menyahut detik selanjutnya.

“Nggak suka apa?” tanyanya, sedikit terlampau retoris.

Isagi menghela napas pelan. “Nggak suka gue.” Apa lagi?

Rin tidak menjawab apa-apa. Dia hanya membuka pagar tinggi rumahnya lebih lebar, mengindikasikan bahwa (setidaknya) Isagi tidak dijadikan bahan lelucon dengan memintanya datang hanya untuk didepak begitu saja.

“Gue masuk, ya.”

“Hm.”

Anjing, Isagi memulas senyum terpaksa, apa seharusnya gue nggak usah ke sini, ya?

Pada akhirnya, Isagi tetap melenggang masuk. Netranya menyapu pada fitur dan formasi bangunan yang didominasi oleh keramik. Dia selalu tahu bahwa Rin adalah seorang anak dari keluarga kaya raya — atau semacamnya — tapi dia tidak pernah menyangka laki-laki itu memiliki rumah semewah ini. Dengan ruang tamu berpoles marmer bernuansa harmonisasi antara kelabu, putih, dan hitam arang itu, Isagi merasa figurnya mengecil. Rumah Rin terlalu besar, terlalu mendominasi, dan terlalu berspasi untuknya dapat duduk tenang di sofa tengah ruangan.

“Lagi nggak ada orang, Rin?” Isagi memecah keheningan, maniknya bergulir mengikuti presensi Rin yang sedang menyeduh minuman di seberang tempatnya sekarang.

“Nggak,” sahut laki-laki beriris toska, “orang tua gue lagi ada bisnis ke luar negeri sampai bulan depan.”

Isagi mengangguk. “Oh.”

Selama beberapa menit terakhir, tungkai Isagi tidak berhenti bergerak naik turun oleh ansietas. Dia menatap pada beberapa toples makanan di atas meja. Salah satunya berwarna transparan yang berisi beberapa butir permen warna-warni. Isagi pikir, beberapa asupan glukosa barangkali dapat membuat nervusnya berhenti menegang.

“Gue boleh minta makanan lo nggak?” tanya Isagi kemudian, yang mana hanya dijawab gumaman dari arah dapur sebagai bentuk afirmasi. Dia tidak pikir panjang ketika akhirnya membuka toples dan melahap permen yang ada di dalam sana. Rasanya manis — kerutan di dahi Isagi mengendur, palpitasinya mereda, dan tubuhnya menjadi lebih rileks. Papila lidahnya seolah merasakan ekstasi yang menjilat langit-langit dan menyerang serebrum lalu membuat segalanya mendadak terasa ringan.

Lalu, seperti tersihir, dia mengambilnya sekali lagi. Lalu dua kali, kemudian tiga kali, dan berkali-kali selanjutnya tanpa henti.

“Lo makan apa?”

Suara Rin seperti membuai di telinga. Isagi mengerjap, dengan sepenuh kesadaran yang tersisa, dia cepat-cepat menelan makanan di bukalnya dan menunjuk pada toples transparan di meja. “Permen,” katanya. “Maaf ya, hampir habis.”

Rin lantas berderap mendekat. Dia mengambil toples transparan itu dan mematainya seolah sedang menatap pada hal paling menjijikkan sedunia. Isagi harap-harap cemas ketika dia bertanya, “Kenapa?”

“Ini punya Sae,” tukas Rin lewat gemeletuk gigi yang merapat.

“Oh,” Isagi linglung, “nggak boleh dimakan, ya?”

“Of course. It’s for his ‘friends’.” Rin menghela napas panjang. “Why that fucker put it in the livingroom to begin with? Shit.

“Rin, kenapa — “

Sebelum dia sempat menyelesaikan perkataannya, Isagi tiba-tiba merasakan tubuhnya kian menghangat, keringat sudah mulai membuat kulitnya lembab, dan napasnya sedikit tersenggal oleh karena sesuatu yang menyesakkan di dada. Dia menarik napas dalam ketika merasakan pikirannya berkabut, bulu romanya berdiri di bawah sapuan udara dingin. Isagi mengeratkan genggaman pada hoodie abu-abunya, mencoba untuk mengembalikan kesadaran sebelum segalanya menjadi lebih buruk dari ini.

“Isagi.”

