deep blue but you painted me golden

primrose
14 min readMay 11, 2023

--

Ada banyak hal baru yang Kaiser ketahui tentang Isagi Yoichi.

Pertama, laki-laki itu sangat suka warna biru. Ini mungkin ada hubungannya dengan estetika asrama Ravenclaw sendiri─atau mungkin tidak, toh dia masuk ke sana bukan berdasarkan warna kesukaan atau semacamnya (kecuali, memang Sorting Hat berkehendak untuk bertanya pertanyaan demikian). Ketika Kaiser bilang Isagi suka warna biru, maka dia tidak sedikitpun berdusta saat berkata bahwa semua yang berkaitan dengan Isagi Yoichi berwarna serupa, yakni berbagai macam warna biru beserta setiap gradasi semburatnya. Mulai dari warna biru langit sampai biru lautan, dari warna biru iris mata sampai biru lebam luka, dari warna biru sianosis sampai biru pakaian favorit Isagi yang nyaris terdistorsi menjadi warna kelabu. Kaiser sedikit harap-harap cemas suatu saat bulunya akan diwarnai dengan corak biru yang kentara, yang untung saja itu berakhir sebagai kecemasan semata karena Isagi tidak segila itu sampai berpikir untuk mewarnainya demikian.

Kedua, Isagi adalah orang yang rajin. Mungkin, terlalu rajin. Kaiser selalu tahu laki-laki itu adalah seorang Ravenclaw yang paling mencolok di antara yang lain. Dia nyaris menguasai semua materi di kelas yang dipilihnya. Kaiser tahu itu bukan karena dia memperhatikan Isagi, oh tentu saja tidak. Sayangnya, mereka nyaris selalu ada di satu kelas yang sama─dan di sepanjang kelas itu pun, Kaiser bersikeras untuk bersikap abai pada bagaimana tatapan tajam seseorang seolah dapat melubangi belakang kepalanya kapan saja. Isagi adalah sosok yang selalu mengangkat tangan pertama kali untuk menjawab ketika profesor mereka bertanya perihal materi yang bahkan tidak pernah tercantum pada buku belajar mereka sendiri. Kadang kala, ketika melihatnya, Kaiser tidak bisa menahan diri untuk memutar bola mata. Caper, begitu pikirnya. Namun ketika melihat Isagi selalu menghabiskan waktu di meja belajar dengan belasan perkamen yang di dalamnya terdapat catatan rapi miliknya, berikut kedua kantung mata menghitam yang kerap kali membuat Kaiser meringis ketika melihat mereka, semua hal itu membuat Kaiser merasa ingin menampar pipinya sendiri. Caper matamu.

Ketiga, Isagi itu adalah seseorang yang ceroboh. Dia adalah orang paling teratur, tetapi di saat yang sama juga merupakan orang paling ceroboh yang Kaiser tahu.

“Kai, aku kemarin taruh dasi di mana ya?” tanya Isagi dengan rambut acak-acakan dan wajah bantal yang kentara. Terdapat beberapa garis yang membekas di pipi kanannya, indikasi bahwa laki-laki itu barusaja terbangun dari tidur nyenyak beberapa saat lalu. Tungkainya berderap di atas lantai kayu, membuat Kaiser yang masih tertidur dengan nyaman di balik selimut menggeliat terbangun.

Kaiser mengerjap pelan. Dia menguap. “Meow.” Apaan?

“Dasi aku─” Isagi membuka pintu lemari lalu dengan tidak sabar mengeluarkan beberapa pakaiannya ke atas kasur, “─hilang. Dasi aku nggak ada, Kai!”

Kaiser menguap sekali lagi. Entah apa yang terjadi pada regulasi di dalam tubuh kucing ini, dia merasa selalu ingin tidur di manapun dan kapapun serta dalam kondisi apapun sebisa mungkin. Ini mungkin adalah teknik spesial yang hanya dimiliki oleh kucing, Kaiser tidak tahu dia harus merasa senang atau malah sebaliknya. “Meow, meow, meow,” ujar Kaiser kemudian sembari meregangkan tubuh. Lagian juga kemarin kenapa lempar-lempar dasi ke sembarang arah segala, sih?

