been so grey but you gave me hues

primrose
12 min readJul 7, 2023

--

Hal lain yang Michael Kaiser tahu tentang Isagi Yoichi adalah bahwa laki-laki itu punya banyak teman.

Atau mungkin, terlalu banyak teman.

Sepanjang yang dia tahu, Isagi bukanlah sosok yang akan menghabiskan banyak waktu hanya untuk bersenda gurau dengan orang lain, bukan juga seseorang yang bakal menelantarkan selusin perkamen mengenai tugas kelas Arithmancy cuma karena temannya datang mengunjungi dan mengajaknya berbicara perihal banyak hal tidak penting. Tapi nyatanya, pemikiran Kaiser terhadap Isagi salah besar. Atau setidaknya, salah secara parsial. Isagi mungkin anak yang suka membenamkan hidung di atas tumpukan buku, tapi bukan berarti dia tidak punya kehidupan lain selain pada setiap spasi pada silabel-silabel di atas buku tebal yang memusingkan kepala.

“Isagi!”

Adalah sapaan pertama yang dilontarkan seseorang berambut ungu ketika Kaiser masih memposisikan diri dengan nyaman di atas pangkuan Isagi. Sedetik kemudian, lelaki bersurai gelap itu lantas berbinar, senyumnya melebar, dan─dengan super duper menyebalkan─Isagi langsung memindahkan Kaiser ke atas kasur hanya untuk menghampiri seseorang yang kini tengah berdiri di ambang pintu sambil tersenyum kelewat lebar dan juga berlebihan.

Semua senyuman orang lain tampak terlalu lebar, menyebalkan, dan bodoh di mata Kaiser. Kecuali, senyum Isagi. Untuk beberapa alasan yang dia sendiri tidak bisa pahami, Kaiser menyadari bahwa dia tidak menyukai bagaimana Isagi melemparkan senyum semenawan itu secara cuma-cuma kepada orang lain. Orang lain yang menyebalkan, umumnya. Orang lain yang bukan dia, khususnya.

Kaiser mendesis ketika si rambut ungu dan Isagi mulai berpelukan.

“Hei, Reo!” Isagi memeluk sosok itu dengan erat. Kaiser memalingkan wajah saat dilihatnya lengan Reo balik menggenggam pada pinggang kecil si lelaki bersurai gelap. Cih.

“Lo udah gede aja, Sa,” komentar Reo ketika Isagi sudah tidak lagi merangkul lehernya. Kaiser tidak bisa tidak memperhatikan bagaimana lengan laki-laki itu masih tidak melepas, enggan sekali untuk menjauhkan diri dari Isagi yang terlalu terimersi dalam suasana. Sebagai orang ketiga, Kaiser merasa seolah diasingkan. Bukan. Seharusnya bukan dia yang orang ketiga. Si Reo atau siapapun itulah yang merupakan orang ketiga yang seharusnya merasa diasingkan! Meskipun kalau bicara dengan kondisi seperti ini, Kaiser tidak bisa didefinisikan sebagai ‘orang’ secara literal.

“Apa, sih?” Isagi hanya menyiku pinggang Reo main-main, senyumnya masih melekat di bibir. “Kita nggak ketemuan cuma sebulan doang udah bilang gitu lo.”

“Gimana, ya.” Reo mengusap dagu. “Sebulan lama, tau.”

“Lama apanya?”

“Ya, lama,” dia menambahkan, “1 bulan itu 30 hari. Kalau dikonversi pakai satuan lain jadinya 168 jam, atau 1.080 menit, dan bahkan bisa sampai 604.800 detik.” Reo pura-pura membulatkan mata. “604.800 detik nggak ketemu lo kerasa lama banget, Sa. Asli.”

Mendengar itu, Kaiser rasanya langsung ingin membenamkan diri di antara bantal, hanya untuk meredam suara tidak penting Mikage Reo yang enggan untuk berhenti mengudara dan menginvasi liang telinga.

“Lebay,” Isagi bilang. “Emang perlu banget ngitungnya setiap detik?”

“Gimana dong,” Reo membalas, “gue mikirin lo setiap detik soalnya.”

Bangsat. Lupakan membenamkan diri di antara bantal, yang ingin Kaiser lakukan sekarang adalah membakar bumi dan memporak-porandakan seluruh isinya sampai dia bisa melupakan momen saat ini yang dapat membuat kepalanya berapi-api.