Tapi ketika Itoshi Rin berucap demikian, Isagi tidak dapat mencegah diri untuk menatap pada fitur wajah yang rupawan dari sosok yang lebih muda. Dahi laki-laki itu berkerut tipis, seolah secara nonverbal mempertanyakan apa yang sedang terjadi pada Isagi yang kini bahkan tidak bisa menyortir pikirannya dengan baik. Karena yang ada di pikiran laki-laki itu sekarang adalah Itoshi Rin, dan bibirnya yang ranum, dan matanya yang tajam dan adiwarna, dan bentuk tubuhnya yang membuat mulut berair, serta berbagai cara yang Rin bisa lakukan untuk menggagahinya di setiap ruangan di rumah itu —

Dan Isagi nyaris menangis karena letup keinginan yang mencarut-marut otaknya dalam satu tarikan napas terputus.

Dia ingin, ingin, ingin.

Untuk itu, sebelum dia sendiri menyadari, Isagi sudah melangkah mendekat dan mengalungkan lengan pada leher yang lebih muda. Rin semakin mengerutkan dahi, menatap penasaran pada bagaimana kelopak Isagi mengerjap dengan sayu dan seduktif.

“Rin — ” suaranya mengalun serak, seolah ada keinginan yang terlalu mencekik tenggorokannya ketika itu, “ — mau.”

Lalu pinggulnya bergerak, mempertemukan bunganya pada kejantanan yang lebih muda. Dia ingin mendesah tatkala merasakan seberapa besar milik Rin di balik celana, pikiran liar mulai berlomba-lomba menyesakkan kepala. Isagi mulai frustrasi ketika Rin tidak melakukan apa-apa kecuali berdiri di tempat, menatapnya dengan tatapan yang sama seperti yang biasanya dia lakukan; skeptis, tajam, dan penuh penilaian. Tapi, untuk beberapa alasan, Isagi melihat libido terpendam yang berkobar jauh di dalam iris yang kini menatapnya tepat di mata.

Tangan besar Rin bergerak menyusuri pinggang yang lebih tua lalu menahannya di tempat, menghalangi area bebas yang dapat Isagi gunakan untuk merasakan penis Rin menyapa kemaluannya dalam friksi lambat yang pasti dan memprovokasi. Isagi melenguh, kulitnya dapat merasakan dingin pada setiap spasi yang tersentuh oleh jemari Rin lamat-lamat.

“Lo mau apa?” tanya Rin kemudian, suaranya terdengar apatis.

Isagi meneguk ludah ketika menatap pada sepasang bibir Rin yang mengilat, memantulkan cahaya pagi dan membuatnya semakin terlihat atraktif dari berbagai sisi. Isagi menjinjitkan kaki, labiumnya menempel tepat di bawah telinga kiri Rin ketika dia menjawab, “Mau lo,” bisiknya. Dia kembali menyapa dengan menggesekkan selangkangan tepat pada kejantanan yang kini menegang, membayangkan bagaimana organ itu mengecup vaginanya tanpa permisi. “Mau ini juga. Rin, please.”

Rin menghela napas panjang. “You’re not in your right mind,” bisiknya ketika membawa tubuh mereka semakin mendekat. Tubuh Isagi seperti melebur ketika berada dalam rengkuhan yang lebih muda. Dia meremang ketika telapak tangan dingin Rin merambat ke dalam hoodienya, mengusap dengan gerakan memutar pada punggungnya yang lebih kecil. Raut wajah Rin berubah ketika dia mendapati sesuatu menghalangi manuver eksplorasinya. “Korset, really?” Dia bertanya sambil mendengus.

Detik kemudian, dia mengangkat Isagi dan menghempaskan laki-laki itu ke atas sofa. Yang lebih tua merasa dunianya sedikit berputar, terkejut ketika menemukan bahwa Rin dapat mengangkatnya seperti dia tidak seberat lelaki dewasa pada umumnya. Isagi belum sempat menstabilkan isi otak kala Rin menarik hoodienya sampai lepas dan yang tersisa hanyalah korset sewarna kulit yang memeluk tubuh atasnya erat — mencoba untuk menyembunyikan apa yang ingin dia sembunyikan dengan seksama.

Rin mengunci kepala Isagi di antara lengan kekarnya. Mata mereka bersirobok selama beberapa detik sebelum laki-laki itu menatap pada apa yang disembunyikan di balik korset. Maniknya memancarkan kuriositas yang kentara, sehingga yang Isagi lakukan adalah membusungkan dada; mempresentasikan diri dengan kedua pipi yang menghangat oleh rasa malu dan ingin yang melebur jadi satu.

“Sesak, Rin.” Isagi berkata dengan napas terputus-putus. “Bantuin buka, please.”

“Kalau gue bantu, gue bakalan dapet apa nanti?” Rin menaikkan alis, menantang.

“Apapun.” Isagi menjawab, terlalu cepat dari yang dia intensikan. “Lo bisa dapet apapun, jadi tolongin, ya? Hm?” Dia memiringkan kepala dan mencium pergelangan tangan Rin yang membuat laki-laki itu kehilangan napas.

