“Gimana kabar lo?” Isagi bertanya kemudian, setelah sepersekian menit keheningan memaku di antara mereka. “Aneh ya, seharusnya gue nanyain hal ini pertama kali.”
Rin menggoyangkan gelas sampanye dan melihat bagaimana refleksinya memudar perlahan. “Gue oke,” sahutnya, cukup keras untuk Isagi dengar dengan baik tapi tidak cukup lantang untuk dia mendengar bagaimana fonetik yang lebih muda mulai berderak.
Rin mulai merasa bahwa semua ini salah. Seharusnya mereka tidak berjumpa lagi di sini. Demi apapun, Rin sendiri selalu meyakini bahwa dia tidak bisa kembali menatap Isagi dengan bersikap seperti sepasang teman lama yang sudah tidak lama bersua. Kenangan mereka terlalu membekas, terlalu meninggalkan jejak mendalam dan sesusah payah apapun Rin mencoba untuk melupakan, yang bisa dia lakukan hanya mengingat dan mengingat dan mengingat.
“Lo gimana?” Rin bertanya.
Isagi menyesap pelan anggur merah dari gelas di tangannya. “Gue juga oke,” dia membalas, “senggaknya, sejauh ini.”
Rin bertanya sebelum otaknya dapat memproses dengan baik perkataan yang dia lafalkan berikutnya, “Dia baik?”
Tapi Isagi─Isagi yang baik, yang sangat sangat baik─cuma tersenyum dan berkata, “Dia baik.”
Jadi, yang Itoshi Rin lakukan hanya mengangguk lalu meneguk likuid sampanyenya sampai tak bersisa. Maniknya bergulir menuju ke luar ruangan, kembali mematai keheningan malam yang memeluk mereka dalam dinginnya yang menggigit. Malam semakin melarut, udara semakin mendingin, dan seberapapun banyaknya orang berhuru-hara di sekitar, tidak ada yang bisa melawan rasa sepi yang kini dapat dirasakan Rin dalam diam.
“Di luar hujan,” tukas Isagi kemudian. “Pantes aja malem ini tambah dingin.”
Rin dapat melihatnya; bulir-bulir air yang menetes tipis dari langit. Rin selalu bertanya-tanya apakah hujan itu sungguh menyimpan doa-doa manusia dalam setiap bulirnya, dan dia mempertanyakan apakah doa-doa yang dia panjatkan selama ini ikut menyatu di sana sampai akhirnya kembali tergempur tak bersisa dalam bentuk tempias.
“Lo masih suka?”
“Hm?”
“Hujan.” Isagi mengimbuhkan, “Lo masih suka?”
“Ya.” Kamu masih ingat, pikir Rin. “Masih.”
Isagi tersenyum tipis. “Sebentar lagi Natal,” katanya, yang membuat Rin barusaja mengingat bahwa hari ini masih menunjukkan tanggal duapuluh empat. Artinya, hanya tinggal tunggu waktu sampai Hari Natal tiba. “Natal, ya…” Yang lebih tua menatap si keturunan Itoshi dan yang bersangkutan balik menatapnya tepat di mata. “Sudah berapa lama?”
Ada sesuatu yang retak ketika Rin membalas, “Lima tahun.” Laki-laki itu mengalihkan pandang, memandang ke semua arah kecuali kepada sosok Isagi di ruangan.
“Udah lama, ya?” Yang tertua tersenyum tipis, atau itulah yang bisa Rin interpretasikan dari suaranya yang menderu sayu. “Udah lama sejak waktu itu. Waktu rasanya bergerak cepet banget,” ungkapnya sambil menenggak minuman di tangan, “Rasanya kaya baru kemarin.”
Tapi, Itoshi Rin tidak merasakan hal yang sama.
Rin merasakan lima tahun itu tidak ubah seperti melangkah tanpa alas kaki di atas pecahan kaca yang berserakan di atas lantai kayu, seperti bergerak mencari klu pada ruangan tertutup tanpa penerangan sama sekali dan yang dia bisa lakukan hanyalah mencari tanpa tahu apa yang seharusnya dia temukan, atau seperti berjalan tanpa arah dengan hanya kehampaan tanpa akhir yang menyapanya sejauh mata memandang. Rin merasakan lima tahun dengan rasa sakit di seluruh tubuh yang bahkan dia tidak mengetahui dengan apa dia meredakannya, sebab bahkan obat analgetik apapun sudah tidak mampu menyembuhkan luka tertutup yang menganga di saat yang bersamaan.
Rin ingin mengelak. Tapi lebih dari apapun, Rin tahu bahwa Isagi juga alami hal yang sama.
“Ya.” Dengan itu, Rin mengembalikan gurat senyum pada romannya yang kelu. “Rasanya memang kaya baru kemarin.”
Hari Natal seyogianya adalah hari di mana semua orang berbagi kebahagiaan.
Dan mungkin bagi Rin dan Isagi, Hari Natal merupakan suatu hari di mana kisah mereka dimulai.
_________________________