“Dangdut, anjir.” Isagi memutar bola mata. “Stop, nggak?”

“Iya, iya. Jangan ngambek,” ujar si rambut keunguan sambil tertawa jenaka. Lengan panjangnya merangkul pada bahu sempit lelaki bermanik biru tua. “Gue bawain oleh-oleh buat lo dari gue jalan-jalan ke Swiss kemarin. Tapi barangnya masih ada di kamar gue.”

“Bawa apaan lo?” tanya Isagi penasaran. “Kenapa nggak sekalian dibawa sekarang, dih.”

“Ya gue emang mau bawa lo sekalian ke kamar,” jawab Reo ringan.

Oke. Cukup. Nagi─bajingan─Seishiro ternyata bukanlah ‘musuh’ terbesar yang Kaiser hadapi. Sekarang, musuh dengan level tertinggi adalah Mikage Reo, berikut berbagai omong kosongnya yang terlalu menginvasi privasi dan penuh makna ambigu yang tidak perlu.

Dengan itu, Kaiser serta merta mendesis keras, cukup untuk membuat dua kepala di dalam ruangan lantas mengarahkan seluruh atensi pada kucing putih yang memamerkan taring di atas kasur, tampak begitu berang dengan seluruh bulu yang menegak kuat.

“Kai?” Isagi bertanya sembari dia mulai menghampiri dan mengangkat Kaiser ke dalam pelukan. Laki-laki itu mengusap pada belakang telinga kucing putihnya yang masih enggan untuk berhenti menggeram marah, entah karena apa. Kedua mata kucingnya menatap tajam pada Reo yang hanya mengerjap tanpa tahu apa-apa. Kaiser sedikit merasa lega ketika Isagi mulai menjauh dari si keturunan Mikage, juga merasa sedikit senang saat laki-laki itu memilih untuk meninggalkan Reo untuk mendekatinya─ah, ini mungkin terdengar seperti memiliki makna ganda, tapi terlepas dari apapun itu, Kaiser mengamininya lamat-lamat. “Sayang, kenapa?”

Anjir, gue dipanggil sayang. Kaiser tiba-tiba merasa otaknya berhenti bekerja untuk beberapa saat.

“Lagi masa kawin kali, Sa,” sahut Reo. “Biasanya memang sensitif.”

Pala lo masa kawin. Kaiser mendesis lagi.

“Masa, sih?” Isagi tampak menimbang-nimbang. “Gue kawinin sama kucing lain kali ya?”

“Gue punya kucing jenis ragdoll di rumah, Sa. Kalau mau dikawinin sama dia nggak apa-apa,” tukas Reo sambil berjalan mendekat. Tangannya mencoba untuk mengusap pada kepala Kaiser tetapi yang bersangkutan justru mengeong lebih keras, memberi gestur seolah bersiap untuk mencakar andaikata tangan laki-laki itu menyentuh kepalanya tanpa permisi. Reo kemudian mengangkat kedua tangan, menyerah. “Buset. Galak bener kucing lo.”

“Biasanya nggak gini kok,” bela Isagi, sedikit bertanya-tanya mengapa Kaiser selalu tampak tidak bersahabat di depan semua orang. “Kalau sama gue doang dia jadi manis banget.”

Manis bagian mananya orang jelek gini, pikir Reo, berusaha semaksimal mungkin tidak melontarkan kata yang sekiranya membuat Isagi merengut tidak terima. Kendati terkadang dia berpikir bahwa laki-laki itu tampak lucu apabila berekspresi demikian. “Sukanya sama lo doang kali,” komentar Reo selanjutnya, “pinter juga dia.”

Memang. Kaiser menyetujui dalam hati.

“Oh iya,” Reo buka suara lagi, “ini bukannya kucing yang kemarin Nagi apa-apain itu ya?”

“Iya.” Isagi mengusap bulu putih Kaiser pelan-pelan, membuat bulu kucing itu kembali menjuntai lemah di bawah usapannya. “Gue panik beneran, gue pikir Kai nggak bisa balik lagi. Habisnya si Nagi aneh-aneh aja sama kucing orang.”

Reo bergumam. “Modus dia mah.”

Isagi menaikkan sebelah alis. “Hah? Apaan?”

“Nggak.” Reo berdeham. “Siapa namanya? Kai?”

“Iya, Kai. Lucu, kan?” Isagi tersenyum lebar, tampak puas dengan pilihan nama yang dia berikan sendiri.

