memories of you are so golden (it left me speechless)

primrose
20 min readMar 22, 2023

--

warn: 🔞 explicit content, dirty talk, classroom sex, rimming, cunnilingus, masturbation, sex toys, degradation, dubious consensual sex, love-hate sex, male-turned-to-female mc, boypussy, huge breast, man boobs, mind break, profanities

p.s you’ve been warned.

Nagi Seishiro selalu menyukai ketenangan.

Dia jauh lebih memilih untuk mengurung diri di ruang kelas daripada berdesakan di lapangan untuk menonton pertandingan olahraga yang diadakan tiap akhir semester. Nagi adalah seseorang yang bakal menolak mentah-mentah penawaran sebagai representasi kelas di pertandingan antar sekolah, tapi selalu menjadi salah satu pemain pentolan yang memenangkan perlombaan itu dengan sekadar keberuntungan — atau mungkin, kejeniusan yang memang sudah mengalir beriringan dengan darah di pembuluhnya. Hanya saja, kebanyakan orang memilih untuk mendiskreditkan kemampuan adaptasinya dalam berbagai permainan, melansirkan bahwa hal itu tak lain sebagai kebetulan semata. Di antara itu semua, sesungguhnya Nagi bersikap peduli setan. Tidak ada yang cukup menarik perhatiannya untuk dia menanggalkan ponsel dan menyibukkan diri dengan hal lain selain bermain sepanjang hari.

Kecuali, satu hal.

Dan itu, tidak lain dan tidak bukan, adalah Isagi Yoichi sendiri.

Isagi adalah seseorang yang Nagi pikir berbanding terbalik seratus delapanpuluh derajat dari sifatnya. Laki-laki itu merupakan sosok yang akan kau temukan di setiap penjuru sekolah — sibuk dengan berbagai hal yang membuat pusing kepala, salah satunya menjadi pemain dan bahkan panitia pada lomba di hampir semua cabang olahraga. Nagi selalu merasa mereka terlalu bertolak belakang; dia tidak pernah berpikir untuk masuk ke dalam zona yang dapat membuatnya kerepotan, atau suatu situasi di mana dia terpaksa untuk meninggalkan permainan ponselnya hanya untuk berinteraksi dengan manusia lain yang super duper membosankan.

Maka, ketika class meeting di sekolah mereka sudah berlangsung, menandakan semester akan berganti dan orang-orang mulai berjibaku dengan berbagai properti dan aktivitas di lapangan, yang dilakukan Nagi adalah pergi diam-diam untuk melewatkannya dengan menyembunyikan diri pada suatu tempat di mana semua orang tidak menemukannya. Terdengar menyenangkan, dan tentu tidak merepotkan.

Nagi merasa ide brilian mendadak merangsek masuk kepala tatkala mengingat bahwa terdapat suatu tempat di dalam sekolah yang tidak semua orang mengetahuinya; ruang lawas bekas ekstrakurikuler musik yang ada di lantai tiga. Selain jauh dari peredaran, orang-orang tidak pernah benar-benar menghiraukan eksistensi ruangan tersebut. Lagipula, ekstrakurikuler musik sudah lama tidak menggunakannya, bahkan mungkin yang tertinggal di dalam sana hanyalah tumpukan bangku berdebu dan beberapa partitur menguning dimakan waktu.

Jadi, itu tentu saja merupakan tempat sempurna untuk Nagi Seishiro.

Kakinya melangkah ringan menapaki anak tangga satu persatu, kemudian berjalan mendekat ke ruang kosong yang terbengkalai di ujung lorong. Dia sudah mempersiapkan diri untuk bersantai ria di dalam sana, tidak memedulikan bagaimana riuh-rendah orang-orang di lapangan dapat membuat kepalanya pengar. Lantai tiga sekolah selalu terlampau sepi di saat-saat seperti ini; hal tersebut seolah menyempurnakan kondisi yang diinginkan Nagi selama beberapa jam ke depan.

Atau, itulah yang dia pikirkan sampai Nagi akhirnya mendengar suara seseorang dari dalam ruangan, tepat sedetik sebelum dia memutar kenop pintu. Dia terdiam, meruntuk bagaimana bahkan ruangan kosong itu sudah terisi dengan orang lain lebih cepat. Nagi akan menarik langkah menjauh sampai akhirnya dia menangkap desahan tertahan dari dalam ruangan — begitu lirih namun kuat di saat yang sama. Dia lantas terpaku di tempat.

Ah — “

Nagi mendengar suara tenggorokan tercekat, seolah orang di dalam ruangan itu mencoba untuk mempertahankan pendirian dan menggigit balik erangan. Pada akhirnya, suara yang teredam oleh bibir merapat terbuka, sedikit demi sedikit mengeluarkan suaranya yang membuai seperti alunan musik kaset vinyl arkais.

“Ah, ah, ah! Ungh…

Nagi merasa mulutnya mengering. Suara ini familier — terlalu familier. Dengan gerakan lambat namun pasti, diiringi dengan kehati-hatian yang maksimal, Nagi memutar kenop pintu perlahan dan mendorongnya terbuka. Dia hanya membuka pintu itu sekian senti, cukup untuknya memasukkan lengan dan mengarahkan kamera ponsel untuk menyapu ruangan, mencari di mana sumber dari suara yang menggelitik itu berasal.

Dan Nagi melihatnya.

Dia melihat Isagi Yoichi berada di tengah ruangan. Sendirian.