“Iya, iya, maaf.” Isagi menggerutu di bawah napas. Dia menatap pada cermin dan dengan cepat memantra agar rambutnya tertata sedemikian rupa. “Kemarin aku capek banget abis latihan Quidditch,” jelasnya.

“Meow.” Alesan. Kaiser melompat turun dari ranjang. Dia mengendus lantai dan mengikuti wangi yang menguar khas dari dasi yang dikenakan oleh si lelaki Ravenclaw. Tidak lama kemudian, dia menemukan dasi berwarna perpaduan antara warna biru dan warna perunggu berada tepat di bawah kasur, tersembunyi agak dalam di sisi yang tidak tersapu pencahayaan maksimal. Dia menggigit benda itu lalu membawanya keluar dari bawah sana.

Kaiser menggaruk punggung kaki Isagi untuk menarik perhatian lelaki yang bersangkutan. Isagi lantas menunduk, menemukan bagaimana kucing putihnya kini tengah menggigit dasi yang sedari tadi tidak ditemukannya kendati dia sudah membuat kacau pada nyaris setiap sudut dalam kamar. Dengan itu, Isagi tersenyum sumringah. Laki-laki itu lantas mengangkat tubuh Kaiser dan membawanya ke dalam pelukan erat.

“Kaiser!” Isagi berteriak dengan suara yang terbenam di balik bulu-bulu berwarna seputih salju. Kaiser merasa dirinya sedikit banyak tergelitik oleh getaran yang dihasilkan oleh gelombang bunyi tepat di atas kulitnya. “Meow!” Ih anjing geli tau. Kaiser mengerang, tidak terima, kendati kini wajahnya terasa memanas untuk alasan yang dia sendiri tidak tahu kenapa.

Isagi tertawa kecil. “Hehe, sayang kamu pake banget.” Dia mengecup pada dahi Kaiser pelan sebelum meletakkan kucing itu kembali di atas kasur. “Makasih, Kai. Aku berangkat dulu, ya.”

Setelah itu, Isagi Yoichi lantas berderap pergi dan menghilang di balik pintu kamar.

Nah, kali ini yang tertinggal di sana hanya Michael Kaiser seorang. Laki-laki─atau, kucing─itu tidak tahu harus bersikap apa setelah mendapatkan kecupan super duper lembut dari Isagi-si-lelaki-yang-membencinya-seratus-persen-Yoichi. Oke, mungkin dia harus berhenti berpikir selembut apa bibir Isagi ketika bersinggungan dengan dahinya meskipun sebenarnya memang selembut itu─ baik, dia harus benar-benar melenyapkan pikiran tentang bibir lembut─ astaga, tidak, tidak, seharusnya bibir Isagi itu tidak menghantui bayangannya kendati kelembutan─

Demi Tuhan, tolong tampar Kaiser sekarang.

Kaiser mendesis dan mencoba untuk menampar pipinya sendiri.

Anjing, dia menatap pada bantalan berwarna merah muda pada tangannya, empuk banget lagi.

Maka, yang bisa dilakukannya saat ini hanya menghitung mundur angka-angka dari bilangan seratus sampai nol untuk dia kembali terlelap (lagi) di atas kasur Isagi untuk kesekian kali. Dan apabila pikirannya mulai melalang buana kembali ke satu hal spesifik yang berusaha untuk dia hindari, maka Kaiser akan berusaha untuk menghitung anak domba yang sekiranya cukup untuk menyesaki spasi di angkasa dan yang bisa dilihat manusia tidak lain serupa rajutan benang wol musim dingin dengan bagian ujung yang tidak terlihat sama sekali.

