potion: the equilibrium of love

primrose
10 min readMay 5, 2023

--

Ada banyak orang di dunia ini yang lebih pantas untuk mendapatkan ketidak-beruntungan sedemikian rupa, dan Michael Kaiser bertanya-tanya mengapa hal itu justru terjadi padanya.

Di antara semua hal, di antara setiap jenis makhluk hidup yang ada di dunia ini, serta di antara segala macam mantra yang dapat diberikan dari otak sempit imbesil penuh omong kosong belaka milik Aiku Oliver, mengapa harus Kaiser yang mendapatkan karma untuk dia menjadi seekor kucing? Jangan salah, Kaiser tidak pernah memiliki rasa tidak suka pada kucing dan berbagai jenis peranakannya─baik kucing domestik, atau kucing ras, atau bahkan kucing hutan. Tentu saja dia tidak membenci mereka. Toh, kakaknya memelihara jaguar di dalam kastil keluarga mereka, dan berulang kali Kaiser terkagum ketika melihat hewan itu kendati dia cuma punya nyali sebesar kacang edamame untuk mengusap belakang telinganya. Nah, berarti dia tidak benci kucing kan? Sedikitnya, tidak sebenci itu.

Begitulah, setidaknya sampai saat ini. Jam ini. Detik ini.

Kaiser menatap nanar pada parasnya di depan cermin kamar. Tidak ada lagi sosok jangkung dengan surai pirang platina dan semburat biru tua di ujungnya. Tidak ada lagi mata sebiru laut yang penuh percaya diri dan rupawan tak tertandingi. Tidak ada lagi senyum timpang karakteristiknya yang dapat membuat semua gadis di Hogwarts memekik kesenangan. Tidak ada lagi kejayaannya sebagai manusia sempurna. Oke, mungkin ini berlebihan, tapi astaga kalau dia diperbolehkan menangis dan menjerit dan mencakar semua wajah orang seantero Hogwarts, maka akan dia lakukan itu sekarang tanpa ragu dan tanpa penyesalan sama sekali.

Yang kini dilihatnya di depan cermin tidak lain merupakan seekor kucing putih, berikut bulunya yang bersih dan mengilat di bawah terpaan matahari. Tidak hanya itu, kucing itu (maksudnya, dia) punya dua telinga lebar dan ekor panjang, yang kini terjuntai lesu di atas karpet hijau asrama Slytherin. Yang paling membuat Kaiser dongkol setengah mati adalah bagaimana tampang kucing di dalam cermin tampak super duper polos─atau, kasarannya sih dungu. Meskipun katanya semakin seekor hewan terlihat bodoh maka semakin lucu pula mereka, Kaiser tetap saja ingin menangis sejadi-jadinya.

Demi Merlin, persetan dengan lucu tidak lucu, dia harus secepatnya kembali menjadi manusia normal bagaimanapun caranya.

Kaiser menatap cerminnya sekali lagi, mencoba untuk menelan lamat-lamat pahit di lidah dengan menyadari bahwa dia sudah menjadi seonggok makhluk berbulu yang gendut dan dungu. Nah, kurang lengkap apa lagi?

Benar. Kurang lengkap apabila tidak menghajar Aiku Oliver bertubi-tubi sampai laki-laki itu bertanggung jawab sepenuhnya terhadap apa yang sudah diperbuatnya. Kalau sudah begini, satu dua bogem mentah tentu saja tidak mungkin cukup.

Kaiser selalu punya daftar terkait hal-hal yang disesalinya dalam hidup. Setiap urutannya tidak pernah berubah; dia kerahkan dedikasi untuk kebencian yang konstan dan konsisten terhadap sesuatu. Kecuali sekarang. Pertanda hari ini, daftar itu ludes habis dan yang menempati posisi pertama tak lain tak bukan adalah Aiku Oliver sendiri.