Laki-laki bersurai gelap itu tidak menghadapkan diri ke arah pintu masuk, jadi yang dapat ditangkap oleh kamera Nagi hanyalah sosoknya dari arah samping. Isagi tampak terduduk di atas meja beralaskan kain merah marun yang tampak baru dan tak berdebu. Daripada terduduk, dia lebih tampak seperti sedang berjongkok di sana. Pahanya dibuka lebar-lebar, pinggulnya bergerak naik turun dengan irama cepat, dan payudara besarnya — oh, Nagi meneguk ludah, besar banget anjing — yang terekspos dan menggantung bebas seolah berusaha keras untuk mengiringi tempo yang sama.

Selama beberapa saat, Nagi menikmati bagaimana dilihatnya Isagi mencari kepuasan sendiri di tengah ruangan — bagaimana dia menggigit baju seragam putih untuk mengekspos daerah dada, membuat kedua payudaranya menggantung liar untuk semua orang dapat menatapinya dengan pandangan buas. Isagi terlihat membusungkan payudara lalu bermain-main dengan puting merahnya, merasa frustrasi oleh gesekan tangan yang tidak cukup untuk memuaskan kedua kuncupnya yang mengeras. Isagi merintih, jemarinya memilin puting dan mengusap areola dengan berantakan sampai kedua buah dadanya semakin membesar dengan menyakitkan.

Nagi mengarahkan kameranya lebih ke bawah, memfokuskan pada pinggul Isagi yang tidak berhenti bergerak mati-matian. Dari arah pandang Nagi, apapun yang dilakukan laki-laki itu pada kemaluannya tidak terlalu terlihat oleh karena halangan dari kedua tungkainya yang melebar sedemikian rupa sampai menutupi visi Nagi dari arah samping. Dia akan berdecak kecewa andaikata Isagi tidak berganti posisi; kini, tubuh laki-laki itu berputar, bagian depan tubuhnya menghadap sepenuhnya pada pintu di mana Nagi bersembunyi di baliknya sekarang. Kedua lengan Isagi menahan di belakang tubuh, mempertahankan kestabilan sudut manuver selagi dia tidak berhenti menggerakkan pinggul penuh makna.

“Ah, ah — ” Isagi semakin melebarkan kaki, kepalanya tertarik ke belakang oleh rasa nikmat yang dirasakannya di dalam kemaluannya selama bermenit-menit terakhir. “Ngh…ah, enak.”

Nagi nyaris kehilangan akal sehat tatkala detik berikutnya dia menemukan sesuatu berwarna merah muda menempel di meja; sesuatu yang berbentuk lonjong dan panjang dan besar. Dia perlu mimicingkan mata beberapa kali untuk mengetahui bahwa itu adalah boneka seks — yang Nagi pikir, di antara semua orang, Isagi merupakan orang terakhir yang akan menggunakannya di tempat umum. Terutama, di sekolah. Astaga.

Dildo itu seolah mencuat dari meja, berdiri dengan tegak dan prominen, dan vagina Isagi melahapnya seperti seseorang yang kelaparan; berkali-kali mengulum tanpa henti sampai bibir labianya memerah dan cairan vaginanya menetes tak beraturan lalu menggenang di atas meja. Suara kecipak keras mulai terdengar jelas kala Isagi mempercepat pergerakan pinggulnya. Nagi memperhatikan bagaimana kemaluan si surai gelap memasukkan dan mengeluarkan dildo dengan begitu cekatan — seolah dia sudah sering melakukannya sebelum ini tanpa jeda. Dia menyorotkan kamera tepat pada vagina rakus Isagi, lalu bergerak ke payudara berikut kedua putingnya yang mengeras dan memerah, kemudian pada wajahnya yang tampak tenggelam dalam kenikmatan tiada tara. Isagi membuka mulutnya lebar-lebar, mengeluarkan desahan-desahan nyaring seolah tidak ada saksi hidup yang mendengar maupun melihat kegiatan masturbasinya di sana. Kedua telapak Isagi lalu bergerak untuk melebarkan selangkangannya sendiri, berusaha untuk memasukkan dildo merah muda secara keseluruhan ke dalam liang hangatnya tanpa tersisa.

“Ngh… Ah — ” Isagi merasa dinding-dinding vaginanya melebar maksimal, kelopaknya semakin merapat oleh pelepasan yang nyaris digapainya. Dia memainkan klitorisnya yang menyembul dari vulva, merasa semakin terangsang dan itu hanya butuh sekian manuver tambahan untuk dia dapat memuncratkan cairan vaginanya untuk kali pertama.

“Udah mau selesai?”

Pertanyaan itu membuat Isagi lantas membuka mata cepat. Otaknya berputar dengan terlampau kencang sampai dia rasakan temporalnya berkedut menyakitkan.

Kepalanya lantas terangkat, dengan mata menyorot ketakutan, dia menurunkan seragamnya sampai menutupi paha kemudian merapatkan kedua kaki. Klitorisnya yang membengkak dan dildo yang masih memenuhi liangnya membuat laki-laki itu merasa kesusahan dan tidak nyaman, tapi sosok familier di depannya terlalu menarik perhatian untuk dia memikirkan hal lain sekarang.

“Lo — “ Isagi menggertakkan gigi. Maniknya menyorot skeptis. “Lo sejak kapan di sini?”

Nagi terkekeh pelan ketika menemukan Isagi yang berperilaku defensif, meniliknya dengan bengis seolah dia tidak barusaja melebarkan kaki dan masturbasi dengan dildo murahan seperti pelacur yang minta digagahi oleh siapa saja. Nagi menutup dan mengunci pintu ruangan di belakangnya dalam satu gerakan, sebelah tangannya yang lain mengangkat ponsel yang tengah menunjukkan sebuah video terbaru di layarnya.