Ha. Kalau memang hal demikian terjadi, bagaimana jadinya bentuk bumi? Kalau sudah begitu, kira-kira bagaimana tanggapan Isagi?

Kaiser lalu mengerutkan dahi.

Kenapa balik ke Isagi lagi, sih?

Ah. Mungkin setelah ini, Kaiser akan menambahkan satu fakta lagi yang dia ketahui tentang Isagi.

Yakni fakta keempat, yang nyata dan jelas sekali dan dapat Kaiser rasakan nyaris setiap hari, bahwa Isagi Yoichi benar-benar memiliki kemampuan untuk memenuhi isi pikiran seseorang tanpa lelah dan tanpa henti. Itu adalah suatu hal yang impresif, kendati ganjil dan unik di saat yang sama. Kalau ada yang bertanya, bagaimana Isagi dapat melakukannya? Kaiser juga tidak mengerti.

Sejurus kemudian, Kaiser menguap.

Oke, sudahi semua yang berbau Isagi. Mungkin ini sudah saatnya dia kembali bergelung di atas selimut dan tenggelam dalam mimpi.

Sayangnya, Kaiser tidak bisa kembali tertidur lagi.

Sial.

Keseharian yang dilakukannya beberapa hari ini untuk menghabiskan waktu adalah tidur sepanjang hari sampai Isagi kembali dari kelas yang seperti tidak ada habisnya itu. Namun, bukannya demikian, yang Kaiser lakukan justru hanya terbengong di atas kasur dan merasa bingung serta bosan setengah mati karena dia tidak dapat melakukan apa-apa. Lebih tepatnya, dia tidak tahu harus melakukan apa. Kalau dia kini berada dalam wujud manusianya, dia pasti akan menghabiskan waktu dengan bermain bersama sejawatnya untuk menelusuri berbagai aplikasi dan situs-situs menyenangkan dengan mereka. Atau barangkali melakukan hal-hal tolol lain yang dapat merusak suasana dan perasaan setiap orang dalam kelas.

Oke. Agaknya, dia cukup merindukan wajah-wajah bodoh teman-temannya itu sekarang.

Waktu berjalan dengan cepat dan tanpa disadari ini sudah berjalan seminggu sejak Kaiser berubah menjadi kucing─yang tentu saja tanpa kehendaknya sendiri. Aiku Oliver masih menjadi orang yang tidak akan tanggal dari daftar hitam buku kehidupan Kaiser, dengan setiap huruf dari namanya dicetak dengan tinta sewarna merah terang yang mencolok dan mencekam juga penuh dengan dendam personal. Entah apa yang telah dilakukan laki-laki itu sekarang, yang Kaiser harapkan adalah dia sudah berhasil meracik ramuan untuk mengembalikan Kaiser ke bentuk manusianya secepat mungkin. Di pertemuan selanjutnya, apabila laki-laki itu masih bertingkah bodoh, maka Kaiser bersumpah dia akan mencakar wajahnya bertubi-tubi dan berkali-kali.

Kaiser lalu mengangkat kepala dan mengarahkan pandangan pada pintu kamar yang terbuka sedikit. Dia memiringkan kepala. Kalau dipikir-pikir, dia tidak pernah berpikir untuk keluar dari kamar Isagi sama sekali sejak seminggu terakhir. Jika ditanya kenapa dia tidak segera kabur dari sana, maka jawabannya adalah simpel; dia tidak tahu ke arah mana siswa-siswi asrama Ravenclaw keluar dari sana. Berkaitan dengan prinsip dan kepribadian yang mayoritas terfokus pada spektrum yang sama, begitupula yang terjadi pada sistem asrama Ravenclaw itu sendiri─begitu kompleks dan membuat pusing kepala. Maka, Kaiser tidak mau repot-repot berpikir untuk kabur dari sana. Kalau saja dewi Fortuna suatu kali berpihak padanya, maka Kaiser akan mengambil kesempatan riskan untuk keluar. Namun, kenyataan berujar sebaliknya. Jadi yang Kaiser lakukan hanya berdiam diri dan menghabiskan waktu seperti pengangguran kelas kakap.