Sial, pikir Rin, merasakan daerah selatannya mulai bereaksi dengan provokasi Isagi yang terlalu polos dan binal di saat yang sama. Gue bakal gempur lo sampai lo nggak inget nama lo sendiri.

Maka, detik selanjutnya Rin membenamkan wajah pada perpotongan leher Isagi, meninggalkan bekas memerah yang akan berubah membiru keunguan jika esok hari tiba. Isagi mengangkat kepala, menawarkan spasi lebih lebar untuk Rin meninggalkan tandanya sebanyak yang dia mau.

Rin menjilat dan menggigit klavikula Isagi seolah sedang merasakan hidangan paling nikmat satu semesta. Dia memberikan gigitan kuat pada bukit kecil yang menyembul keluar oleh tekanan korset, membuat Isagi menggigit balik erangan ke dalam tenggorokan.

Perlahan namun pasti, Rin menarik resleting korset Isagi di antara geligi. Isagi menegang tatkala hidung bangir Rin menyapu kulitnya dari titik teratas sampai ke umbilikal — sentuhan tipis yang tak berarti itu mampu membuatnya merapatkan kaki, merasakan geli pada daerah selatan yang sudah basah sejak beberapa saat lalu. Ketika korset itu terbuka sempurna, payudara Isagi seolah bermekaran seperti kelopak yang tumbuh keluar dari kuncupnya, tumbuh sempurna untuk orang lain menatap keindahannya yang fana.

Dan meskipun itu fana, itu tetaplah cantik. Dan meskipun itu cantik, itu tetaplah fana.

Maka, ketika Rin menatap pada payudara Isagi yang seputih susu, dia tidak bisa berpuas diri hanya dengan sekadar mematai bagaimana area sewarna merah muda merekah begitu saja. Kedua puting itu tampak memerah dan mengeras, payudaranya membesar baik oleh sapuan udara pagi yang menyapa maupun tatapan Rin yang melekat pada buah dada yang lebih tua. Isagi membusungkan dada, malu-malu, mengarahkan pada Rin untuk laki-laki itu berinisiasi melakukan sesuatu selain menatapi mereka secara intens.

“Rin, berat,” katanya, lirih. Dia melingkarkan lengan pada leher yang lebih muda, membiarkan putingnya yang sensitif bergesekan dengan pakaian Rin berkali-kali, seolah memberitahu seberapa keras dan tegang dirinya hanya untuk laki-laki itu seorang. “Pegangin. Pegangin payudara Isagi, Rin, please please.

Rin menyapukan jemari pada areola yang lebih tua, mencubit kuat putingnya tanpa interferensi lebih lanjut dan justru membuat Isagi semakin merintih oleh stimulasi kepalang tanggung yang membuatnya semakin menggila. “Berat memangnya karena apa?” Rin meletakkan satu tangan pada payudara kiri pemilik iris kobalt, tapi dia tidak melakukan apa-apa kecuali menjepit puting mencuat itu di antara ibu jari dan telunjuk.

Isagi ingin menangis, jadi dia lakukan itu sambil meracau inkoheren, “Air susu — Isagi punya air susu,” isaknya. “Kalau Rin nggak minum, rasanya sakit — sakit banget.” Isagi mengeratkan cengkeraman pada baju Rin. “Rin bantu Isagi, ya? Ngh,.. please, it hurts.

Dan Rin dapat merasakan bagaimana jantungnya berakselerasi oleh perasaan yang meluap-luap, membanjiri presensinya secara totalitas ketika mendengar bagaimana Isagi nyaris menggila untuknya. Maka, dia meremas kedua payudara Isagi keras dan membuat laki-laki itu menggelinjang, sebelum berbisik, “I want to fuck your tits.

Isagi mengerjapkan matanya yang sayu berkali-kali. “Huh?”

Strip your pants down and get on your knees.” Rin memerintah, absolut. Dia menarik Isagi untuk bangkit dari sofa, mematainya dengan manik tosca yang menyorot panas. “Now.

Jadi, yang bisa Isagi lakukan hanya mematuhinya. Dia menggigit bibir, sedikit malu ketika melepaskan semua celananya dan menunjukkan aset yang beberapa hari ini membuat dia berada pada situasi menyulitkan. Tapi bagaimana Rin meniliknya dari ujung kepala sampai ujung jemari kaki dengan tatapan tak terdeskripsi membuat Isagi merasa kulitnya meremang dengan cara yang menyenangkan.