Itu adalah video Isagi sendiri. Ketika Nagi memutarkan klipnya, Isagi dapat melihat dengan sangat jelas wajah dan apa yang dilakukannya saat itu juga.

Isagi menahan murka, dan malu, dan rasa tidak adil di saat yang sama. Dia menatap galak pada Nagi yang terus berjalan mendekat selagi tangannya masih menunjukkan klip Isagi masturbasi dengan cara paling binal yang pernah dia tahu. Ketika mereka sudah saling berhadapan, Isagi membuang muka.

“Apa mau lo?” tanya si surai gelap sinis.

“Menurut lo apa?” tanya Nagi balik, menyukai bagaimana kulit Isagi semakin memerah di bawah tatapannya. Nagi menggerakkan jemari di atas paha Isagi, mengusap dengan penuh arti pada area yang terekspos ke udara. Dia menatap pada seragam si surai jelaga yang berantakan. Warna kainnya yang putih tampak begitu kontras dengan warna merah putingnya yang kini mencuat tanpa malu dari balik fabrik, seolah minta untuk dikeluarkan dari sana lalu dijamah dengan kasar dan vulgar.

Maka, itulah yang dilakukan Nagi.

Dia mencubit puting Isagi dari balik seragamnya, meremas kedua bongkahan yang menonjol dengan kedua telapak tangan secara kurang ajar. Isagi merasa dilecehkan, tapi dia tidak melakukan apa-apa kecuali memejamkan mata dan merasakan bagaimana payudaranya dimainkan secara sembrono dengan kedua tangan besar yang mampu membuat pening kepala.

Napas Isagi terputus-putus ketika dia sekuat tenaga membuka suara, “Lo mau apa, brengsek?”

Nagi bersenandung. Jemarinya membuka beberapa kancing atas seragam Isagi dan memasukkan tangannya ke dalam — merasakan kelembutan yang ditawarkan oleh buah dada besar yang masih menegang dengan menyedihkan. “Kira-kira apa yang gue mau?” Dia memijat perlahan payudara si manik kebiruan, menemukan bagaimana fitur wajah laki-laki itu melembut oleh rasa nikmat yang membuai kegelisahannya. Dengan satu tarikan kasar, Nagi mengoyak kemeja Isagi dan membiarkan kancingnya terlepas dan berserakan di lantai ruangan. “Just guess.”

Isagi mendesah patetis. “I don’t know.”

Nagi tersenyum miring. Kini tangannya bergerak ke bawah, mulai mengukir peta sepanjang paha Isagi lalu mendarat pada area paling sensitif yang sudah terlampau merah dan basah. Ujung jari telunjuk Nagi mengusap pada labianya, memicu stimulus tak tertahankan yang membasuh presensi Isagi sampai dia tertinggal dalam keadaan merintih pilu. Jemari lelaki bersurai putih keabuan bergerak semakin ke bawah, mencari-cari letak pangkal dildo yang tertimbun pada liang hangat yang menganga, kemudian ikut memasukkan diri ke dalam lubang tersebut tanpa permisi.

Ah!” Tangan Isagi lantas bergerak mencengkeram bisep Nagi, menancapkan buku-buku jemari dengan kuat sampai ronanya memutih.

I want to see you fuck yourself with this,” tukas Nagi tanpa empati, bersikap abai bahkan ketika dilihatnya vagina Isagi sudah sewarna skarlatina dan klitorisnya terlampau besar dan bengkak, menyembul malu-malu di antara bibir yang berusaha mengakomodasi intrusi benda asing yang sudah masuk ke kedalamannya berulang kali. Nagi lalu melepaskan dasi dari leher kemudian mengikat kedua tangan Isagi erat di belakang tubuh laki-laki itu, membuat si pemilik netra sewarna laut mengerutkan dahi penuh sangsi. “And you aren’t allowed to touch yourself. You just have to fuck yourself stupid like a slut begging for cocks all the time.”

Kendati pipinya merona oleh kata-kata mendegradasi dari Nagi Seishiro, Isagi tetap merasa tidak adil. Pelepasannya tidak akan terjadi apabila tidak ada yang menyentuhnya ketika itu. “Nggak,” tukasnya mentah-mentah, “this is nonsense.

Lalu, Nagi mengangkat ponselnya tepat di muka si surai gelap. Layarnya menunjukkan dengan jelas bahwa Isagi tidak dalam kondisi yang membuatnya bisa berontak. Terutama, untuk saat ini.

“Anjing.” Isagi mendesis, matanya menyalak marah pada figur Nagi yang kini sudah memposisikan diri tepat di seberang bangku Isagi, selayaknya penonton yang tidak sabar untuk menantikan skenario di atas panggung. “Lo brengsek banget.”

Nagi menyandarkan punggung pada kursi, lengannya terlipat di depan dada, dan senyumnya merekah tanpa beban. Dia tertawa kecil. “Gue tau,” sahutnya ringan. Ujung sneakers laki-laki itu diketukkan berkali-kali pada lantai. Alisnya yang panjang menukik dengan cara yang menuntut. “So? What’re you waiting for? Kalau lo ngebosenin, gue bakal beneran nyebarin video lo ke forum sekolah.”