Ketika dia sudah berhasil menuruni tangga untuk pergi ke ruang tengah asrama Ravenclaw, yang didapatinya adalah ruangan besar dengan berbagai ornamen berwarna senada; biru dan perunggu yang jadi satu, membentuk dinamika warna yang menenangkan mata. Kaiser menyusuri seluruh penjuru ruangan, mematai bagaimana pada setiap tepinya terdapat beberapa rak yang berisi ratusan atau bahkan ribuan buku tertata dengan rapi dan presisi. Kaki mungilnya membawa Kaiser untuk mendekat. Dia meletakkan telapak tangan pada deretan buku-buku, mengagumi bagaimana dia sama sekali tidak menemukan debris yang mengotori permukaannya.

Wow. Kaiser terus menatap pada berbagai barang yang terdapat di dalam asrama Ravenclaw, menemukan kuriositasnya semakin membludak pada setiap barang baru yang ditemukannya di dalam sana. Ini piala Quidditch Cup? Gila, ini udah dari sejak taun berapa masih mulus gini. Bentar, ini bukannya bukunya udah langka? Kenapa bisa masih ada yang nyimpen? Oh yang itu kan─

“Eh?”

Kaiser nyaris merasa nyawanya melayang lewat tenggorokan ketika mendengar suara berat datang dari arah belakang. Dia menoleh dengan cepat, menemukan sosok menjulang tinggi dengan surai berwarna keperakan kini menunduk untuk menatapnya lebih dekat. Kaiser mendesis, harap-harap cemas apabila ada seseorang lain yang berpikir untuk memungutnya secara semena-mena seperti yang Isagi lakukan kemarin-kemarin.

Tapi nyatanya, sosok itu selanjutnya hanya bergerak untuk mendudukan diri di lantai. Kedua kakinya menyilang, satu tangan laki-laki itu digunakan untuk menumpu dagu, selagi kedua matanya masih menatap pada Kaiser dengan seksama. Sementara itu, Kaiser tidak tahu apa yang harus dilakukannya kemudian, sehingga dia hanya terduduk di depan si sosok bersurai perak dengan wajah mengerut garang.

“Kucing kenapa bisa masuk ke sini deh?” gumam sosok itu, lebih pada dirinya sendiri.

Kaiser terdiam, masih melirik galak pada si figur terlampau tinggi.

“Atau lo punya anak sini?” Si lelaki Ravenclaw menggaruk dagunya malas. “Seinget gue udah mulai nggak boleh pelihara dibawa ke dalem asrama gini.”

Mana gue tau anjing, gerutu Kaiser, kalau bisa mah gue udah minggat.

Ketika dia bergerak untuk mengusap pada kepala Kaiser, Kaiser lantas berjengit dan menghindar dengan cekatan. Oh, tidak semudah itu, teman. Dia tidak akan membiarkan semua orang seenak jidat menyentuhnya begitu saja.

“Pelit.” Si lelaki asing berujar, kendati tidak ada ekspresi berarti dari bagaimana dia mengungkapkan silabelnya. “Udah jelek, pelit lagi.”

Kaiser menggeram. Apa maksud lo, anjing?!

“Jelek, pelit,” orang itu tidak berhenti mengoceh, “galak juga. Lo kucingnya siapa sih?”

Kaiser menggeram lebih keras. Bacot bener, babi.

“Oh iya,” si anak Ravenclaw menepuk tangan sekali, seolah pemikiran baru mulai bermunculan di otaknya, “gue punya sesuatu.”

Gue nggak peduli, monyet, Kaiser menghardik.

“Ssstt, diem dulu, gue baru kemaren belajar mantra baru,” kata si surai perak kemudian. Dia lalu mengeluarkan tongkat sihir dari balik saku jubah, sebelum mengarahkan bagian ujungnya tepat ke depan hidung Kaiser. “Jangan gerak.”