Jadi, begini urutannya: Yang pertama, menjadi teman Aiku Oliver. Yang kedua, menjadi teman Aiku Oliver. Yang ketiga, menjadi teman Aiku Oliver. Yang keempat, menjadi teman Aiku Oliver. Dan yang kelima, menjadi teman Aiku Oliver dan percaya bahwa dia tidak akan melakukan tindakan super tolol yang dapat membuat Kaiser sendiri dalam posisi paling tidak menyenangkan dan bahkan merugikan sama sekali.

Anak anjing. Kaiser menggerutu dalam hati, berusaha tidak mengeluarkan suara karena yang dapat didengar oleh orang lain hanya bagaimana setiap silabelnya serupa ‘meow, meow, meow’ tak beraturan dan tanpa henti.

Maka, ketika Kaiser melihat pesan Aiku dan bagaimana laki-laki itu berucap bahwa dia mendedikasikan seluruh usaha dan jerih payah untuk membantu Kaiser kembali ke bentuk manusianya, Kaiser hanya mendengus. 90% merasa sangsi, tetapi lagipula siapa lagi yang punya tanggung jawab dan tahu menahu soal mantra laknat ini kecuali laki-laki itu seorang?

Dengan setengah hati, Kaiser akhirnya mulai beranjak dari kamar asrama. Dia berusaha bersikap abai atas bagaimana segalanya tampak lebih besar dan luas dari sudut pandang mata kucingnya, atau bagaimana kini dia harus berjalan dengan empat kaki dan dia tidak merasa aneh dengan itu─seolah memang dia sudah ditakdirkan demikian adanya.

Lagi-lagi, Kaiser berdecak dalam hati.

Awas aja kalau ramuan lo hasil ngasal dari Youtube lagi, Aiku anjing.

Banyak sekali hal yang terjadi di luar dugaan dalam hidup ini. Seperti misalnya, ketika seseorang tiba-tiba memenangkan lotere di suatu hari yang mendung dan suram sekali, di mana bahkan ramalan cuaca sama buruknya dengan ramalan nasib di website terkenal di kalangan remaja berusia belasan. Atau ketika seorang penyihir jenius yang dapat membolak-balikkan dunia sihir justru lahir di antara dua muggle yang bahkan berpikir bahwa semua sihir tidak ubah sebuah mainan anak-anak dan sekadar isapan jempol belaka. Atau mungkin saat seorang murid mendapatkan skor tertinggi di ujian, kendati sebelumnya dia tidak pernah benar-benar serius belajar dan hanya mengandalkan doa dan keberuntungan jalur langit beserta kelapangan hati tiada dua.

Kalau membahas hal demikian, maka seharusnya kejadian di luar dugaan itu adalah hal yang bisa membuat Kaiser mendapatkan keajaiban; misalnya tiba-tiba dia dapat berubah kembali menjadi manusia lagi atau semacamnya.

Tapi ternyata, tidak.

“Kucing?”

Kejadian di luar dugaan yang dia dapatkan justru tidak lain bagaimana Kaiser bertemu dengan seseorang yang paling tidak ingin dia temui sampai berhari-hari ke depan, terutama ketika dia masih terperangkap dalam sosok kucing bodoh yang tidak bisa melakukan apa-apa.

Hah. Kurang malang apa lagi dia?

Detik kemudian, Kaiser tersentak kaget ketika tubuhnya diangkat semena-mena oleh sepasang tangan yang tidak familier. Kaiser mengeong panik, kemudian memberontak untuk melepaskan diri dari genggaman itu, meskipun akhirnya tetap saja berakhir sia-sia.

“Buset galak bener,” ujar sosok itu lagi. Tunggu sebentar, kalau dipikir-pikir, Kaiser tahu suara itu. Lantas, dia menolehkan kepala, untuk kemudian kedua pasang mata mereka saling bersirobok selama beberapa detik lamanya.

Sial. Itu Isagi Yoichi.

Di antara semua orang, kenapa dia harus bertemu dengan Isagi Yoichi? Ya Tuhan.

“Kenapa, Sa?” Suara lain mulai berdatangan. Kali ini, Kaiser mendapati Bachira Meguru tengah menyampirkan lengan pada bahu Isagi. Laki-laki itu kemudian menatapi sosok Kaiser yang masih ada di genggaman temannya itu dengan lamat-lamat. Mata bulat berwarna kuning yang terarah secara spesifik padanya justru membuat Kaiser semakin dongkol untuk beberapa alasan. “Ini kucing lo?” tanyanya.