Rin dapat melihat sosok Isagi dengan jelas dan tanpa celah kali ini. Dia melihat bagaimana kulit Isagi memerah malu, tetapi matanya menunjukkan keberanian dan keinginan untuk seseorang segera menggagahinya detik itu juga. Dia tersenyum miring saat Isagi mendudukkan diri di depan selangkangan Rin, seperti tidak tahu apa yang harus dia lakukan selanjutnya. Rin mendengus dan membuka resleting celana kemudian mengeluarkan ereksinya, menampilkan penis yang menegang dan memerah agar Isagi lakukan sesuatu untuk meredakannya.

Put it in between your breast,” Rin berultimatum, “and suck the head.

Isagi mengerjapkan mata dan mulutnya berair. Ukuran Rin sama sekali tidak bisa dibilang standar, dan untuk beberapa alasan, bagian bawah perutnya kian menghangat. Sejurus kemudian, laki-laki itu meletakkan penis besar Rin di antara belahan dadanya, merasakan bagaimana organ berurat dan panas itu menggosok kulit payudara dengan sensasi nikmat yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.

Rin bernapas lewat geliginya yang bergemeletuk ringan. Manuver Isagi berantakan; dia menggenggam kedua payudaranya sendiri erat dan menaik-turunkannya dengan cepat dalam tempo berserakan. Kulit seputih susu Isagi tampak lembut, Rin akhirnya mengetahui bagaimana itu juga terasa selembut yang dia pikirkan ketika kulit penisnya bersinggungan dengan payudara yang lebih tua.

“Rin, am I doing it right?” Isagi bertanya dengan alis tertekuk melankolis. Kulitnya lembab oleh keringat yang meluncur bebas dari pori-pori, matanya memicing dalam usaha memfokuskan diri di antara kabut afeksi yang menutupi penglihatan, dan mulutnya terbuka untuk menjilat kecil-kecil pada kepala penis yang lebih muda. Dia merasakan kejantanan Rin semakin memerah, seolah dia akan meledak kapan saja, maka Isagi semakin antusias dalam menyapukan lidahnya pada penis Rin tanpa setitikpun rasa ragu.

You’re incredible.” Yang bersangkutan membalas. Kali ini, tangan besarnya mengangkat dagu Isagi untuk laki-laki itu menatapnya tepat di mata. Biru dan toska saling bersinggungan dalam satu tatapan penuh arti, menimbulkan sesuatu berdesir telak di dada yang lebih muda. Detik selanjutnya, Rin menarik dagu Isagi mendekat dan membawa laki-laki itu ke dalam ciuman panas yang berantakan. Isagi memanjat ke pangkuan Rin, lidahnya terombang-ambing oleh gelombang yang diberikan Rin lewat linguanya yang menginvasi penuh intensi; intensi untuk mencapai pelepasan hebat, intensi untuk membawa Isagi mabuk kepayang, intensi untuk membuat laki-laki itu jadi miliknya —

Ah, Rin — ” Isagi merasa kehabisan napas ketika jemari panjang Rin mulai bergerak menginvasi liang vagina dan mencubit putingnya kasar di saat yang sama. Stimulasi itu membuat pinggangnya membusur, merasa nyeri dan nikmat tiada tara di satu waktu, membuat pikirannya semakin berkabut tanpa logika. Dia menggerakkan pinggul, mencari friksi berlebih yang bisa ditawarkan dari sekadar tiga jari yang menginvasi. Vaginanya melakukan spasme dan merapat secara involunter ketika ibu jari Rin menyapa klitorisnya yang membengkak. “Ngh, ah… more.”

“Vagina lo rapet tapi rakus banget,” ujar Rin. Pelipisnya berkeringat, senyumnya memikat, dan gerakan jemarinya menguat. Isagi merinding hebat oleh lidah Rin yang menggelitik putingnya. Tangan kirinya yang bebas mulai bergerak meremas payudara Isagi yang lain; memutar, memilin, menjepit, dan memijatnya dengan tumpahan hasrat tak terbendung. Isagi mengeratkan genggaman pada pakaian Rin, mulutnya tidak berhenti meneteskan desahan-desahan keras yang memantul pada keramik-keramik di seluruh penjuru ruangan.

“Rin, tolong.” Isagi merintih. Tangannya bergerak ke bawah dan mendarat pada penis Rin yang menegak sejajar dengan perut, mulai membayangkan akan sepenuh apa dia ketika membiarkan benda itu masuk mengoyak dinding-dinding sensitifnya. “Mau yang ini.”