“Lumayan,” ujar Reo seadanya, tidak terlalu terpikir oleh apa-apa terutama setiap dia dapat melihat senyuman lebar Isagi dari dekat. Oke. Itu tentu saja tidak baik untuk jantung, tetapi di saat yang sama baik untuk kesehatan mental. Reo paham dengan benar bagaimana kinerja sistemik tubuhnya, dan dia pikir salah satu hal yang dapat membuat kelancaran mekanisme pada setiap sel di dalam sana adalah eksistensi dari Isagi Yoichi sendiri.

“Udah nggak apa-apa, hm?” Isagi bergumam di samping telinga Kaiser, yang sedikit banyak sudah kembali ke kondisi normalnya. Dia mengecup pada puncak kepala Kaiser pelan dengan masih mengusap pada bulu putihnya tanpa henti.

Oh, I wish it were me. Reo rasanya ingin berdoa pada bintang jatuh agar besok dia terbangun dalam keadaan sudah berubah menjadi kucing.

Sementara itu, Kaiser hanya bisa terpaku. Oke, tidakkah itu terasa ilegal bagaimana dia dapat merasakan bagaimana bibir Isagi terasa hangat di kulitnya sekarang? Tidakkah itu terasa berbahaya ketika dia dapat merasakan bagaimana lembutnya bibir laki-laki itu beberapa saat lalu? Tidakkah itu terasa tidak adil saat Kaiser merasa dia ingin Isagi mengecupnya sekali lagi, atau bahkan berkali-kali tanpa henti di kemudian hari?

Sial. Kecupan Isagi seharusnya tidak seadiktif itu.

Pikiran Kaiser terhenti ketika Reo akhirnya berdeham. “Gue kaya kacang di sini, ngeliatin dua orang pacaran padahal itu cuma lo sama kucing lo,” canda laki-laki itu kemudian. “Jadi pengen.”

Isagi mendengus. “Pengen apa lagi?”

“Jadi kucing.”

“Ngaco dah.”

“Bercanda doang,” sedikit banyak beneran, tapi, pikir Reo tanpa menyuarakannya keras-keras. “By the way, mau ke kamar gue nggak? Gue mau kasih oleh-oleh. Gue jamin lo suka.”

“Boleh,” jawab Isagi, “tapi gue bawa Kai nggak apa-apa, ya?”

Reo ingin menolak, tetapi dengan kedua mata Isagi yang berbinar-binar seperti itu mana mungkin dia tega untuk mengelak. Maka, Reo hanya dapat menghela napas panjang sambil berucap, “Boleh deh.”

Untuk itu, ketika akhirnya mereka mulai berjalan untuk menuju ke kamar sang keturunan Mikage, si surai ungu diam-diam mengirimkan jari tengah ke arah Kaiser yang menatapnya dengan seraut penuh kemenangan.

Haha. Rasain, jing.

Mikage Reo, seperti bagaimana semua orang mengira personalitas laki-laki itu seperti apa, ternyata memiliki karakter yang tidak sepenuhnya berdeviasi dari yang orang-orang sudah perkirakan sebelumnya.

Dia adalah tipikal lelaki Ravenclaw yang jenius dan rajin serta disiplin di segala aspek kehidupan. Semua itu terlihat dari tata ruangan kamarnya yang dipenuhi dengan barang minimalis yang sekiranya tidak terlalu memakan tempat dan tidak juga meninggalkan spasi untuk debu-debu menjajah tanpa permisi. Kaiser yakin dia tidak pernah masuk ke dalam kamar dengan keadaan sebersih itu. Dia nyaris yakin Mikage Reo terlahir dengan suatu kemampuan unik hingga dia dapat memiliki ruangan tanpa setitik debris yang menempeli setiap jengkal kamarnya.

I bought you something,” Reo berucap sembari dia memberikan sebuah kotak berwarna coklat ke arah Isagi.

Kedua mata Isagi membulat maksimal ketika melihat tulisan yang terukir di permukaannya. “Danville? Anjir, lo serius, Reo?” Laki-laki itu menutup mulut tidak percaya.

“Serius.” Reo tersenyum bangga.

“Sumpah. Demi Tuhan, gue udah lama banget mau beli ini.” Isagi mendudukkan diri di atas kasur selagi kedua tangannya mulai membuka tutup kotak. Kaiser ikut mengintip ke dalamnya tepat di samping Isagi. “Oh, astaga.”