Isagi lalu mendekap Kaiser di antara lengan, membuat yang bersangkutan kelabakan kendati dia tidak melakukan tindak penolakan apa-apa. “Bukan. Gue liat dari tadi dia mondar-mandir di hall. Bingung gitu keliatannya,” jelas Isagi. Dia mengusapkan tangan pada kepala Kaiser dengan perlahan. Di antara semua hal, Kaiser sedikit banyak terkesiap atas kelembutan gestur laki-laki itu terhadapnya, mengingat sebelum ini pertikaian konyol mereka terkenal paling sengit di antara yang lain. “Kayanya dia tersesat deh,” lanjut Isagi yakin.

“Lo yakin dia bukan kucing Tuan Filch?”

“Bukan lah. Kucingnya kan nggak segendut ini.”

Bangsat. Kaiser meruntuk habis-habisan dalam hati.

“Masa tiba-tiba ada kucing masuk ke sini?” Bachira menggaruk dagu, terlihat berpikir. “Aneh.”

“Mangkanya gue bilang dia tersesat, bego.” Isagi mendengus.

“Lo nggak kepikiran dia mungkin sebenernya jelmaan manusia?”

Gotcha, pikir Kaiser. Pinter lo.

“Ya nggak lah. Lo pikir dia Professor McGonagall?” tanya Isagi sambil memutarkan bola mata. “Lagian gue juga udah hapal sama bentuknya dia waktu transfigurasi.”

“Bilangnya hapal mulu padahal udah berapa kali kegocek,” sindir Bachira, menahan tawa ketika mengingat kejadian bagaimana Isagi berulang kali memungut kucing sembarangan hanya untuk hewan tersebut bertransformasi menjadi salah satu profesor mereka yang paling ketat aturan. Pada akhirnya, mereka selalu terkena dampak pemotongan poin asrama dengan dalih Isagi yang masih tidak dapat mengetahui dan mendeteksi berbagai macam tanda penting dari mantra transfigurasi yang sudah dijelaskan Professor McGonagall kemarin-kemarin.

“Udah anjir jangan dibahas lagi,” Isagi memberengut. “Gue udah tau kok tanda-tanda transfigurasi.”

“Iya deh iya,” Bachira mencibir. Laki-laki itu mendekatkan wajah pada Kaiser, menatap tepat pada kedua bola mata bulat yang balik menatapnya dengan skeptisme. Detik kemudian, Bachira terlihat menahan tawa. “Anjir, jelek banget lagi.”

Kontol. Kaiser mendesis kesal. Kalau saja Isagi tidak mendekapnya dengan lebih erat, laki-laki itu pasti sudah melayangkan cakaran tepat di wajah kurang ajar Bachira sekarang.

“Anjing lo.” Isagi menendang tungkai kawan Gryffindornya kesal. “Diem nggak lo. Dia gemesin tau.”

Kaiser tersenyum timpang dalam hati. Tumben bener.

Bachira mengaduh. Dia menatap pada Kaiser, kemudian ke Isagi, lalu kembali ke Kaiser sekali lagi. Laki-laki itu menatap terlalu lama dan terlampau intens; Kaiser tidak dapat menahan untuk mendesis sekali lagi ke arah laki-laki bermanik kuning cemerlang.

Apa sih liat-liat. Bego.

Dengan itu, Bachira hanya mengedikkan bahu sambil meringis. Kucing putih di pelukan Isagi itu tidak lebih dari seekor kucing liar yang bengis dan mudah marah. Dia berulang kali mengirimkan tatapan tajam dengan gigi taring yang mengintip dari mulutnya yang terbuka untuk menggeram setiap kali Bachira bercakap-cakap terkait banyak hal dengan Isagi. Bahkan ketika dia sekadar melirik pada seonggok makhluk berbulu putih lebat itu, dia sudah mendapatkan desisan tidak menyenangkan darinya.