Rin mencubit klitoris Isagi dan membuatnya semakin memerah. Yang bersangkutan menggigit balik jeritan di tenggorokan, merasakan tubuhnya nyaris melakukan pelepasan andaikata Rin tidak menghentikan pergerakan jemari di liang vaginanya yang kelaparan.

“Mau apa?” Rin acuh tak acuh, tangannya memerangkap klitoris Isagi tanpa ampun di antara jari-jari, membuat yang bersangkutan semakin merasa gila oleh stimulasi tanpa empati yang dikerahkan oleh laki-laki itu.

Isagi nyaris tersedak isakannya sendiri ketika dia berkata, “Mau penis Rin.”

Rin tidak berat hati untuk melanjutkan keapatisannya. “Buat apa?”

“Buat masuk ke sini.” Isagi melebarkan kaki, menampilkan liang vaginanya yang memerah dan basah. Klitorisnya membengkak dan mencuat dari bibir vaginanya, seolah siap menyapa untuk apapun datang menjumpainya dalam gerakan erotis yang panas dan penuh makna. “Mau penis Rin buat masuk ke vagina Isagi.” Obat apapun yang ada pada permen yang dimakannya tadi tentu membuat Isagi lebih sensitif dari biasanya, karena kini dia tidak bisa menahan stimulus berlebih sehingga air matanya menetes dengan menyedihkan. “Please, please, please Rin — I promise I’ll be good. Please…”

Tidak perlu waktu lama untuk Rin menghempaskan punggung Isagi ke sofa. Matanya menyalak penuh gairah — Isagi dapat melihat bagaimana libido mewarnai iris Rin dengan merah membara. Laki-laki itu melepas pakaian dan melemparkannya ke segala arah. Isagi memandangi bagaimana tubuh atletis Rin terbentuk begitu menggairahkan seolah dia telah dipahat oleh Adonis sendiri.

I’ve been dying to see you like this.” Rin membubuhi pipinya dengan kecupan-kecupan seringan kupu-kupu, bergerak untuk mencipta jejak sepanjang aliran air mata yang menetes beberapa saat lalu. “Lying underneath my body and begging so pitifully.” Dia mengecup pada bibir Isagi ringan. “You’re as beautiful as I imagined you to be.”

Kendati pikiran Isagi berkabut oleh obat yang tadi ditenggaknya, dia tetap merasakan rona kemerahan merambat di kedua pipi. Sebelum dia sempat membalas, penis Rin sudah melakukan penetrasi dengan satu sentakan kuat, membuat Isagi tersedak napasnya sendiri. “Ah — Rin,” dia mencengkeram pada lengan si keturunan Itoshi yang mengunci kepalanya, “slow down, please…”

Rin mengerang dalam hati. “You’re so tight. Shit.” Penisnya seperti tidak dapat bernapas ketika dia mulai melakukan intromisi. Vagina Isagi seolah merapat dan enggan untuk melepaskannya, namun di saat yang sama, dia tidak dapat semata-mata bergerak begitu saja. “Isagi, rileks,” pintanya sembari memagut bibir yang lebih tua untuk mendistraksi.

Ketika Rin akhirnya bisa bergerak lebih leluasa, dia menggoyangkan panggulnya dan menghujam titik terdalam yang bisa diraihnya berkali-kali. Isagi kelimpungan, pinggulnya terasa mati rasa oleh tempo terlalu cepat yang diberikan oleh Rin, sehingga yang bisa dilakukannya hanya merintih dan mendesah di antara ciuman panas mereka. Sampai akhirnya Rin menemukan satu titik itu — titik yang membuat Isagi menggila dalam sekali sentuhan — dan dia mendadak menghentikan gerakannya.

Isagi terisak. “Rin — ”

“Ssshh,” Rin membungkamnya dengan kecupan singkat. “Pegangan yang kuat.”

Detik berikutnya, laki-laki itu merengkuh Isagi dan membawanya berjalan ke arah dapur. Dengan posisi mereka yang masih terkoneksi pada satu sama lain, dalam setiap langkahnya, Isagi dapat merasakan bagaimana kepala penis Rin bergerak semakin dalam dan dalam; menghajar liangnya yang sensitif dengan kasar dan bertubi-tubi.

“Ah, ah, ah — ” Isagi tidak bisa menghentikan desahan ketika merasakan friksi bukan kepalang yang dirasakan dinding-dinding vaginanya. Itu seolah penis Rin mengetahui dengan benar area paling sensitif mana yang dapat mematikan kerja otaknya, membuat dia kepayahan dengan stimulan tanpa akhir yang membuat nalarnya berhenti bekerja sama sekali.