Kedua manik yang mengerjap malas bersirobok dengan kedua netra yang menyipit penuh rasa murka. Nagi diam-diam menghidupkan kameranya, menyorot tepat ke sosok Isagi yang masih tersenggal dengan berang. Dia menjilat bibir, menyukai bagaimana kulit putih Isagi yang terbanjiri peluh terekspos untuk matanya dapat menjamah dengan leluasa.

Promise me,” Isagi bicara selagi kakinya yang merapat mulai terbuka, dan Nagi dapat melihat bagaimana dildo seolah tertanam di dalam vaginanya yang menganga rakus. “Janji lo nggak bakal sebar videonya ke siapapun atau ke manapun setelah semua ini selesai.”

Nagi tidak butuh waktu lama untuk menjawab, “Deal.”

Jadi, yang perlu dilakukan Isagi sekarang adalah melakukan apa yang Nagi Seishiro inginkan; kembali bermain dengan dildo yang sudah setengah jam terkulum di dalam liang senggamanya. Dari semua hal, Isagi tidak mengerti mengapa dia melakukan ini sejak awal. Semua ini bermula dari belasan bingkisan yang tiba-tiba tergeletak di depan pekarangan rumahnya dengan pengirim yang masih tidak diketahui Isagi sampai sekarang. Bingkisan terkutuk yang mampu membuat kepalanya menggila. Karena sebelum dia sendiri menyadari, suatu hari, dia sudah menggunakan berbagai macam boneka seks dan memakainya satu persatu di setiap sudut di dalam rumah.

Ini mungkin karena otaknya mulai melakukan elevasi sekian derajat, atau barangkali (sederhananya) dia mulai sinting, atau karena daerah selatannya semakin sensitif dari hari ke hari — seolah meminta untuk dipenuhi oleh sesuatu yang Isagi selalu pikir menjijikkan. Akumulasi masalah itulah yang membuat segalanya menjadi lebih sulit. Maka, nyaris setiap malam, Isagi akan bermain dengan boneka-bonekanya; mencari titik-titik paling nikmat seperti sedang melakukan eksplorasi serta pemecahan masalah yang membuat kepalanya terpreokupasi selama seharian penuh. Orangtuanya yang sering bekerja di luar negeri tidak membantu — hal itu hanya membuat Isagi semakin leluasa untuk melakukan aktivitasnya di berbagai tempat.

Dan ketika intrusi dari pikiran gilanya menusuk ke serebrum, seolah berbisik dengan sangat komunikatif dan persuasif, Isagi mulai dengan berani berpikir untuk bermain-main dengan dirinya sendiri di lingkungan sekolah — berpikir bahwa tidak akan ada yang menemukan laki-laki itu melakukan hal tidak etis selama dia menemukan tempat terpencil di mana semua orang tidak bisa menemukannya.

Tapi, Nagi Seishiro menemukan Isagi.

Dan Isagi tidak pernah semenyesal ini sebelumnya.

“Ah — ” Isagi merintih ketika dia mencoba untuk mengeluarkan dildo dari vagina, kemudian bergerak untuk memasukkannya kembali dalam satu hentakan kuat. Dia pikir ini akan lebih mudah karena dia sudah memainkan diri selama beberapa menit terakhir, tapi ternyata tidak. Itu seperti vaginanya melakukan pengaturan ulang dan kembali melakukan penyempitan, sehingga Isagi dapat merasakan bagaimana boneka berbentuk penis itu mengoyak kembali bagian terdalamnya.

“Kalau lo lama — ” suara Nagi kembali menginterupsi. Matanya menilik seolah merendahkan pada Isagi yang merintih dengan menyedihkan di atas meja. “ — gue bakalan tetep nyebarin video lo.”

Anjing. Isagi ingin berteriak, tapi dia tidak melakukannya. Alih-alih, dia justru kembali menggoyangkan pinggul. Air mata berkumpul di sudut matanya. Perpaduan antara udara dalam ruangan dan tatapan Nagi yang menyorot padanya dengan buas membuat kulitnya menggatal. Dildo dalam vaginanya mengoyak lebih dalam, terasa nikmat dan perih di saat yang sama. Tapi, semua itu tidak cukup. “Mmh, ah,” desis Isagi pelan, membusurkan punggung dan mencari sudut yang pas agar dildonya mencumbu klitorisnya kuat. Tapi, itu tetap tidak cukup. Dia butuh sesuatu lebih kuat, lebih kasar, serta lebih nikmat untuk mencabuli lubangnya. Putingnya yang terjilat oleh udara mengeras dan dia nyaris frustrasi karena tidak dapat memainkan mereka seperti biasa.

“Lebih cepet,” tuntut Nagi. Dia menyilangkan kaki, matanya terlihat bosan. “Cuma segitu doang kemampuan lo?”

Isagi sudah hampir terisak oleh stimulan yang setengah-setengah, dan Nagi membuat segalanya semakin sulit. Dia bertingkah seolah payudara Isagi membengkak untuk tidak diremas, putingnya memerah untuk tidak dihisap, klitorisnya mengeras untuk tidak dimainkan, dan lubangnya menganga lebar untuk tidak dimasukkan berkali-kali dengan tempo tidak beraturan.