Sebelum Kaiser sempat memproses apa yang terjadi di depannya, sosok asing itu sudah lebih dulu merapalkan mantra dan sinar putih yang menyilaukan bergerak lebih cepat dari yang Kaiser perkirakan, membuat dia tidak bisa melakukan apapun selain pasrah dan memejamkan mata di tempat.

Beberapa saat kemudian yang terasa seperti selamanya, Kaiser akhirnya membuka kedua mata. Dia tidak merasa berbeda. Tidak ada pula efek samping sistemik yang membuatnya merasakan takikardia, hipoksia, maupun dampak pada gastrointestinal dan semacamnya.

Namun, dia dapat melihat senyum lebar mulai terlukis di atas bibir si lelaki berambut perak─sukses membuat sekujur tubuh Kaiser meremang dengan tidak menyenangkan.

Anjir, Kaiser membatin, perasaan gue nggak enak.

Kemudian, dengan perlahan, dia menolehkan kepala ke arah pantulannya sendiri yang tercipta pada gelas kaca yang tidak jauh dari tempat mereka berada.

Dengan itu, Kaiser lantas menjerit sejadi-jadinya.

Bisa dibilang, duapuluh sekian tahun hidup Kaiser diwarnai dengan fragmen monoton dan warna-warna bisu. Tidak ada kejadian yang benar-benar membuatnya merasa super duper senang sampai berpikir untuk menyukai kehidupan seperti yang berhasil orang-orang dalam buku inspirasional lakukan. Dia juga tidak pernah merasa sedih berlebihan dan merana berminggu-minggu lamanya oleh karena hal sepele sampai hal paling serius yang terjadi dalam hidupnya. Sedih mungkin iya, tetapi dia tidak pernah merasa cukup sedih untuk merasakan gelombang mood yang menukik turun mencapai keadaan distimik sehingga yang bisa dilakukannya adalah sekadar bergelung di kasur sampai perputaran waktu yang tidak ada ujungnya.

Tapi kalau dipikir-pikir, daripada kondisinya yang sekarang, Kaiser rasa dia ingin kembali ke kehidupannya yang monoton itu.

Tidak hanya tubuhnya berubah menjadi kucing sejak beberapa hari yang lalu, tapi kini kedua telinganya lenyap sama sekali oleh karena tingkah tolol bocah Ravenclaw tidak tahu diuntung yang suka seenak pantat menyihir orang lain tanpa ragu. Tidak hanya itu, si rambut perak juga tidak menunjukkan perasaan bersalah sama sekali atas perbuatannya. Entah dia memang miskin emosi atau pada dasarnya laki-laki itu punya sifat brengsek yang mengalir deras di peredaran darahnya, Kaiser tidak tahu dan jelas-jelas tidak mau tahu. Itu yang pertama.

Yang kedua, Kaiser bertanya-tanya kenapa Isagi menggendongnya lagi ke arah ruang tengah asrama Ravenclaw hanya untuk bertemu dengan lelaki-brengsek-berambut-putih yang sudah menampakkan diri di deretan daftar hitam Kaiser sejak pertama kali mereka bertemu. Kaiser mendesis tatkala matanya bersirobok dengan kedua mata kelabu yang mengerjap malas. Kalau saja Isagi tidak mengeratkan pelukannya, Kaiser yakin dia sudah melompat dari sana untuk bergerak mencakar wajah laki-laki itu dengan penuh intensi mematikan.

“Hei.” Isagi menyapa sambil senyum tipis terkulum di bibir.

“Hei juga,” sahut laki-laki bersurai keperakan. Kaiser menggeram. Ada apa dengan tingkah sok charming itu?

“Maaf ya, Nagi, gue baru selesai mandi,” jelas si surai gelap sebelum mendudukkan diri pada sofa di sebelah teman Ravenclawnya itu. Kaiser menggerutu dalam hati. Di antara semua tempat duduk, kenapa Isagi memilih untuk duduk di daerah yang paling dekat dengan si bajingan itu?