Rin membaringkannya pada meja dapur berbahan pualam yang dingin. Ketika punggung Isagi bersinggungan dengan itu, bulu romanya lantas meremang. Dia mengeratkan genggaman pada bahu Rin, buku-buku jemari memutih ketika menancapkannya dengan kuat pada kulit punggung yang lebih muda.

Kemudian Rin mulai kembali melanjutkan penetrasi — dan seberapa-kalipun dia melakukannya selama bermenit-menit terakhir, Isagi tetap dibuat mabuk kepayang oleh manuver-manuvernya yang berantakan tapi memabukkan itu di saat yang sama. Isagi mendesah, dan mendesah, dan mendesah, sampai dia rasakan tenggorokannya mengering dan suaranya mulai parau. Rin tidak pernah berhenti memasukkan kejantanannya ke dalam liang adiktif yang menerimanya dengan kehangatan yang serupa psikotropika, seolah dia menjadi pecandu dan dia tidak bisa menghentikan diri barang sekalipun. Pinggang ramping Isagi yang putih kini memerah oleh bekas cengkeramannya pada area tersebut, dan itu semakin membuat Rin berada pada titik tertinggi euforia.

Rin meletakkan tungkai kiri Isagi di bahu dan melanjutkan intrusi penisnya, tidak mengenal lelah bahkan ketika keringat sudah membuat rambutnya melekat di pelipis. Isagi menangis, dan menangis, dan menangis — seluruh tubuhnya kepayahan, vaginanya memerah oleh intromisi tak berkesudahan, dan bahkan lidahnya keluar meneteskan liur oleh kenikmatan yang tiada dua.

“Rin, I want — ” Isagi kesusahan dalam formasikan kata-kata, yang keluar dari tenggorokannya tak ubah selaik cicitan tak berdaya. “I want to come, Rin, please —

Then, come.” Rin membalas. Dengan penisnya yang masih berada pada liang yang lebih tua, dia memainkan klitoris bengkak Isagi sampai laki-laki itu kembali menjeritkan suara seraknya. Rangsangan dari pijatan Rin membuat Isagi menggeliat, semakin suseptibel pada setiap gerakan keluar-masuk yang mengoyak vulva berulang kali.

Kuku Isagi mencakar punggung Rin ketika pelepasannya datang, membasuhnya dengan ombak rasa lega berkepanjangan. Cairan vaginanya memuncrat deras, menetes membasahi meja pualam dan jatuh menggenang pada lantai berubin. Isagi merasakan Rin mendekatkan wajah, membenamkan hidungnya pada perpotongan leher yang lebih tua dan mengecupnya di sana.

“Rin — ” Napas Isagi terhela pelan dan putus-putus, “Rin, Rin, Rin.”

Isagi menyebut nama Rin berkali-kali seperti sedang memanjatkan doa.

Rin membubuhi tiap spasi di tubuh Isagi seolah sedang memuja.

Mereka melakukan hal itu berkali-kali dalam kurun waktu yang tidak lagi diingat oleh kepala Isagi yang sudah kehilangan arah tujuan. Dia seperti dalam keadaan disorientasi temporer karena yang dia tahu dan inginkan sekarang hanyalah bagaimana Rin memasukkan kejantanannya lebih dalam lagi dari sebelum-sebelumnya, mencari pelepasan yang nyaris datang dengan dopamin yang hampir meledakkan kewarasan.

Ketika Rin akhirnya mencapai puncak, laki-laki itu menarik belakang kepala Isagi untuk membawanya ke dalam ciuman panjang. Isagi yang sudah kehilangan energi hanya dapat menerima tatkala yang lebih muda mengajak lidahnya untuk beradu; saling berbagi saliva dan rasa. Satu tangan Rin yang lain menarik pinggul Isagi lebih dekat, mencoba untuk memasuki lubangnya lebih dalam lagi sampai Isagi sendiri dapat merasakan tonjolan prominen mulai timbul dengan kentara di permukaan perutnya.

“Gue mau keluar di dalem,” bisik Rin, tubuhnya memanas dan Isagi melenguh. “You’re so beautiful I want to see you filled with my come.”

Alih-alih menjawab, Isagi hanya bisa mengangguk lemah. Rin mengecup bibir dan mengusap punggungnya dengan gestur menenangkan. Detik berikutnya, Isagi bisa rasakan kejantanan Rin membengkak, sebelum cairan ejakulasi mengisi liang vaginanya. Penuh. Isagi merasa penuh dan dia merintih di rengkuhan yang lebih muda.

Cairan mereka berdua saling berbaur menjadi satu, membasahi lantai dan mengotori permukaan kulit dengan warnanya yang malis.