“Udah gue bilang lo bakalan suka.” Reo mengusapkan tangan pada kepala berambut sehitam jelaga pelan. “Gue tau itu bakalan cocok ke lo, Sa.”

Ketika Kaiser melihat tuksedo berwarna putih di dalam kotak itu, dia langsung menyetujui bahwa Isagi akan tampak menawan ketika menggunakannya. Itu mungkin ada kaitannya dengan bahan premium Danville yang notabene merupakan merek ternama di seantero dunia sihir, tetapi Kaiser yakin lebih dari 90% adalah oleh karena kharisma dari Isagi sendiri.

Kaiser masih tidak mengerti mengapa jantungnya mulai bergemuruh, kali ini lebih hebat dari biasanya, tatkala dia mulai membayangkan Isagi mengenakan tuksedo putih dengan mawar biru yang tersemat di saku dadanya. Rasanya tampak sureal, dan terlalu imajinatif, bahkan terkesan terlampau fiktif, tetapi Kaiser tidak bisa menahan diri untuk membayangkan bagaimana sosoknya juga sedang mengenakan tuksedo berwarna sama, dan bagaimana mereka berjalan beriringan dengan kedua tangan saling menggenggam menuju pelaminan─

Oh, tunggu, apa-apaan itu?

Lama-lama, Kaiser rasa dia mulai terkena gangguan jiwa atau semacamnya. Astaga.

“Gue─” Setelah beberapa saat, Isagi tampak kehilangan kata-kata. “Gue gatau ini bakalan cocok di gue atau nggak, dan gue nggak tau gue berhak dapet sesuatu kaya gini atau nggak. Tapi─ tapi, thank you so much, Reo.” Laki-laki itu mendekap tuksedo di tangannya dengan erat. “It means a lot to me. Serius.”

No problem.” Reo lalu mendudukkan diri tepat di sebelah Isagi. “Gue mau lo pake itu di pesta dansa yang bakal diselenggarain minggu depan. Can you do that for me?

Sure.” Isagi melempar senyuman lebar, wajahnya tampak berseri-seri. “Gladly.”

Reo tersenyum, sama lebar dengan milik Isagi. Kalau dipikir-pikir lagi, banyak hal yang Reo suka dari laki-laki itu. Salah satu yang paling menonjol adalah senyumannya yang menawan─yang kerap kali membuat Reo membiarkan dirinya tertawan. Dia tidak pernah benar-benar memikirkan bagaimana setiap orang memiliki daya pikat pada setiap senyuman mereka yang tersungging pada setiap saat di mana mereka berada dalam titik tertinggi kehidupan.

Tetapi, sejak kali pertama dia melihat Isagi Yoichi tersenyum, Reo dapat merasakan bagaimana senyuman itu mampu membuatnya terpaku sesaat, seolah senyuman orang lain yang bukan Isagi tidak penting lagi, seolah senyuman yang bukan dari Isagi tidak lagi tampak seindah yang seharusnya, seolah senyuman Isagi adalah satu-satunya yang dapat membuat jantungnya berdegup kencang sekali lagi.

Ah, apakah ini yang dinamakan jatuh hati?

Reo baru menyadari bahwa dia menatap pada bibir Isagi sedikit terlalu lama ketika akhirnya dia mendengar suara geraman tidak bersahabat dari kucing putih yang kini sedang menatapnya tajam untuk kesekian kali, seolah dia kapan saja siap untuk menerkam andaikata Reo bergerak lebih dari yang dia lakukan saat ini.

“Kai, astaga, kenapa lagi?” tanya Isagi penuh perhatian. Sementara Reo hanya mendengus keras, menyumpah-serapahi seekor kucing putih yang punya wajah paling menyebalkan satu semesta. Dia bersumpah dia tidak pernah membenci kucing separah ini sebelumnya. Ada suatu hal yang super menjengkelkan dari kucing Isagi yang tidak bisa dia sebutkan sesederhana kata-kata.

“Sa, gue berubah pikiran,” ujar Reo selanjutnya. “Daripada dikawinkan, kucing lo kayanya lebih cocok dikebiri aja.”

Dengan itu, Kaiser menggeram lebih keras.

Bajingan lo, Mikage Reo.