Isagi mengusap pada kepala Kaiser pelan, mencoba untuk menenangkan kucingnya yang teragitasi oleh presensi Nagi di ruangan. Isagi selalu berpikir bahwa kucingnya adalah sesosok hewan perasa; yang mana berarti, tingkahnya yang tidak bersahabat tentu saja sangat bisa dimaklumi mengingat Nagi telah menyihirnya sedemikian rupa. “Jadi ini gimana? Bisa balik, kan?” tanyanya kemudian.

Nagi memiringkan tubuh. Kini, seluruh badannya mengarah ke sosok Isagi, membuat yang bersangkutan hanya bisa mengerjapkan mata menunggu jawaban. “Bisa,” jelas laki-laki itu kemudian. “Sejak kapan lo punya kucing ini, Sa?”

Bukan urusan lo, Kaiser menggeram.

“Nggak lama. Mungkin semingguan?” Isagi mencoba mengingat.

“Pantes aja.” Nagi mengangguk singkat. “Gue nggak pernah liat.”

“Haha, iya.”

“Bukannya udah ada aturan kalau nggak boleh pelihara hewan lagi di dalem asrama ya, Sa?” tanya Nagi, sukses membuat Isagi terpaku tanpa bisa menjawab apa-apa. Dia mengeratkan pelukan pada Kaiser, merasa sedikit defensif sebagai bentuk perlindungan diri sendiri terhadap klaim orang lain yang tidak dapat dielaknya.

“Iya, memang nggak boleh,” tukas si surai hitam. Dia menatap pada puncak kepala Kaiser dan mengusapnya pelan. “Ini memang sembunyi-sembunyi sih. Lagipula, kasian tau kalo dia dibiarin mondar-mandir di hall gitu.” Isagi menggigit bibir. “Lo kan prefek ya. Bisa nggak jaga rahasia?”

Nagi terlihat mengetuk dagu dengan gestur berpikir keras. Kaiser mendecih dalam hati, mematai setiap ragam lenggok lelaki bersurai perak dengan penuh sangsi. Dia tahu benar dengan tipikal karakter laki-laki itu. Ironisnya, Kaiser juga punya tabiat yang sama. Kurang lebih. Mungkin, sedikit. Atau, sepertinya nyaris sama sepenuhnya. Entahlah. Yang pasti, it takes one to know one.

“Bisa.” Nagi bilang, sambil dia mengangkat satu jari ke udara. “Tapi gue mau ada bayaran buat tutup mulut.”

Nah kan. Kaiser mendesis, menunjukkan gigi taringnya yang mencuat dari mulut yang terbuka bengis. Nagi meliriknya sebentar, tidak peduli, sementara Isagi kembali mengusap pada kepalanya dengan lembut.

“Aduh, blackmail ini ceritanya?” gerutu Isagi.

Nagi memiringkan kepala. Kedua lengannya disilangkan di depan dada. “Nggak juga, sih.”

“Ya udah deh, mau apa?”

“Hm,” Nagi berpikir lagi, “jalan-jalan sama gue sekali aja. Gimana?”

Anjing. Kaiser menggeram. Modus mulu lo babi.

“Gitu doang?” Isagi menaikkan sebelah alis. Dia tertawa jenaka. “Oke deh kalau gitu.”

“Lo keberatan nggak ini?”

“Nggak juga.”

Gue, Kaiser membatin, gue keberatan bangsat.

Sayangnya, Nagi justru melebarkan senyum. Wajah laki-laki itu yang terkonstruksi sedemikian rupawan membuat senyumnya semakin bersinar. Kaiser mengangkat wajah, sedetik kemudian merasa super duper masam ketika menemukan Isagi tampak terkesima. Dengan kesal, Kaiser bergerak untuk mengusapkan tangan pada dagu si surai hitam kelam.