Bachira menggaruk belakang kepala. Mungkin memang dia bukan seseorang yang menyukai segala bentuk hewan peliharaan (hewan pertama dan terakhir yang dia miliki tidak lain merupakan burung hantu berwarna seputih salju hadiah dari ibunya dua tahun lalu), tetapi dia tidak menyangka bahwa seekor kucing akan berubah menjadi seagresif itu terhadapnya. Barangkali dia memang punya dosa besar terhadap hewan itu di kehidupannya yang dulu, sehingga kucing itu punya dendam personal yang tertanam di dalam lubuk hati terdalam.

Bachira kembali melirik pada kucing putih di pelukan Isagi, hanya untuk menemukan bahwa dia sudah menatapnya lebih dulu dengan mata mengerut sengit.

“Buset,” Bachira berbisik di bawah napas, “kucing garong galak bener babi.”

“Namamu siapa?”

Kaiser mendengus ketika dia sudah menapakkan kaki pada selimut tebal di atas ranjang Isagi. Oke, tidak hanya Isagi memungutnya sembarangan ketika dia sedang dalam perjalanan menuju ke ruangan kosong yang sudah disetujuinya bersama dengan Aiku beberapa saat lalu, tetapi laki-laki itu juga dengan sembarangan membawa Kaiser ke dalam asrama Ravenclaw dan meletakkannya langsung di atas kasur─bukannya Kaiser menolak untuk menikmati ranjang Ravenclaw yang terkenal empuk, tetapi sekarang dia masih punya hal lebih genting dari ini. Kaiser tidak tahu dia harus melakukan apa untuk segera pergi dari sana, mengingat bagaimana bentuk asrama Ravenclaw terlalu kompleks dan dia masih belum terlalu familier untuk mencari jalan tikus agar dapat kabur secepatnya tanpa diketahui siapa-siapa.

“Aku nanya tau,” sungut Isagi sambil menggaruk belakang telinga Kaiser. Dia tersenyum kecil. “Kamu belum punya nama, ya?”

Kalau bisa memutar mata, Kaiser pasti sudah melakukannya sejak awal. Kali ini, dia hanya terduduk dengan patuh di atas kasur, membiarkan tangan Isagi mengusap bulu halusnya berkali-kali dengan penuh kasih sayang. Dia tersenyum miring. Kalau lo tau sebenernya gue musuh lo, gue yakin lo bakalan jantungan, pikirnya diam-diam.

“Aku kasih nama aja deh kalau gitu.” Isagi menawarkan ide. Dia menarik Kaiser dan membawa kucing itu untuk duduk di atas pangkuannya. Kaiser mengeong terkejut. Lain kali, mungkin dia harus mulai membiasakan diri untuk diangkat semena-mena oleh laki-laki Ravenclaw ini.

Gue nggak butuh nama baru anjing, Kaiser membatin, rasa-rasanya ingin segera kembali ke bentuk manusianya tanpa harus melewati kejadian-kejadian tidak menyenangkan seperti sekarang. Aiku bego lo ke mana aja bajingan gue keculik kaya gini kenapa lo nggak nyariin, tolol.

Isagi mengetuk dagunya sendiri dengan gestur berpikir keras. “Apa ya kira-kira nama yang bagus?”

Kaiser ingin sekali menghela napas panjang dan berat. Dia tidak mengerti kenapa Isagi memperlakukannya seperti seorang bayi. Kaiser dengan usia yang sudah menginjak angka duapuluh sekian tahun normalnya pasti akan merasa aneh dan sedikit terganggu. Tetapi lagi, kali ini dia sudah berubah menjadi seekor kucing; yang bukan hanya tidak berdaya, tetapi juga tidak punya kesempatan untuk membuktikan bahwa dia bukan sekadar kucing biasa yang tidak punya kemampuan kognitif dan atentif terhadap sekitar.

“Karena bulumu putih, gimana kalau si Putih?” Isagi berkontemplasi.

“Meow.” Kaiser menggerutu. Nggak kreatif bener.

“Eh? Nggak suka ya?” Isagi memberengut. Kali ini, otaknya diputar dengan lebih keras. “Kalau Salju?”