Dengan sekuat tenaga, Isagi membawa diri untuk mencabuli vaginanya dengan gerakan-gerakan berantakan pada dildo yang masih menegak di atas meja, seperti tengah menyambut perempuannya dengan hati membengkak oleh afeksi. “Ngh… ah, ah, sakit — ” Dia merintih, dan merintih, dan merintih. Labiumnya terbuka lebar, desahan mengalun dari tenggorokan yang tercekat. “Nagi, please — ini sakit banget. Mau dipegang, Nagi, please please please — ” Isagi terus memohon selagi panggulnya tak berhenti bergerak. Beberapa kali dia merasa akan melakukan pelepasan, tetapi stimulasi pada dinding vaginanya tidak cukup kuat untuk dia memuncratkan cairan. Hal itu membuat kepalanya semakin berputar dengan tidak waras.

Yang diinginkannya sekarang adalah penis Nagi untuk menghujamnya dengan kasar dan tanpa aba-aba.

“Sakit di bagian mana?” Nagi bertanya. Kameranya menyorot tepat pada vagina Isagi yang melahap rakus dildo merah muda, memperhatikan bagaimana dinding-dinding vagina laki-laki itu melebar secara elastis untuk memasukkan benda asing berukuran besar tersebut sampai titik terdalam.

“Tolong, Nagi — nghh…” Isagi menangis. “Klitoris Isagi — mau dimainin, please.”

Nagi berpura-pura seolah dia sedang mempertimbangkan pilihannya. “Putingnya gimana?”

“Payudara Isagi juga — ” Desahannya terputus-putus, napasnya tersenggal, keringat membasuh pada pelipisnya dan meluncur turun membasahi kemeja. “Puting Isagi juga mau dimainin, mau dihisap, mau dijilat — Please, Nagi.” Isagi merengek seperti bayi. “Isagi mau dicabuli.”

Perkataan kotor Isagi membuat penis Nagi mulai menegang. Dia tertawa kecil, merasa tidak percaya bahwa sosok Isagi Yoichi dapat menjadi semenyedihkan ini; menangis seperti anak kecil, tapi di saat yang sama mendesah seperti pelacur rumah bordil. Nagi selanjutnya mulai mendekat pada sosok di tengah ruangan, meninggalkan ponselnya sembarangan dan memperhatikan dengan seksama bagaimana Isagi menatapnya dengan penuh harap selagi pinggulnya tidak berhenti bergerak.

You’re so pathetic.” Nagi bicara sambil mengusap pada pipi Isagi perlahan, dan yang bersangkutan menyandarkan diri pada sentuhan ringan itu. Ada sesuatu di dalam diri Nagi yang berdesir. Seberapa banyak perlakuan tidak senonoh Isagi yang dilihatnya sedari tadi, tapi Nagi rasa laki-laki itu masih memiliki aura polos yang berpendar dari kedua bola matanya yang besar. “But you look so endearing at the same time. It’s kind of unfair, don’t you think?

Lalu, tangan besar Nagi mendorong bahu Isagi sampai punggung laki-laki itu menyentuh meja. Dengan buru-buru, Nagi menarik keluar dildo yang masih terbenam di dalam vagina si surai gelap, membuat yang bersangkutan menggelinjang dan memekik keras. Kedua tungkai Isagi kemudian diletakkan pada masing-masing dari bahu lebar Nagi. Mengingat figur laki-laki itu yang lebih tinggi daripada remaja pada umumnya, tubuh Isagi setengah terangkat untuk vaginya berada sejajar dengan penis Nagi yang menegang tak kalah buas dari tatapannya sepuluh menit terakhir.

Isagi menanti untuk Nagi segera membuka resleting celana dan mengeluarkan kejantanannya yang mengeras agar segera menggempurnya sampai dia hilang akal, tetapi yang dilakukan si surai putih keabuan justru berkebalikan dari yang Isagi prediksi. Nagi malah menekukkan kaki, fasialnya kini selevel dengan selangkangan Isagi yang basah dan terbuka, menampilkan semua hal yang selalu ingin dia lihat sejak lama sekali.

Isagi mengerjapkan mata. “Apa — ”

Sebelum dia sempat menyelesaikan pertanyaan, Nagi sudah membenamkan wajah pada selangkangannya dan menjilat tepat pada klitoris yang mengeras. Hal itu membuat Isagi tercekat, stimulasi berlebih yang dikerahkan oleh laki-laki itu dalam satu waktu membuat setiap spasi dalam tubuhnya meremang. “Ngh!” desahnya kemudian.

Nagi, seperti seseorang yang sudah lama tidak mengecap hidangan nikmat, semakin memainkan lidahnya dengan cepat, mengeksplorasi berbagai sisi dan menggelitik dinding-dinding Isagi yang sensitif. Hidung bangirnya beberapa kali menggesek klitoris Isagi tanpa sengaja, membuat yang bersangkutan semakin menggila. “Ah, ah, ah!” Kakinya bergetar hebat. “Nagi, Nagi, Nagi — ”

Sebutan namanya seolah menjadi penyulut dopamin dalam tubuh Nagi, memicunya untuk semakin menjilat pada berbagai sisi yang belum terjamah. Dia menggigit pada bibir vagina Isagi keras, kemudian memasukkan lidahnya pada lubang senggamanya secara bertubi-tubi. Dia mencecap rasa lubrikasi vagina di lidah, rasanya tajam dan memabukkan, dan hal itu semakin memprovokasi Nagi untuk bertindak lebih dan lebih dan lebih.