“Meow.” Nggak boleh.

“Eh?” Isagi mengerjapkan mata. Dia menemukan Kaiser kini tengah menatapnya dengan seraut jengkel yang kentara.

“Meow, meow.” Nggak boleh liatin orang lain kaya gitu.

Isagi kemudian tertawa kecil. “Kenapa, Kai?”

“Kai?”

Mampus. Isagi ingin sekali menampar mulutnya sendiri sekarang. Keceplosan.

Nagi mengulang, “Namanya Kai?”

“Uh…” Isagi memutar otak. “Iya? Namanya Kay, singkatan dari Kayang.”

Hah. Kaiser memberengut. Kenapa nama gue jadi kayang anjir.

Terdengar tawa kecil yang tertahan. “Kayang?” Nagi menutup mulut, bersikeras untuk tidak menertawakan pilihan nama yang jelas-jelas terdengar tolol di telinga siapapun. “Beneran kayang?”

“Iya.”

“Kenapa dinamain kayang, Sa?”

“Soalnya dia pinter kayang.” Isagi beralasan, tidak menemukan alasan lain lagi yang lebih masuk akal. Namun, itu bukan berarti keputusannya masuk akal juga, sih. Dengan itu, Isagi berusaha menimpuk kepalanya sendiri secara internal. Bego, runtuknya dalam hati.

Bego, pikir Kaiser mengafirmasi.

“Aneh banget,” komentar Nagi sambil tersenyum tipis.

Oh, Kaiser benci bagaimana laki-laki itu melihat Isagi seolah dia sudah pernah menggantungkan bintang-bintang di langit angkasa dan seutuhnya. Semua orang dengan mata yang masih bekerja dengan baik secara fungsional pasti dapat mengerti bersit rasa yang terpancar terlampau mencolok dari bola mata opal milik Nagi Seishiro.

Kalau mau bilang aneh nggak usah pakai mata kasmaran gitu anjing. Kaiser mendengus.

Entah berdasarkan alasan macam apa, tapi kini dia merasa terganggu dengan bagaimana kedua anak asrama Ravenclaw ini bertukar kata. Lebih tepatnya, dia tidak menyukai bagaimana Nagi semakin merapatkan jarak, hingga fabrik celana mereka berdua bersinggungan, dan spasi di antara lengan yang tercipta hanya diisi oleh udara tipis tak bermakna. Atau, bagaimana kedua mata laki-laki itu mengerjapkan sesuatu yang membuat Kaiser merasa ingin menarik Isagi kembali ke kamar agar dia tidak merasakan aura merah muda yang dikerahkan Nagi terang-terangan. Ini konyol, tapi juga menggelikan. Sesungguhnya, Kaiser pun tidak mengerti pihak mana yang paling tampak seperti badut pesta sekarang.

Mungkin, badut pesta itu adalah Nagi. Atau barangkali, juga bisa Kaiser sendiri.

“Jadi gimana?” Isagi buka suara lagi. “Bisa balikin kucing gue sekarang nggak?”

Nagi mengedikkan bahu. “Sure.”

Kemudian, Nagi mulai mengeluarkan tongkatnya. Kaiser menggeram, agaknya sedikit skeptis atas tindakan laki-laki itu yang selalu di luar nalar. Tapi di saat yang sama, siapa lagi yang bisa membalikkan mantra bajingan milik Nagi kecuali laki-laki itu sendiri? Jadi, yang dilakukan Kaiser hanya pasrah ketika sinar hangat yang memancar dari ujung tongkat sihir mulai melingkupi presensinya sedikit demi sedikit.

Nagi lalu kembali menyimpan tongkat sihirnya di balik saku jubah. “Udah.”