“Meow.” Jelek.

“Sampo?”

“Meow, meow, meow.” Kalau ngasih nama yang bener bego. Lo ngasih nama kucing lo sebelumnya sabun apa gimana?

“Iya, iya, maaf. Nggak usah marah gitu.” Isagi tertawa kecil, menyukai bagaimana kucing putih di pangkuannya terdengar sangat komunikatif dan… unik? Itu seperti dia bisa memahami apa yang dibicarakan olehnya. Dan untuk beberapa alasan, Isagi juga merasa kucing itu dapat memahaminya dengan intensitas yang sama besar. “Uh,… Snow White?”

“Meow.” Garing.

Lama-lama, Isagi merasa sedikit jengkel. “Apa, sih. Masa kamu nggak setuju sama semuanya?”

“Meow, meow.” Lo cacat kalau ngasih nama.

Kemudian, Isagi terdiam. Dia tampak memikirkan banyak hal, berkontemplasi lebih lama dari yang seharusnya dia lakukan. Kaiser sudah bersiap untuk menunggu nama konyol apa lagi yang bisa keluar dari belah bibir laki-laki itu.

Sampai akhirnya, setelah bermenit-menit berselang, Isagi kembali membuka mulut.

“Kaiser.”

Kaiser berjengit. Tubuhnya terpaku dan dia tidak berusaha untuk membuka mulut dan mengeong dalam bentuk penolakan untuk kesekian kali. Yang ada di pikirannya sekarang adalah; di antara semua hal, kenapa yang keluar dari mulut Isagi Yoichi adalah namanya sendiri? Apa yang mendasari laki-laki itu untuk berpikir demikian? Apa yang membuatnya memutuskan untuk melafalkan nama seseorang yang selalu dia pandang dengan penuh penghakiman setiap mereka saling bertatap tanpa sengaja?

“Gimana kalau Kaiser?” Isagi bertanya, menunggu untuk mendengar bagaimana kucingnya akan kembali mengeong tidak terima atas nama yang keluar dari mulutnya. Tetapi nyatanya, hewan itu tidak bicara apa-apa melainkan terdiam di pangkuan Isagi, seolah dia tidak lagi mendengar dan repot-repot memahami serta merespon setiap pernyatannya.

I take that as an approval, then.” Isagi tertawa kecil, kemudian membawa kucing putih itu kembali ke dekapannya yang erat. “Kalau gitu sekarang namamu Kaiser,” ujarnya ringan, sebelum laki-laki itu memposisikan diri di atas kasur dengan Kaiser yang masih ada di pelukan. “Good night, Kaiser.”

Sementara itu, Kaiser masih berusaha memproses kejadian yang barusaja berlangsung tepat di depan mata. Yang terakhir kali dia ingat, Isagi masih menatapnya dengan mata yang terlampau tajam dan menusuk. Yang terakhir kali dia ingat, Isagi masih menghakimi setiap tabiat buruk yang dilakukan Kaiser bersama gengnya untuk memecahkan suasana kelas yang kelewat tenang. Yang terakhir kali dia ingat, Isagi masih membencinya─barangkali bahkan dua kali lipat lebih ekstra dibandingkan daripada bagaimana Kaiser tidak menyukai laki-laki itu oleh karena berbagai alasan tidak rasional.

Jadi, apa yang sebenarnya terjadi sehingga membuat Isagi menyebutkan namanya tanpa alasan seperti tadi?

Kepala Kaiser masih berkecamuk dengan penuh kuriositas. Namun di saat yang sama, pelukan Isagi malam itu terasa hangat─terlampau hangat─dan dia tidak pernah merasa tenggelam dalam kehangatan seperti ini sebelumnya.

Maka, yang Kaiser lakukan selanjutnya adalah memejamkan mata, kemudian membiarkan napas teratur si surai gelap membawanya ke dalam alam bawah sadar yang secara perlahan mengambil alih kesadaran.

Good night, Yoichi.

_________________________

--

--

primrose
primrose

Written by primrose

writing feels like being in a chokehold all the time

No responses yet