“Ngh.. ah, no…” Isagi merasa seolah dia sedang dimabuk ekstasi. Matanya berkunang-kunang, merasa terlampau nikmat oleh bagaimana Nagi mencabuli vaginanya dengan lidahnya yang hangat dan lunak. Isagi nyaris kehilangan akal tatkala lingua Nagi menjilat-jilat seluruh bagian vagina, bahkan menggigit kuat pada klitorisnya tanpa ampun, serta meneguk cairan lubrikasi seperti sedang menenggak wiski. “Nagi… ah, ah, it’s dirty…

Isagi akan bergerak mencengkeram rambut bersurai putih keabuan jika dia tidak ingat bahwa kedua tangannya masih terkungkung oleh dasi. Dia mengerang, mencoba untuk melepaskan diri sekuat tenaga, kendati tidak ada yang terjadi dan tangannya masih terkunci pada ikatan tanpa celah yang telah dikaitkan secara seksama oleh Nagi. “Nagi, lepasin Isagi,” kata si surai gelap. Kepalanya tertarik ke belakang oleh nikmat yang dikerahkan oleh lidah Nagi pada daerah selatannya. “Tangan… tangan sakit.”

Tapi Nagi tidak menjawab, dia hanya membalas dengan menggigit kuncup keras Isagi sekali lagi, dan yang bersangkutan menjerit keenakan. “Diem,” titahnya. “Gue bakal lepasin kalau gue udah puas.”

Isagi merintih. “Sampai — Sampai kapan biar Nagi puas?” Dia bertanya di antara napas yang terputus-putus.

Nagi menggigit paha dalam Isagi, menciptakan merah dan bekas gigitan yang kentara pada kulit seputih susu. “Sampai lo gila.”

Dan Isagi menggila.

Dia merasakan sekali lagi bagaimana lidah Nagi menginvasi lubang senggamanya berkali-kali, seolah tempat itu merupakan tempat paling nikmat sedunia. Paha Isagi bergetar, menahan pada sisi kepala si surai putih keabuan, tidak tahu harus mendorong atau semakin menarik laki-laki itu lebih dalam ke liang hangatnya. Isagi sudah kehilangan akal sehat dan Nagi tidak menunjukkan tanda untuk berhenti.

Sampai akhirnya Isagi dapat merasakan bagaimana tubuhnya bergetar, bagian bawah perutnya menghangat. Dia sudah mencapai titik orgasme, tinggal tunggu waktu sampai dia memuncratkan pelepasannya.

“Nagi, Nagi, please.” Isagi merintih, tubuhnya menggelinjang. “Isagi mau keluar — please, Nagi.”

“Keluarin aja,” kata Nagi ringan. Mulutnya masih menjilat pada bibir vagina Isagi seperti sedang mencumbu mesra. “I want to drink it all.”

Dengan itu, punggung Isagi membusur ketika dirasakannya dia mulai merangkak mendekati pelepasan yang hebat. Pinggulnya bergerak, seolah meminta untuk Nagi menggelitik liangnya lebih dalam lagi. “Ah, ah, ngh — Nagi…” Isagi merapatkan paha pada sisi si surai putih kelabu tatkala cairan vaginanya memuncrat deras. Liang senggamanya berkedut, terlalu sensitif untuk diprovokasi, tetapi Nagi tidak berhenti menjilatkan lidah pada setiap lekuk vaginanya, mengecap likuid lubrikasi yang tidak berhenti keluar oleh intrusi berlebih.

Mata Isagi mengerjap sayu ketika dilihatnya Nagi mengusap sisa cairan yang mengotori dagu. Tubuhnya melemas akibat dari pelepasan hebat tadi, sehingga dia tidak lakukan apapun saat Nagi mulai melepaskan ikatan pada tangannya lalu membawa laki-laki itu ke arah jendela.

Nagi memposisikan diri di belakang Isagi, tubuhnya yang menjulang kemudian mengangkat tubuh telanjang bulat si surai kelam, membuat setengah tubuh yang bersangkutan menempel pada kaca transparan. Isagi mengeratkan genggaman pada kusen jendela, merasa putingnya semakin mengeras tatkala bersinggungan dengan kasar pada gelas kaca. Nagi terlalu tinggi, sehingga ketika dia merengkuhnya, kedua kaki Isagi tidak lagi menempel pada lantai. Dia merasa tidak bisa menopangkan diri pada apa-apa saat itu juga. Alih-alih membiarkan ujung kakinya menapak pada lantai, kedua pahanya justru digenggam erat oleh kedua tangan besar, sembari dilebarkan sedemikian rupa untuk mempermudah akses penetrasi. Isagi tidak punya pertahanan apa-apa kecuali dari kedua tangannya yang mengerat pada kusen jendela dan cengkeram Nagi Seishiro pada pahanya yang kelewat kuat.

“Nagi — ” Isagi merasa terkejut ketika detik selanjutnya dia mulai menyadari bahwa posisinya kini mengarah langsung pada lapangan sekolah yang ramai. Mereka semua masih sibuk dengan perlombaan yang sedang berlangsung, tetapi itu tidak mungkin beberapa mata tidak menangkapnya sedang melakukan tindak senonoh di ruangan. “Anjing, ini sinting banget,” serunya, panik.

Nagi terdengar membuka resletingnya dengan buru-buru. “Kenapa? Lo nggak suka?”

“Semua orang bisa liat gue.” Isagi menekankan, buku jemarinya memutih oleh cengkeraman kuat pada kusen jendela. “Gue nggak mau.”

Tanpa empati, Nagi semakin mendorong tubuh Isagi, membuat tubuh laki-laki itu semakin tertekan pada jendela. Yang bersangkutan meringis, merasakan payudaranya semakin menempel intens pada gelas kaca transparan dan membayangkan bagaimana ratusan orang di lapangan dapat melihat putingnya yang memerah dengan jelas. Isagi benci ide itu, tetapi vaginanya menegang dengan binal, dan Nagi lebih dari tahu tentang hal-hal yang membuat Isagi kelimpungan dalam gairah maksimal.