Isagi tersenyum lebar tatkala melihat bentuk Kaiser yang seperti sedia kala. Meski demikian, Kaiser tetap mendumel dalam hati. Oke, semua mungkin sudah teratasi dengan baik. Nah, masalahnya sekarang adalah di senyuman Isagi sendiri. Senyuman Isagi itu terlalu lebar dan terlampau manis─menurut Kaiser, dia harus sering-sering tersenyum seperti itu asalkan ketika berada di depan Kaiser seorang dan bukan oleh karena Nagi Seishiro. Kalau begini jadinya, Kaiser rasa dia ingin menarik Isagi ke dalam kamar dan menyimpannya di sana. Terdengar agak kelewat imajinatif, sebab yang terjadi sebenarnya adalah kebalikan dari itu semua.

Detik berikutnya, Isagi menatap Nagi dengan rasa penuh terima kasih. “Makasih ya, Nagi.”

“No prob.” Si surai perak menggelengkan kepala pelan. “Gue cuma tanggung jawab aja kok.”

“Tapi tetep aja, terima kasih banget.” Isagi bersikukuh. “Tunggu sebentar, gue punya sesuatu,” tukas laki-laki itu kemudian. “Sebagai rasa terima kasih juga dari gue buat lo. Bentar ya, tunggu di sini.”

Lalu, Isagi berderap pergi untuk menuju ke kamarnya sendiri.

Nah. Adalah kesalahan besar membiarkan Michael Kaiser berdua dengan Nagi Seishiro pada satu ruangan yang sama. Sebab detik kemudian, kedua pasang mata dengan warna berbeda kini saling menatap dengan bengis.

“Lo nggak usah ikut campur,” ketus Nagi dengan perempatan bersiku yang mencuat di atas kepala, “lo itu cuma kucing.”

“Meow, meow!” Apa kata lo bangsat?

“Lo mending diem aja nggak usah banyak bacot, ini urusan orang dewasa.”

“Meow, meow, meow!” Kaiser menggeram lebih keras. Lo pikir lo siapa anjir? Urusan Isagi juga urusan gue!

“Gue bodo amat sama lo asalkan lo nggak usah ganggu waktu Isagi berduaan sama gue.”

“Meow, meow!” Gue nggak sudi dia sama lo.

Kemudian Nagi terdiam. Dia tampak sedang berpikir untuk beberapa saat lamanya, sebelum melirik lagi ke arah kucing putih di atas sofa yang mendesis murka ke arahnya tanpa henti.

Nagi tersenyum miring.

“Lain kalo lo gue mantra jadi keset bulu aja kali ya.”

“MEOW!

“Nagi, ini gue baru beli tadi─ astaga, Kai kamu ngapain?!”

Pertanda hari ini, Nagi Seishiro merupakan nama baru yang akan terdaftar bersisian dengan nama Aiku Oliver dalam jurnal hitam pribadi milik Michael Kaiser.

Jadi, kira-kira, begini:

1. Aiku Oliver

2. Nagi Seishiro (rival)NEW

Kalau ada yang bertanya, memangnya mereka rival dalam hal apa?

Mungkin, ada baiknya pertanyaan itu disimpan terlebih dahulu untuk sekarang. Karena untuk saat ini, Kaiser masih dalam fase di mana dia menganggap semua ini hanyalah ilusi semata, atau dia hanya merasa terlalu nyaman dengan aroma yang menguar dari sosok Isagi dan ruangannya yang hangat, atau estetika perpaduan biru dan perunggu sekarang sudah terlampau familier untuk Kaiser abaikan kenyamanannya begitu saja.

Jadi, kalau ada perasaan lain yang tiba-tiba bersemi di dadanya setiap kali Isagi mengecupi permukaan dahi, atau ketika dia mendapatkan laki-laki itu masih tertidur pulas di atas bantal dengan lengan yang memeluk Kaiser kelewat erat seolah enggan melepas─

Maka, untuk saat ini, Kaiser berpikir itu hanyalah perasaan yang akan memudar seiring dengan berjalannya waktu.

Ya. Sesederhana itu.

_________________________

--

--

primrose

writing feels like being in a chokehold all the time