“Mau mandi?” Rin bertanya kemudian. Isagi menjawab dengan parau, “Hu-um.”

Maka, Rin membawa Isagi ke dalam kamar mandi lalu mendudukkannya pada bath tub yang berisi air hangat. Dia mematai bagaimana yang lebih tua tampak terlihat lebih cantik dengan ranum yang bermekaran di lehernya — seolah bicara dengan lantang bahwa itu adalah mahakarya Itoshi Rin seorang.

Rin ikut memasukkan diri ke dalam bath tub, membiarkan punggung kecil Isagi menyandar pada dada bidangnya. Dia mengusap pada surai basah Isagi, membasahi tiap senti kulit yang bisa diraihnya. Ketika Rin bergerak untuk membersihkan bekas pelepasan yang masih terdapat di dalam Isagi, laki-laki yang bersangkutan justru merapatkan kaki. Dia mencoba untuk membuka tungkai Isagi sekali lagi namun laki-laki itu malah bergumam menolak.

Rin merasakan panas mulai menjalar ke daerah selatannya lagi ketika Isagi berkata, “Biarin di dalem.”

Oh.

Oh.

Itu seperti tombol tak kasat mata di dalam Rin mendadak tertekan semena-mena ketika dia berusaha kuat untuk mesupresi dampak yang akan muncul ke permukaan, sehingga hal tersebut membuatnya lantas meledak-ledak dalam hitungan sepersekian sekon.

It’s unfair,” si keturunan Itoshi berbisik tepat di samping telinga yang lebih tua, sebelum akhirnya dengan cekatan membawa laki-laki yang lebih tua keluar dari kamar mandi. “Fuck, sumpah lo nggak adil banget.”

Detik berikutnya, Isagi dapat merasakan punggungnya menyapa ranjang dengan kasar. Dia merasakan tangan besar membalikkan badan dan menekan kepalanya pada bantal, memposisikan pantatnya agar terangkat tinggi-tinggi di udara. Kedua tangan Isagi terkunci di belakang pinggul oleh tangan besar yang mengekang, sementara pahanya dilebarkan dengan paksa. Isagi mencoba untuk menoleh hanya untuk menemukan Rin menatapnya dengan iris dilatasi maksimal — menyorot padanya seolah dia adalah seekor mangsa yang sudah siap untuk disantap kapan saja.

Isagi menjerit ketika telapak tangan Rin menampar pantatnya keras.

“Pelacur,” Rin melontarkan kata seperti sedang meludahkan racun. Dia menampar pantat Isagi sekali, kali ini lebih keras, menyukai bagaimana telapak tangannya tercetak semerah delima pada kulit putih susunya. “What do you want to do with my cum? Lo mau hamil?”

Isagi hanya membalas dengan isakan terputus-putus. Logikanya masih berkabut, dia tidak tahu harus bersikap seperti apa kecuali menerima apapun yang Rin lakukan padanya. Yang dia tahu adalah bahwa semua sentuhan dari laki-laki itu membuatnya melihat bintang-bintang, menghadirkan iluminasi maneka warna yang menyenangkan tiada dua.

“Bilang ke gue, Isagi,” Rin berbisik di belakang telinganya. Tangan laki-laki itu meremas pada mons pubisnya dengan semena-mena dan Isagi merintih kesakitan. “Bilang kalau lo mau hamil.”

Maka, itulah yang dilakukannya.

“Isagi mau — ” Isagi sedikit tersedak isaknya sendiri, terutama ketika klitorisnya lagi-lagi terstimulus dengan gesekan kuat, “Isagi mau hamil — Isagi mau hamil, Rin.”

Pernyataan itu seolah menjadi aba-aba untuk Rin dapat memasukkan kejantanannya untuk kesekian kali pada liang hangat yang sama; seolah menyambut kekasih lama dan memagutnya dalam ciuman basah yang dalam dan panas. Rin menggempur vagina Isagi seperti tiada hari esok, dan Isagi hanya menerima segalanya seolah dia memang dilahirkan untuk itu. Rin menarik tangan Isagi dan membiarkan laki-laki itu seperti tergantung di udara selagi yang lebih muda mengoyak vaginanya dengan lebih kuat, lebih keras, lebih nikmat. Isagi dapat merasakan sperma di dalam tubuhnya menetes keluar oleh dorongan penis Rin yang dengan keras kepala menyeruak masuk, mencabuli untuk kesekian kali lubang sensitif yang sudah memerah karena intromisi membabi buta.