“Lo kan suka diliatin orang,” kata Nagi ringan. Detik berikutnya, Isagi merasakan kepala penis lelaki itu mulai mengecup pada klitorisnya, memberikan rangsangan yang membuat dahi Isagi mengerut penuh konsentrasi. Nagi mengecup pada punggung Isagi dan laki-laki itu meremang. “Gue tau lo makin nafsu waktu ada orang lain yang ngeliatin pas lo dicabulin.”

“Nagi!” Isagi menjerit ketika detik berikutnya kejantanan Nagi menginvasi liangnya tanpa permisi. Dildo yang sudah mengoyak vaginanya tidak cukup besar untuk membuat lubangnya mempersiapkan diri oleh intrusi dari milik Nagi yang kelewat besar, kelewat panas, kelewat nikmat. “Nagi, please stop, banyak orang — ah!

Sosok yang lebih tinggi seolah mendadak tuli. Dia lantas menghentak keras pada liang Isagi, membenamkan kejantanannya sampai titik terdalam yang bisa diraihnya. Isagi menjerit, napasnya terputus-putus dan mengembun pada kaca transparan. Nagi menggertakkan gigi ketika dirasanya vagina Isagi merapat malu-malu, sehingga yang dilakukan laki-laki itu adalah menggempur liang itu berkali-kali — sebanyak mungkin sampai Isagi tidak bisa rasakan apapun kecuali bagaimana fornixnya terhujam dengan brutal dan nikmat.

“Isagi, lubang lo sempit banget.” Nagi terus menggerakkan pinggulnya tanpa ampun. “Vagina lo udah dipake berapa kali tapi masih aja sempit,” desisnya di bawah napas. Dia melihat bagaimana tubuh Isagi terdorong berkali-kali sesuai dengan ritme gerakannya, membuat setengah badan laki-laki itu tergesek sedemikian rupa pada kaca jendela transparan. “Just look at how your cunt devouring my dick deliciously.” Nagi menjilat bibir. “Enak, kan? Isagi, bilang kalau ini enak.”

Kepala Isagi seolah berputar tanpa arah, mulutnya yang terbuka cuma bisa mengeluarkan desahan-desahan tanpa henti. “Ah, ah — yes, enak banget. Nagi, more... ah, please.”

Nagi tersenyum miring.

Adrenalin seolah memompa kepalanya dengan cepat ketika Nagi berpikir bahwa semua orang di lapangan bisa melihat bagaimana payudara besar Isagi tampak dengan jelas dari luar, bagaimana wajah laki-laki itu mengerut penuh gairah dengan air liur yang menetes dari mulutnya yang tak berhenti mendesah. “Fuck. You’re so fucking sexy.”

Isagi tidak membalas dengan apapun kecuali desahan beruntun. Putingnya yang terbengkalai sedari tadi mengeras dan bersinggungan dengan kasar pada kaca dingin yang menstimulasinya tanpa henti. Posisi mereka membuat pinggulnya kebas, pahanya mulai terasa menyakitkan di bawah cengkeraman kuat figur yang lebih tinggi. Dia merasa seperti sebuah boneka seks yang dipakai terus-menerus tanpa jeda dan tanpa istirahat. Vaginanya terasa perih, tapi di saat yang sama tetap dalam keadaan basah yang membuat penis Nagi dapat dengan mudah melakukan penetrasi berkali-kali.

Ah!” Isagi memekik ketika dirasanya jemari Nagi bermain dengan klitorisnya, mencubit dengan tempo cepat. Isagi meringis, dia menolehkan kepala hanya untuk mendapatkan wajah Nagi yang terhias libido mulai mendekat. “Nagi, ungh — ”

Bibir mereka bertemu dalam satu ciuman panjang. Nagi menekankan tubuh Isagi ke kaca jendela, semakin melebarkan pahanya untuk memperdalam ciuman penisnya pada vagina yang terbuka, dan dengan berantakan melakukan silat lidah secara literal bersama lingua Isagi yang tunduk pada dominasinya. Isagi bahkan sampai tidak menyadari bagaimana kini posisi mereka berdua berpotensi untuk orang di lapangan melihat dengan jelas aktivitas tidak etis yang tengah mereka lakukan sekarang, atau bagaimana dia terlalu terbiasa menerima dan terus menerima sehingga yang bisa dia lakukan hanyalah membiarkan penis Nagi mengoyak kemaluannya semena-mena.

Kemudian, Nagi melihat betapa sinar mentari menyorot pada ruangan yang mereka tempati sekarang. Yang dia temukan selanjutnya adalah Isagi dengan manik sayu yang terbasuh oleh pendar keemasan, figurnya yang mungil dan berkeringat seolah mengilat oleh warna-warni hangat. Cantik, pikirnya. Isagi tampak indah dengan keadaannya saat ini — hal itu membuat Nagi mendadak lupa cara bernapas dan formasikan kata-kata masuk akal.

“Lo cantik banget,” gumamnya pada kulit si pemilik netra biru. Nagi terus menghentakkan kejantanannya pada Isagi, selagi bibirnya tidak berhenti menandai pada kulit seputih susu. Isagi terisak ketika titik paling sensitifnya tersentuh, dan dengan penuh perhatian, Nagi mengarahkan gerakannya pada satu tempat yang sama.