Pesta dansa selalu digelar setelah ujian O.W.L dilaksanakan. Kegiatan itu menurut Kaiser adalah kegiatan yang tidak terlalu penting baik secara akademis maupun non-akademis, tetapi di saat yang sama merupakan kegiatan yang sangat ditunggu-tunggu oleh seluruh penjuru Hogwarts. Tidak hanya dia perlu menghabiskan uang untuk menjahit pakaian nyentrik untuk itu, dia juga harus bersikap seolah pesta dansa adalah hal paling menyenangkan yang cukup untuk membuatnya beranjak dari kenyamanan ranjang. Lagipula, apa yang bisa dinikmati dari keramaian memekakkan telinga dan menyesakkan dada seperti pesta dansa yang penuh dengan penyihir-penyihir dimabuk wiski maupun asmara yang berkumpul menjadi satu? Well, Kaiser menyukai pesta, tetapi dia sedikit terlalu enggan untuk mendapati beberapa pasangan yang saling bersilat lidah, secara literal, di setiap lorong-lorong gelap Hogwarts seolah dunia hanya milik mereka berdua.

Nah. Kecuali, ketika dia sudah menatap pada sosok Isagi yang kini tengah mencoba menggunakan tuksedo putih di depan cermin.

Kaiser berusaha keras untuk memberi privasi, mencoba untuk melupakan bagaimana dia secara tidak sengaja menangkap punggung sempit Isagi dan pinggangnya yang membentuk kurva sedemikian rupa sampai Kaiser dapat merasakan napasnya sendiri tersendat di tenggorokan. Oh, ini tidak baik. Kali ini, pemikiran apapun yang ada di otaknya sangat tidak baik untuk kesehatan jantung maupun mentalnya yang selemah ideologinya sendiri. Kaiser nyaris yakin jantungnya hampir melompat melewati kerongkongan dan kemudian berserakan di atas lantai.

“Kai,” Isagi memanggil, dan yang bersangkutan dengan perlahan menoleh, mewanti-wanti apabila laki-laki itu masih belum selesai mengenakan pakaiannya seperti beberapa saat yang lalu. Oke, mungkin ini berlebihan, tetapi Kaiser tidak berbohong ketika melihat Isagi seolah dia tengah berpendar dengan cahaya keemasan di antara temaramnya malam hari itu. Ketika dia melihat Isagi dengan tuksedo putih yang memeluk figurnya dengan pas, Kaiser seolah melihat bentuk lain dari malaikat itu sendiri.

Ah, lupakan yang tadi. Mungkin Michael Kaiser memang berlebihan. Ha.

“Cocok nggak?” tanya Isagi. “Aneh nggak ya ini?”

Kaiser mengerjapkan matanya sesaat sebelum mengeong. Cocok kok.

Isagi tersenyum. “I take that as a compliment.”

Laki-laki itu lalu mengambil satu tangkai bunga mawar berwarna merah dari buket bunga yang barusaja didapatkannya dari Tabito Karasu siang tadi. Isagi menempelkan bunga itu pada saku dada, lalu melihat dirinya kembali di cermin. “Bagus juga begini,” gumamnya pada diri sendiri.

Kemudian, Kaiser menggulirkan bola mata kucingnya ke atas kasur. Dia dapat melihat berbagai macam hadiah yang tergeletak di atas sana. Selama ini, dia tahu bahwa Isagi Yoichi merupakan sosok yang populer. Tetapi, dia tidak pernah menyangka bahwa Isagi sepopuler itu. Sejak tadi pagi, Isagi sudah menerima beberapa hadiah dari beberapa teman satu asramanya. Dia juga menerima beberapa hadiah lagi siang tadi, kali ini berasal dari senior maupun juniornya yang berada dalam satu tim Quidditch yang sama. Kemudian, dia juga dapat menemukan syal berwarna biru tua dari Nagi yang tergeletak di atas kasur paling ujung. Kalau saja Kaiser bisa bertingkah kekanak-kanakan, dia pasti sudah merusak syal itu dengan kuku tajamnya semena-mena.

Setelah beberapa waktu, Isagi tampak menghela napas panjang. Laki-laki itu kemudian berjalan lesu kemudian menghempaskan tubuh di atas kasur, sementara Kaiser bergerak untuk tidur di atas perutnya sambil menyamankan diri di sana.

Kaiser mengeong. “Meow.” Lo kenapa?

Kemudian, Isagi menghela napas sekali lagi. Tangannya mengusap pelan pada kepala Kaiser dan kucing itu mendengkur menikmati. “Dia pasti dapet hadiah banyak juga nggak, sih?”

Hm? Kaiser mengerjapkan mata. “Meow?” Siapa?