Payudara besar Isagi bergoyang searah dengan ritme pinggul Rin yang menghujam kemaluannya bertubi-tubi. Isagi merintih, “Ah — Rin, pelan-pelan, ngh… ah, ah, ah — ” Tapi Rin tidak mendengar, dia hanya terfokus pada suara dari peraduan kulit mereka yang memenuhi ruangan, menciptakan alunan melodi yang konstan dan memabukkan di saat yang sama.

Bahkan ketika malam sudah menyapa dan larutnya menampakkan permadani gemintang, ketika Isagi sudah tidak lagi bisa menghitung berapa kali dia pingsan dan terbangun masih dengan kondisi yang sama, Itoshi Rin masih tidak menunjukkan tanda untuk berhenti barang sesaat saja. Kendati Isagi sudah bersusah payah untuk bergerak menjauh berkali-kali, Rin dengan cekatan menarik pinggulnya untuk mereka bertemu kembali pada berbagai macam manuver seks yang membuat akal sehatnya terlempar jauh ke alam bawah sadar.

You’re mine,” Rin berujar di bawah napas, berulang kali setiap saat dia mengarahkan tembakan spermanya pada liang terdalam Isagi. “You’re mine.

Dan itu adalah kalimat terakhir yang Isagi dengar sebelum dia menutup mata dan berjumpa dengan kegelapan menenangkan.

Isagi terbangun dengan pengar di kepala.

Dia tidak melupakan semua hal yang terjadi semalam — toh, hal tersebut terlalu membekas untuk dia lupakan begitu saja. Tubuhnya seperti remuk, dia nyaris tidak bisa merasakan keberadaan kakinya.

Laki-laki itu akan beranjak dari kasur jika saja tidak menyadari bahwa terdapat lengan besar yang memeluknya dengan kelewat erat di pinggang. Isagi menghela napas. Dengan perlahan, dia melepaskan rangkulan Rin dan bersiap untuk turun dari ranjang lalu pergi dari sana.

Kecuali, Isagi dapat merasakan sesuatu masih mengganjal pada tubuh bagian bawahnya, membuat dia telak tertahan di tempat.

“Sial,” desisnya ketika mendapati penis Rin masih memenuhi rongga vaginanya. Gila. Ini akan jadi cerita paling sinting karena Isagi sendiri bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana kemaluannya menyimpan kejantanan Itoshi Rin sepanjang malam. Ya, Itoshi Rin yang itu. Isagi menghela napas kasar.

Itu gila — lebih dari sekadar gila, bahkan — dan Isagi tidak bisa tidak menampar pipi sendiri karena sudah bertindak memalukan sepanjang hari kemarin.

Maka, yang dilakukan Isagi selanjutnya adalah melepaskan diri dari kungkungan Itoshi Rin. Dia meringis oleh rasa kosong yang dijumpainya kemudian, tapi Isagi tidak berpikir lebih lanjut dan buru-buru mencari pakaiannya di seluruh penjuru ruangan. Kakinya terasa seperti jeli, beberapa kali dia tertatih-tatih hanya untuk meniti langkah ke setiap ruangan yang dia ingat samar-samar di antara kekabutan memorinya.

Isagi pikir, Itoshi Rin dan staminanya yang sangat menakutkan akan menghantuinya sampai beberapa hari ke depan.

Setelah dia mengenakan pakaiannya, Isagi sesegera mungkin melenggang pergi dari rumah itu. Namun, langkahnya terhenti ketika menemukan sosok tidak familier bersurai cokelat kemerahan yang kini menatapnya dari atas sampai bawah, seolah menilai. Figurnya yang ramping tampak mencolok di antara gradasi kehijauan di pekarangan rumah keluarga Itoshi.

“Oh — ”

Isagi terkesiap. Itu adalah Itoshi Sae, kakak kandung dari Itoshi Rin sendiri. Isagi segera membenarkan hoodienya untuk menutupi bercak kemerahan di leher yang ditinggalkan Rin semalam, sejurus kemudian melemparkan senyuman tipis yang cukup sopan dan membungkuk dalam sebelum kembali melanjutkan misinya untuk segera angkat kaki dari sana.

Isagi menghela napas panjang. Laki-laki itu berharap dia tidak akan pernah kembali ke rumah itu lagi untuk kedua kalinya.

Itoshi Sae dapat dengan jelas melihat bagaimana ruam merah dengan kentara tercetak di sepanjang leher jenjang laki-laki yang ditemuinya di pekarangan rumah.

Dia lalu menatap pada pintu kamar Rin yang masih tertutup rapat.

Laki-laki itu menjilat bibir, gurat senyumnya timpang dan penuh arti.

Interesting.”

_________________________________

--

--

primrose

writing feels like being in a chokehold all the time