“Ah, ah, ah! Nagi, ngh…” Isagi tidak bisa tidak menangis oleh stimulasi berlebih. Dia memiringkan kepala, dan seolah memahami, Nagi lantas mencumbu kembali bibir mungil Isagi. Kedua lengan laki-laki yang lebih kecil bergerak ke belakang, mengalung pada leher si surai putih keabu-abuan. Nagi merasa orgasmenya semakin mendekat, untuk itu dia semakin mengeratkan cengkeraman pada paha Isagi; mencipta rona kemerahan untuk dia harap tidak menghilang selama yang itu bisa lakukan. Desahan Isagi semakin keras dan tak beraturan, Nagi mengunci mulutnya dan menghirup suara-suara itu ke dalam tenggorokan.

Nagi tidak memberi aba-aba apapun ketika akhirnya ejakulasinya memenuhi liang hangat Isagi, begitu dalam dan penuh. Isagi seolah tersedak oleh seberapa banyak cairan yang dikeluarkan oleh laki-laki itu. Beberapa likuidnya menetes dari liang vagina, mengotori lantai berubin yang sedari tadi menjadi saksi bisu seks hebat tak berakal yang dilakukan mereka selama beberapa menit terakhir.

“Penuh, ya?” tanya Nagi kemudian. Dia melepaskan cengkeramannya dari Isagi, membuat yang bersangkutan akhirnya dapat menapakkan diri pada lantai. Tapi Isagi tidak cukup kuat untuk menopang dirinya sendiri, sehingga tubuhnya terjatuh ke dalam rengkuhan sosok yang lebih tinggi. Nagi tersenyum miring, kemudian membawa tubuh lunglai laki-laki itu kembali ke meja dengan kain merah marun.

Isagi tergeletak tak berdaya di atas meja; tubuh telanjangnya telentang, putingnya masih memerah dan mengeras, pahanya terbuka lebar seolah menunjukkan pada Nagi mahakarya yang dia buat di dalam vagina si surai kelam. Dia menjilat bibir, tangan besarnya mengocok pada penisnya yang masih menegak.

Isagi, dengan separuh kekuatannya yang tersisa, mencicit, “Lo… lo mau ngapain?”

Lalu, Nagi meletakkan kedua tungkai Isagi pada masing-masing dari bahunya, membuat laki-laki itu seolah mempresentasikan diri untuk Nagi dan Nagi seorang. Isagi merintih, tetapi vaginanya berkedut sekali lagi, seolah meminta untuk dibuahi berkali-kali.

Nagi tersenyum ketika melihatnya.

Wanna go for another round?

Isagi merasa tubuhnya mati rasa. Dia tidak bisa menghitung sudah berapa jam Nagi merangsek masuk ke dalam vaginanya lalu membuat laki-laki itu pusing bukan kepalang oleh manuver-manuver seksnya yang bervariasi dan tanpa ampun. Dengan tubuhnya yang jauh lebih tinggi, Isagi tidak bisa menepisnya menjauh tiap kali Nagi membawanya berkeliling ruangan, menggempurnya di setiap sudut temaram seperti yang bisa dia pikirkan hanya untuk menghamili figur yang lebih mungil dengan cepat.

Itu adalah ronde kesekian ketika Nagi akhirnya mengeluarkan penisnya dari kemaluan Isagi, terlihat puas dengan bagaimana lubang vagina itu menganga dan menyimpan spermanya dalam-dalam. Dia mengecup pada pelipis Isagi. “You look beautiful,” katanya, bersungguh-sunggguh. Isagi hanya bisa bergumam lemah.

Nagi menarik Isagi untuk terduduk di meja. Dengan perlahan, dia memakaikan baju Isagi yang berceceran di lantai. Nagi mengerutkan dahi ketika melihat korset tergeletak tidak jauh dari tempatnya berdiri. “Lo harus berhenti pake korset,” dia berucap, “payudara lo bisa sakit.”

“Hm,” sahut Isagi setengah-setengah.

“Nanti gue beliin.”

“Apanya?”

“Bra.” Nagi berucap seolah hal itu adalah hal paling masuk akal sedunia. “Apa lagi?”

“Nggak mau.” Isagi mendengus. Tangannya terangkat lemah ketika Nagi membantunya mengenakan kemeja. “Nagi, ambilin korset gue.”

“Nggak.” Nagi menolak tegas. “Gue bilang itu nggak sehat buat lo. Bentar lagi gue ambilin jaket dari kelas. Lo tetep di sini.”

Si pemilik netra biru laut menghela napas panjang. “Ambilin tisu juga, tolong.”

Nagi kembali membubuhi ciuman ringan pada dahi Isagi. “Oke. Tunggu di sini.”

Setelah dia membenarkan pakaiannya, Nagi segera beranjak dari ruangan itu. Dia membuka pintu untuk melangkah keluar lalu menutupnya kembali dengan rapat. Sebelum Nagi berjalan pergi, dia menemukan seseorang dengan wajah datar tengah melipat lengan di depan dada. Laki-laki itu berdiri tidak jauh dari ruangan yang digunakan Nagi beberapa saat lalu. Matanya menyorot penuh penghakiman, kerutan di dahinya mulai bermunculan.

Nagi menaikkan sebelah alis. Dia tahu laki-laki itu.

Dengan senyum miring, Nagi terkekeh pelan.

So, you’ve been here all this time, huh?

_________________________

--

--

primrose
primrose

Written by primrose

writing feels like being in a chokehold all the time

No responses yet