“Dia kan populer, punya banyak temen, dan semua orang suka sama dia.” Isagi terus bergumam. Kedua matanya menatap pada langit-langit rendah kamar, tetapi pandangannya menembus dan melalang buana ke semua arah yang tidak ada di dalam sana. “Aku denger cewek cantik dari asrama Slytherin kelas 4 naksir sama dia. Pasti di pesta dansa nanti, dia bakalan bareng sama cewek itu.” Dia mengeratkan genggaman pada seprei berwarna putih. “It’s not that I’m jealous or anything…”

Kemudian laki-laki itu menarik Kaiser dan mendekapnya dengan erat. Kaiser terkejut dan sedikit merasa hipoksia oleh karena rengkuhan kelewat erat dari Isagi. Dia berusaha untuk melepaskan diri sebelum telinganya mendengar gumaman lirih dari yang bersangkutan.

“Michael Kaiser,” Isagi berbisik, “I like you.”

Oh.

Oh.

Untuk beberapa saat, Kaiser merasa tubuhnya terpaku di tempat. Apabila dia masih dalam wujud manusianya, dia yakin kali ini bulu romanya meremang pada seluruh spasi di atas kulit. Mungkin juga mulutnya mengering, dan barangkali matanya mulai membelalak, sementara pupilnya berkonstriksi secara maksimal. Namun yang pasti, jantungnya kini berdegup dengan kencang─sangat kencang─sampai dia takut Isagi dapat mendengar bagaimana kardianya bertalu-talu dalam tempo yang menggila.

Kaiser tidak pintar dalam mengekspresikan suatu hal, terutama perasaannya sendiri. Dia tidak terbiasa mengartikulasikan perasaan yang tersimpan rapat-rapat, membiarkan itu semua terbendung tanpa arah dan tanpa seorangpun mengetahui lebih jelas. Maka, ketika dia merasakan perasaan asing setiap kali Isagi berada di sisi, atau bagaimana dia bersikap kekanakan setiap orang lain mencoba untuk mendekati laki-laki itu dengan penuh intensi, Kaiser bersikap seolah semua itu hanya perasaan lalu yang tidak punya arti apa-apa.

Itu semua karena dia selalu berpikir tidak ada hal yang benar-benar pasti di kehidupan ini. Banyak hal. Nyaris semua hal. Begitupula efektivitas obat dan penawarnya, begitupula mantra-mantra kompleks yang terus mengalami perkembangan, begitupula hasil dari perhitungan berikut turunannya yang membuat pusing kepala.

Tapi untuk saat ini, Michael Kaiser pikir, dia dapat mengetahui bahwa terdapat banyak hal yang pasti di kehidupannya sendiri.

Karena yang pasti adalah bagaimana di kepala Kaiser kini tidak ada yang bermunculan kecuali fragmen memori di mana Isagi pertama kali tersenyum padanya, atau bagaimana laki-laki itu seringkali menyusupkan kroket dari piring makan pagi di Aula Besar karena dia mengetahui Kaiser menyukainya, atau bagaimana wajah Isagi adalah satu hal paling favorit di antara semua hal yang Kaiser sukai setiap dia membuka mata di pagi hari. Yang pasti adalah bagaimana kini jantungnya berdegup sedemikian keras sampai hanya itulah yang dapat didengarnya malam itu, dan hanya itulah yang dapat dinikmatinya sampai akhirnya dia terlelap di dalam dekapan hangat si pemuda Ravenclaw.

Yang pasti adalah bagaimana dia memutuskan bahwa dia ingin menghabiskan banyak waktunya untuk bersama laki-laki itu seorang, perlahan demi perlahan mulai menggantikan setiap waktu di saat mereka masih belum bersama.

Yang pasti adalah bagaimana dia menyukai Isagi Yoichi sama besar. Atau mungkin, lebih besar daripada yang dia kira. Dan yang pasti, lebih besar daripada yang Isagi terka.

Kaiser kemudian memejamkan mata, tubuhnya bergerak untuk semakin mendekatkan diri pada kehangatan yang ditawarkan oleh Isagi di antara temaram malam yang menggigit kulit.

Dan Kaiser pikir, dia ingin menikmati kehangatan ini sedikit lebih lama lagi.

Isagi Yoichi.

I like you too.

_________________________

--

--

primrose
primrose

Written by primrose

writing feels like being in a chokehold all the time

No responses yet